Rabu, 31 Desember 2014

Cerita Sederhana Perihal Cinta

Oleh : Arief Siddiq Razaan

- ada ruang hampa yang menyangga agar langit tak rebah ke bumi, meski tanpa tiang ternyata ia mampu menciptakan awan menjadi atap

- begitulah seharusnya cinta, meski dalam diam dan tak berlabel pacaran sesungguhnya ia tetaplah cinta -- mendoa keselamatan satu sama lain ialah penyangga yang mengatapi jiwa agar terhindar dari zina

- bukankah pecinta sejati lahir untuk memuliakan cinta, maka jangan rendahkan cinta pada label pacaran, sebab tak jarang akibat adanya status pacaran lalu kita bebas berbuat apapun juga

- ada yang meminta diperhatikan, minta disayang-sayang, minta dibelikan sesuatu, padahal seharusnya perhatian, kasih sayang, dan nafkah itu lebih layak diberikan pada istri ketika berumah tangga

- sedangkan para lelaki kerap melakukan upaya intimidasi, mengatur wanitanya supaya begitu dan begini, tak jarang emosi karena tak dituruti padahal status saja belum menjadi istri mengapa seolah sudah pantas menguasai

- giliran sudah nikah malah cuek setengah mati, sebab waktu pacaran sudah over dosis memberi perhatian, sehingga tak ada lagi debar-debar asmara waktu berumah tangga, apalagi jika sudah pernah raba-raba hingga buka baju-celana maka pernikahan terasa hambar rasanya

- sudahlah, biarkan rasa cinta itu tetap dalam balutan doa, jika memang memiliki kesanggupan batin untuk menyempurnakannya, maka menikah itu solusi bijaksana, biarkan dirimu nikmati betapa debar-debar asmara membuncah dalam dada sebab saling berproses untuk melengkapi satu sama lain dalam kesucian rumah tangga

- sebab cinta bukan untuk mengotori; cinta itu menjaga kesucian diri -- menjaga kemurnian jiwa-raga orang yang kita cintai hingga sebenar ditakdirkan untuk kita miliki dalam mahligai rumah tangga sakinah, mawaddah, warahmah atas izin Ilahi.

21.11.2014

-----

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Anak Zaman Kini

Oleh : Romana Dwi

Aih, manisnya kalian adik-adikku...
Waktu seumur kalian gitu, kakak lagi sibuk belajar berhitung lho.

Kalian lagi apa? Goyang dumang? Kakak kira lagi menghafal gerakan "kepalaa, pundak, lutut kaki lutut kaki" kayak kakak dulu, huh

Aku dengar kau bilang, "Akuh sayang kamuh, tapi akuh gelegetan kamuh celingkuh. Kitah halus putus!". Haha, kakak saja waktu itu lagi bingung caranya baca "Ini bapak Budi. Ini ibu Budi...."

Eh eh, mengapa kalian menangis? Oh, aku kira karena pensilnya patah, ternyata hatinya toh yang patah. Heuh.

Cie ketawa-ketawa sendiri.. Pasti lagi chat sama dia yang kamu taksir kan? Kalau kakak sih dulu sering ngetawain temen kakak yang jadi jaga terus pas main petak umpet.

Dulu saja kakak sering dimarahin orang tua kakak karena bikin temen nangis. Lha kamu sekarang dimarahin kok karena berstatus bertunangan di fb. Hadeh..

Enak ya yang asyik main gadget. Kalau kakak dulu sih cuma main pakai pecahan genteng, haha kasihan ya kakak?

Nonton apa? Oh Ganteng Ganteng Seringgila? Manusia Hariakan? Dahsyuat?
Fiuhh, kakak aja paling banter nonton Spongebob kalau ngga ya Si Unyil, oh iya sekarang kan Unyil udah punya laptop x_x

Adik-adikku yang seharusnya menangisi hal-hal kecil, eh sekarang malah dewasa lebih dini.

Kasihan ya kakak? Atau, kasihan kalian :(
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 01 November 2014

Cermin Dua Wajah



Oleh Alya Annisaa

6.05.'06 Seorang lelaki. Lelaki muda. Menghanyutkanku. Menggerogoti perasaan. Aku semakin tenggelam di balik api yang merah menyala. Apakah aku bersalah?

7.05.'06 Hari ini aku melihatnya. Ia tampak begitu bahagia. Aku turut bersukacita untuknya. Tapi kemudian hal yang tak terduga menerpa. Menghampirinya, membuatnya terombang-ambing dalam ketidakpastian perkara. Ia menangis di depanku--seseorang yang tak tampak oleh mata biasa.

8.05.'06 Pagi yang aneh. Seperti biasa aku menyapanya dengan ramah. Namun ia malah menatapku dengan mata yang memancarkan kemarahan. Ia memakiku.

10.06.'06 Berikan aku kekuatan untuk menyelesaikan lagu kematian ini. Aku harus segera mengakhirinya.

13.05.'06 Kulihat awan mendung. Kukira akan turun hujan. Lalu angin dan petir menghadang. Mereka mengusirku dengan paksa. Bukan hujan yang turun, tapi aku yang menangis.

15.05.'06 Ia mengabaikanku. Mataku mulai gerah. Aku butuh ketenangan. Sekali lagi ia mengabaikanku, namun kali ini terasa begitu menyakitkan. Di balik bayangan tempatku bersembunyi, perlahan aku mengoyak cahaya.

18.05.'06 Aku menunggunya. Hatiku yang rapuh masih tetap setia bersabar untuknya. Tangisku bagaikan serpihan kecil semacam debu dan tak berharga. Temanku, aktor sudut malam, meraihku dan meyakinkanku, membuatku tetap tenang. Kembali mereka mengikis pertahananku. Kejam sekali dunia. Aku mengadu pada senja. Ia menghiburku dengan mengatakan bahwa gelap itu tak pernah ada, yang ada hanya kekurangan cahaya.

21.05.'06 Mereka memanggilku dengan sebutan anak bawang. Aku tak mengerti tentang kesalahan yang kuperbuat pada mereka. Mereka menggunjingkanku. Menyangkut-pautkan semua kemalangan yang terjadi. Menimpakan pertanggungjawaban atas warna kegelapan padaku. Menyoraki kehancuranku. Menggenapi retak pondasi yang kupertahankan dengan susah payah.

22.05.'06 Aku mencakar langit pagi. Awan hitam datang dan menyiramiku dengan rasa dingin. Aku gemetar hebat. Persendianku menolak perintah. Ototku memberontak. Sial!

28.05.'06 Gerak-gerikmu mengusik pikiranku. Aku kembali bersembunyi di balik bayangan. Melihatmu dari jauh, sudah cukup bagiku. Mendengar suara baritonmu, melegakan rasa haus akan hangatnya dirimu. Lalu perempuan itu datang. Senyumnya menggoda. Bibir merahnya mengecup pipimu. Tidak!

1.06.'06 Aku merangkak dalam keterpurukan. Bidadari itu menggantikanku. Posisiku. Tak cukupkah air mataku membanjiri cermin dua wajah?

4.06.'06 Malam ini tak ada jangkrik yang bernyanyi untukku. Air mata membanjiri kehidupan yang mengharuskan aku berhadapan dengannya. Dia. Dia merenggut anganku. Aku mengerti, aku tahu, aku menyadarinya. Aku hanyalah seonggok roh tanpa raga.

6.06.'06 Saat magma mulai mendesak untuk dimuntahkan, api panas keluar menyiram duniamu. Kembalikan! Pergi! Kau membangkitkan kemarahan terpendam. Biarkan aku kembali menyaksikan kejatuhanmu. Berakhirlah lagu cermin kematian abadi lucifer.

Minggu, 12 Oktober 2014

Elegi Bekas Istri Siri

Pernah dimuat di harian Radar Cirebon, Maret 2013

Oleh: Deri Harfan Drajat

Jauh sebelum surya tersenyum di ufuk timur, Halimah sudah terjaga. Bukan karena hawa dingin sang fajar telah mengusik serta menembus tulangnya, tetapi karena naluri keibuannya telah memanggilnya; merenggut jiwanya dari alam mimpi dan mengempaskannya ke alam nyata yang penuh beban, tugas serta kewajiban.

Pukul empat pagi, di saat kebanyakan manusia masih tersesat di alam mimpinya, saat para istri tengah terlelap dalam dekapan suaminya nan hangat, Halimah telah terbangun demi menyiapkan keperluannya berikhtiar memenuhi kebutuhan hidup ibu dan tiga anaknya.

Pagi-pagi benar ia sudah membuat adonan kue serabi. Bertarung melawan hawa dingin yang merasuk sumsum tulang serta rasa kantuk yang memberati kelopak mata. Ia tidak mengindahkan godaan dari sudut gelap hatinya yang menyuruhnya untuk tetap terlelap, berselimut, dan melanjutkan merenda mimpi.

Mungkin nasib para bekas istri kedua memang harus seperti ini, gumamnya di dalam hati menekuri penderitaan yang ia alami.

Perempuan-perempuan seperti Halimah memang seakan menanggung kutukan dari para istri pertama. Karena itulah hidup mereka sarat akan derita. Teramat berat beban yang harus mereka tanggung. Bahkan sejak masih berstatus istri kedua pun beban itu telah tersunggi di atas kepala mereka. Stigma buruk harus mereka terima, dan anggapan miring harus mereka kecap. Belum lagi, tak ada kejelasan perdata mengenai status serta hak anak-anak mereka.

Perempuan rendah, jalang, tidak laku, tidak tahu malu, perebut suami orang, ataupun materialistis, adalah umpatan-umpatan yang sering dilontarkan orang-orang kepada Halimah dan perempuan-perempuan sepertinya. Padahal, apa salahnya menerima pinangan lelaki? Toh mereka pun sama seperti perempuan lain; ingin dan butuh kasih sayang dari seorang lelaki. Haya saja, kebetulan lelaki yang memberi mereka asa adalah lelaki yang merupakan suami dari perempuan lain. Lagi pula, tidak semua perempuan seperti Halimah tahu sejak awal bahwa suaminya itu telah beristri. Bukankah lelaki memang makhluk yang sangat pintar berbohong, merayu, dan menyanjung? Entah sudah berapa banyak perempuan yang luluh hatinya setelah dirayu oleh lelaki.

Azan subuh telah berkumandang. Segelintir orang berjalan menembus pekatnya fajar, menyambangi surau demi menunaikan seruan Ilahi. Sementara, Halimah masih saja sibuk dengan pekerjaannya; membawa ember berisi adonan ke pekarangan rumah, mempersiapkan tungku kecil, menyalakan kayu bakar, dan sebagainya.

Sinis tatapan orang-orang melihat Halimah sibuk dengan pekerjaannya sementara mereka pergi menuju pesujudan. Berani mereka memberikan penilaian serta kesan terhadap Halimah, padahal Tuhanlah yang lebih tahu tentang amalan mana yang lebih utama antara berjamaah salat subuh dan bekerja mencukupi kebutuhan keluarga.

Seandainya mereka tahu, bukan keinginan Halimah berkutat dengan pekerjaan sementara panggilan Tuhan ia tangguhkan. Sebenarnya ia pun sangat malu kepada Tuhan. Jauh di dalam hatinya, ia pun ingin khusyuk mengabdi dan mengutamakan titah Tuhannya. Namun keadaan telah memaksanya untuk tetap bekerja demi memenuhi hajat keluarganya. Sebab kalau tidak demikian, bagaimana dengan ibu dan anak-anaknya? Mau makan apa mereka hari ini?

Kalau saja ia masih punya suami, barangkali ia tidak harus sesibuk ini. Mungkin tidurnya akan cukup dan ibadahnya akan khusyuk. Namun, asanya terenggut setelah istri pertama suaminya yang cerewet itu datang menghardiknya tiga tahun lalu.

"Heh, Perempuan Jalang, bercerailah dengan Mas Iwan kalau kamu dan keluargamu ingin hidup tenang!" damprat istri pertama suaminya kala itu.

Anak bungsunya yang saat itu tengah dipangkunya, menangis mendengar hardikan tersebut. Diayun-ayun dan ditepuk-tepuk bokong anaknya itu demi menghentikan tangisannya sambil memandangi ibu dan anak-anaknya secara bergantian.

"Baiklah, aku akan meminta cerai kepada Mas Iwan," sahutnya berat.

Terpaksa ia menyanggupi keinginan istri pertama suaminya karena tidak tega melihat ibunya yang sudah renta dan anak-anaknya yang masih kecil itu harus hidup dalam ketidaktenangan akibat perbuatannya. Tetapi, benarkah akibat perbuatannya? Bukan akibat perbuatan suaminya yang telah berpoligami?

Maka, sejak saat itu ia menjadi seorang janda. Dan praktis ia harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Setiap pagi ia berjualan kue serabi, sementara siangnya ia berjualan sayur-mayur dan jajanan-jajanan anak di warung kecil di depan rumahnya.

Sungguh kasihan ia. Masih muda, cantik, namun harus menjadi seorang janda akibat nafsu lelaki yang tak terpelihara. Kecantikan yang dulu terpancar di wajahnya perlahan-lahan pudar terhapus penderitaan. Lantas, siapakah yang patut disalahkan atas keadaannya itu? Apakah ia sendiri yang ingin bersuami seperti perempuan lain? Apakah mantan suaminya yang telah berpoligami? Istri pertama suaminya yang enggan dimadu? Ataukah agama yang telah mengizinkan poligami? Tetapi, sungguh, agama tidak pernah salah.

Waktu terus menapak. Kini anak sulungnya telah berusia sepuluh tahun dan duduk di kelas empat SD. Anak keduanya kelas dua SD, sementara si bungsu telah masuk TK. Ia sadar, semakin besar anak-anaknya, akan semakin besar pula biaya hidup keluarganya. Apalagi di negeri ini harga-harga kebutuhan pokok selalu merangkak naik tanpa kompromi terlebih dahulu dengan orang-orang miskin; termasuk biaya pendidikan. Kendati dulu ia tidak bersekolah tinggi, namun sebagai seorang ibu, ia ingin anak-anaknya bersekolah tinggi agar tidak bodoh dan tidak menderita seperti dirinya. Dan untuk hal tersebut, ia sadar bahwa ia harus bekerja ekstra giat.

Seandainya saja para lelaki mampu mengendalikan hawa nafsunya, mungkin perempuan-perempuan seperti Halimah tidak akan ada. Mereka akan hidup sesuai dengan kodratnya; mengurus rumah, melayani suami, memasak, merawat serta mendidik anak-anaknya. Namun kebanyakan lelaki tak mampu mengendalikan hawa nafsunya, sehingga para perempuan menjadi korban.

Dengan mudahnya mereka berdalih mengikuti sunah Rasul manakala dikritisi soal poligami yang dijalaninya. Padahal masih banyak sunah lain yang lebih utama dan mulia di mata Tuhan ketimbang poligami. Mereka lupa, lebih tepatnya sengaja melupakan, bahwa rasul tidak pernah menganjurkan untuk berpoligami seumpama tidak mampu berbuat adil atau menciptakan keadilan. Secara matematik mungkin mudah membagi uang sepuluh ribu rupiah menjadi dua. Tetapi rumah tangga bukanlah matematika. Di sana ada ego, emosi, dan kepentingan istri tua serta istri muda yang harus sama-sama dipenuhi.

----


Powered by Telkomsel BlackBerry®

It Hurts A Bit

Sumber: YouTube
Diterjemahkan oleh: Zerstörer

Aku tak begitu ingat apa yang terjadi sebelum semuanya berubah menjadi gelap. Kalau tak salah, aku sedang berada di mobil? Satu-satunya yang bisa kuingat hanyalah mendengar suara keras, seperti besi dan besi saling berbenturan, dan kemudian hening. Aku terbangun di tempat yang bunyi bip—sepertinya bunyi suatu mesin—terus menerus menggema. Aku sendiri tak yakin di mana aku berada, karena sepertinya aku tidak bisa membuka mataku. Konyol, bukan? Aku bisa merasakan selimut menutupi tubuhku, dan bunyi bip-bip-bip di sampingku, tapi aku tidak bisa membuka mataku, atau berbicara, atau bergerak.

Orang-orang terus berdatangan untuk mencolekku, dan aku selalu berusaha untuk berbicara kepada mereka.

"Bisakah seseorang memberitahuku apa yang terjadi kepada mataku? Aku tidak bisa membukanya." Aku mencoba bertanya, namun sepertinya pita suaraku tak mau bekerja sama, jadi kurasa aku hanya akan menunggu. Orang-orang ini sepertinya tahu apa yang mereka lakukan; mereka selalu mencolekku di tempat yang sama, kadang menggunakan jari mereka, kadang memakai suatu benda-tajam-tanpa-nama. Orang-orang itu tidak berkata banyak. Hanya datang, mencolekku, menghela nafas, lalu pergi.

Seseorang membuka mataku hari ini dan menyinarinya dengan senter. Rasanya sakit, tapi aku tak bisa meminta mereka untuk berhenti. Tapi gerakkan dari mataku terasa nyaman. Apakah kau tahu, bahwa kalau kau tidak membuka matamu untuk waktu yang lama, matamu bisa menempel dengan kelopak matamu? Aku sebelumnya tak tahu. Tapi itu terjadi sekarang. Jujur saja, rasanya tidak sakit, tapi rasanya sangat nyaman ketika mataku akhirnya terbuka.

Seseorang tengah memegangi tanganku dan membacakanku buku, yaitu bab 7 dari Harry Potter dan Kamar Rahasia. Aku ingin memberitahunya bahwa aku sudah pernah membaca buku itu, tapi aku tidak bisa. Dia menggenggam tanganku terkadang, dan hanya duduk bersamaku. Jadi di ruangan itu hanya ada aku, dia, dan suara bip-bip-bip. Kurasa orang itu ibuku.

Ibu menangis hari ini. Aku ingin membuatnya bahagia, bukan sedih, tapi ada yang salah dengan tanganku karena aku tidak bisa menggerakkannya untuk memeluk ibu. Aku harus memberitahunya nanti kalau aku ingin membantunya.

Beberapa orang masuk ke dalam ruangan ketika ibu sedang menangis, dan berkata, "dia sebaiknya pergi", bahwa "dia sebaiknya tidak berada di sini untuk ini". Tapi aku tak mengenali suara itu, dan aku tidak ingin ibu pergi. Aku takut. Ibu menangis lebih keras, menjerit, "tidak, dia masih di sana!" Dan aku ingin berteriak, "tentu saja, memangnya aku mau pergi ke mana?" Dan semua orang meninggalkan ruangan.

Ibu kembali ke dalam ruangan tak lama kemudian, terisak. Beliau duduk, dan mulai menangis cukup keras, dan mengeras, sampai beliau hampir berteriak. Dan kemudian, dia memukulku, tepat di wajah. Aku tak tahu apa kesalahan yang kulakukan, tapi dia memukulku lagi, lagi, dan lagi, dan aku tidak dapat berkata maaf, atau menangis, atau menghentikannya, hanya duduk di sana sampai beberapa pria datang dan membawa ibu pergi. Dua pria masih tinggal di ruangan, dan mereka mengobrol, tapi aku tidak dapat menangkap apa yang mereka katakan sampai aku menangkap satu kata, "koma".

Aku ingin menjerit, berteriak, melompat, dan menampar pria itu tepat di mulutnya.

Tapi aku tidak bisa. Aku tak bisa mengatakan "hentikan". Tidak bisa berkata "hei, aku di sini, aku bisa mendengar kalian, tolong jangan lakukan ini padaku." Aku tak bisa melakukannya. Aku hanya bisa diam ketika mereka mencolekku dengan benda-tajam-tanpa-nama. Sepertinya itu jarum suntik. Bunyi bip-bip-bip terdengar semakin cepat dan tak beraturan, dan tubuhku terasa semakin lelah. Aku ingin bertanya apa yang mereka lakukan. Apa yang mereka kira akan membantuku, tapi aku tidak bisa.

Aku menjerit sekeras mungkin, tapi aku sama sekali tak bergerak. Aku masih ingin hidup. Aku tidak ingin pergi.

...Aku harus memeluk ibu, memberitahunya bahwa semuanya baik-baik saja, memberitahunya bahwa aku di sini dan aku baik-baik saja.

Tapi kurasa aku tak memiliki kesempatan itu lagi sekarang.

Bip.

Bip...

----


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 04 Oktober 2014

BRIAN THE NGENES

Oleh Damn Mizuki
#‎EventNgawur‬

Hai, nama gue Brian. Orang-orang selalu menyebut gue Brian The Ngenes. Entah kenapa gue disebut Brian The Ngenes. Mungkin karena banyak masalah diluar nalar manusia yang menimpa gue. Hampir setiap hari "ngenes" mendatangi gue. Ya sudahlah gue bisa apa? Gue ini cuma manusia biasa yang tak luput dari kata ngenes. Memang hidup tak semulus paha para model yang semlohek. Kadang juga kasar seperti aspal. Tapi dijalani saja karena hidup untuk dijalani bukan untuk dilarii.
Pernah suatu ketika gue nonton tv sama mama gue. Eh, remotenya ilang diumpetin maling. Remote ketemu, tv nya hilang diumpetin. Tv ketemu antenanya hilang ditiup angin. Remote, tv, antena ketemu mama gue HILANG!. Mama gue ketemu udah bawa remote, tv sama antena. Giliran ketiganya yang udah ketemu, mati listrik! Woy PLN tahu gak sih kalau ini keburu hilang lagi barang gue! Oke listrik nyala. Giliran listrik nyala alarm listrik bunyi tut tut tut kayak telepon gak diangkat. Eh ternyata pulsa listriknya habis. Pulsa listrik udah diisi, tv rusak! Ngepul keluar asap kayak orang lagi marah di anime-anime. Hidup gue itu ya kayak udah jatuh ketimpa tangga. Habis ketimpa tangga mau bangun digigit anjing. Mau kabur diserempet becak. Mau marahin becaknya gue udah keburu salto gara-gara ditabrak tukang roti. Mau berobat dokternya meninggal. Gue pulang, dokternya yang baru datang. Sampai rumah, mama gue ilang lagi. Udah ilang bawa dokter lagi. Sudahlah ya, gue lelah menghadapi cerita ngenes hidup gue ini. Tapi kalau gue mati siapa yang bakalan jadi orang yang bikin semua orang ngakak disini? Ya udah mendingan gue jalani aja meskipun hidup gue ini banyak batu kayak aspal. Oke sekian cerita Brian The Ngenes. Gue harap kejadian ngenes yang nimpa gue gak terjadi ke kalian. Dan jangan putus asa jalani hidup kalian meskipun sakitnya tuh disini. Di hati sama di badan! Karena ada sesuatu yang tak pernah terduga dibalik itu semua. Bisa aja kan lo dapat emas sekarung cuma gara-gara ngenes? Nasib orang gak ada yang tahu bro. So keep posthink and see you latter!
Salam ngenes,

-BRIAN THE NGENES-

-------


Powered by Telkomsel BlackBerry®

#‎ApanyaAdaSalah‬?

Oleh Dekik

Sudah capek-capek menulis, eh ... tahunya cuma dikomen, "Basi!", "Lebay!", "Banyak dosa!", "Hambar tanpa ruh!"

Dari posting yang disematkan Senpai, aku mengoreksi diri.

1. Masa populer ceritaku habis. Masa iya zaman BBM-an, aku cerita main pager. <== Ketepatan setting waktu, tempat, dan trand, tidak sesuai dengan waktu share. Jadi jika memiliki ide yang sedang 'ngepop' jangan ditunda untuk dishare atau dikirim ke media.

2. Ketepatan gaya penyajianku kurang pas. Istilah Senpai melebar kiri-kanan, atas-bawah. Yang seharusnya tidak ada diadakan agar panjang karakternya. Bahasa kerennya plotku belepotan.

3. Penulisanku berlebay cuaca, berlebay suana, berlebay pengkarakteran. Jadilah sepanjang paragraf hanya mengulas senja atau rona pagi, atau menjelaskan baju dengan manik-manik yang tidak menyebabkan sebuah kejadian. Kembali istilahnya mendetailkan yang tidak-tidak. Pokoknya tidak sesuai porsi cerita.

4. Susunan kalimatku payah. Yang 'mata melihat ubun senja dan kaki melangkah pergi' dan lain sebagainya. Bahkan terkadang terbolak balik. Bahasa Senpai kurang efektif atau tidak memberikan informasi yang tepat sasaran.

5. Biasanya aku memikirkan nanti-nanti untuk memulai konflik, akhirnya sampai akhir pun lupa puncak konfliknya mana? Padahal orang umum itu suka 'ketegangan', suka 'keterkejutan', suka 'terpingkal-pingkal' dan suka 'tipuan' yang menyembabkan dia berkata, "Kok gitu, ye? Gue ulang ah!"

6. Terakhir sepertinya spasiku belepotan. Dempet tidak jelas mana dialog, mana aksi, mana narasi dan baru mau dibaca saja 'kliyeng-kliyeng'.

Akhirnya ... aku memilih silent reader saja, ah ... malu! Takut dan enggan dikomen si Jav, "Payah!"

Apa yang salah, ya?

-----
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mahasiswa versus Dosen

KBM Academy (Level 6)

Penulis : Firdaus ILo
Asal : Medan

Mahasiswa. Berasal dari kata maha dan siswa. Maha menurut bahasa arab berarti lebih, sedangkan siswa menurut bahasa indonesia artinya peserta didik. Jadi, secara bahasa indo-arab, mahasiswa artinya lebih peserta didik, peserta didik lebih, lebih didik peserta, peserta lebih didik?

Ah ... pria itu tampak bingung memikirkan arti dari kata "Mahasiswa". Sejenak ia tampak tersenyum kemudian berteriak "Mahasiswa! Siswa yang mempunyai kelebihan! Great!"

Mempunyai kelebihan? Maksudnya? Indera keenam kah?

***

Sebut saja namanya Aldo, seorang pria kelahiran Jawa tengah.
Jawa? Aldo? Sepertinya nama itu tidak cocok.

Oke. Panggil ia Tarno! Pria berkulit manggis hitam, rambut ikal, dengan spasi bulu mata dua per tiga centimeter. Ya, ini adalah tahun pertama ia menginjakkan kakinya di kampus nomor satu di negeri ini, Indonesia.

"Langkah pertama!" ucapnya gembira, "Mas?" lanjutnya memanggil seorang mahasiswa yang tengah lewat di area sekitar tempat Tarno berdiri. Berhubung wajahnya mirip James Bond. Panggil ia si 07.

"Ya?"

"Please, help me! Tolong fotoin gue dong. Mau gue kirim sama Emak di kampung," ucap pria berkacamata itu penuh harap.

Si 07 tersenyum. Ia mengangguk indah dengan membentuk sudut istimewa antara leher dengan dagu sebesar 43 derajat. Sepertinya ia setuju. Tarno bergegas merogoh saku celananya guna mengambil ponsel titisan Emak. Ponsel dengan merk ternama serta keluaran terbaru itu tampak bersinar dibawah teriknya cahaya mentari.

"Jangan senyum dulu, Bro. Kering tuh nanti gigi. Kanan dikit. Gelap nih, terhalang cahaya. Ya! Geser kanan dikit lagi, Bro. Mundur dua langkah! Eh ... stop! Pas!" Dengan senang hati Tarno maju-mundur mengikuti rujukan si 07.

Dalam benaknya, Tarno terbayang wajah bahagia Emak saat melihat fotonya kelak.

"Ok ... satu ... dua ..." Dengan sigap Tarno berpose ria. Tangan kanan sengaja ia selipkan di pinggang untuk menunjang penampilan. Tidak hanya itu, kaki kiri ia angkat, badan sedikit membungkuk dengan dada yang membusung beberapa centimeter ke depan. Perfect!

Terakhir, senyum khas dengan gigi yang tampak malu-malu menunjukkan keemasannya serta pandangan pura-pura tak melihat ke arah kamera. Gaya favorit Emak, pikir Tarno.

"Ya ... tiga!"

"Udah, Mas?" Tanya Tarno mendesis. Sangat sedikit sekali pergerakan pada bibir berwarna kopi ginseng itu. Pria itu tampak takut untuk menggerakan bibirnya. Takut menghancurkan pose!

Lima menit kemudian ...

"Mas?" Tarno melirik ke arah si 07. Seketika ekspresi wajah Tarno berubah.

"Woi ... Mas!" Tarno berteriak sekuat tenaga. Sementara itu Si 07 tersenyum bangga melirik ke arah Tarno seraya berlari menjauh kemudian menghilang.

Tarno tak mampu berbuat banyak. Berteriak, melompat, dan melempar sudah ia lakukan. Berulang kali ia memanggil si 07. Bukannya berbalik arah, pria berparas James Bond itu malah mempercepat laju larinya.

Tarno yang berasal dari desa, bingung melihat sikap si 07. Sombong pisan euy! Dipanggil kok gak datang, dah hp gue dibawa lagi, huft ... gerutu Tarno. Bener kata Pak Boni, tetangga Tarno di desa, "Orang kota itu sombong-sombong, No. Ngomong aja gak ada tata kramanya. Melenceng. Bilang "kau" itu "elu" bilang "aku" itu "gue". Babeh dipanggil bokap, Emak itu nyokap! Jangan terlalu dekat dengan mereka deh!" Titah Pak Boni mengiringi kepergian Tarno.

Dengan alasan itu pula, semenjak menapaki kaki di kota Jakarta, Tarno menyesuaikan logat berbicaranya dengan cara berbicara orang kota. Meski awalnya lidah terasa ngilu, tapi sejak sering menonton sinetron, lama kelamaan Tarno mulai biasa dengan kosa kata yang terdengar aneh di telinganya sendiri.

Ah ... biarlah, nanti pasti dia bakal nyari gue kok. Hp gue kan sama dia, pikir Tarno. Ia pun melanjutkan langkahnya menuju fakultas MIPA.

Pemuda berkulit hitam manggis itu tak menyadari ia telah menjadi korban keganasan dunia. Ya, korban pencurian! Namun, berkat pengajaran sikap dan karakter yang ditanamkan emak sejak ia kecil dahulu, membuat Tarno selalu berpikir positif tentang orang disekitarnya. Tak pernah sedikitpun pria berbibir kopi ginseng itu menaruh curiga.

Dengan santai ia berjalan memasuki wilayah fakultas MIPA. Mengedarkan pandangan ke tiap sudut kampus. Ah ... cantik pisan euy! Seorang mahasiswi berkacamata, berkerudung warna merah dengan sebuah laptop di paha tampak sibuk dengan aktifitasnya. "Kenalan ah," bisik Tarno.

Tiba-tiba, wajah Emak di kampung melintas tanpa ijin dalam benak Tarno. Dengan petuah-petuah bijaknya mengelilingi memori yang terus berputar itu, "Nak, ingat tujuan awal kamu ke kota. Demi keluarga ini. Baik-baik kamu di sana, dan sadar diri dengan keadaan kita." Tarno menghentikan langkahnya secara sepihak. Ia berputar arah, berpaling dari gadis yang ia anggap bidadari tak bersayap, namun berhijab. Beautiful!

Ditengah perjalanan guna mengitari area fakultas MIPA. Tiba-tiba telinga Tarno bergerak ke kanan dan kiri. Suara apa itu?

Tarno mengintip ke dalam sebuah ruangan. Tampak seorang mahasiswi tengah menangis. Itukah yang namanya dosen? Pikir Tarno menganalisa.

"Apa ini? Sudah mahasiswa kok buat makalah begini. Apaan ini!" bentak pria berpakaian rapih itu, "Bagaimana mungkin saya akan meluluskan mahasiswa seperti kamu?"

Mahasiswi itu diam tanpa kata. Tiba-tiba seorang mahasiswa lain mengacungkan tangannya, "Pak," ucapnya.

"Hum ...!" Mata dosen itu mendelik.

"Permisi keluar, Pak."

"Kemana?"

"Kentut, Pak."

"Tahan!" Mahasiswa itu pun cemberut bebek. Gue gak tanggung jawab loh! Gerutunya.

"Mulai besok dan seterusnya. Kamu gak usah masuk di kelas saya! Percuma! Nilaimu E."

Mahasiswi itu menangis, tertunduk lesu. Kemudian bersujud memohon agar dosen itu menarik ucapannya kembali. Namun apa daya, alih-alih mengabulkan permohonannya. Mahasiswi itu malah diusir saat itu juga. Sadis!

"Pak?" Geram akan prilaku dosen yang semena-mena. Mahasiswi itu memberanikan diri untuk membuka mulut.

"Huh!" Kepulan gas dari mulut ia hembuskan tepat ke wajah dosen itu, "kau yang pergi! Enyahlah," bentak mahasiswi tersebut. Meski tangan sedikit gemetaran, mahasiswi itu berusaha tenang mengendalikan diri.

Teman-teman sekelasnya saling pandang satu sama lain. Mereka seakan tak percaya sekaligus bingung. Bisa-bisanya teman mereka itu berkata seperti itu.

Bukan kepalang kagetnya dosen itu mendapatkan titah dari seorang mahasiswi. Mengiringi embusan angin tanpa rintangan. Sebuah tamparan mendarat sukses pada pipi kanan mahasiswi malang tersebut. Seluruh mahasiswa di dalam ruangan empat kali enam itu mendadak diam tanpa kata. Takut!

Berbeda dengan Tarno yang ingin rasanya menonjok pria yang ia anggap dosen itu. Beraninya kok sama cewek. Huh!

Beberapa detik kemudian, mahasiswa lain dipaksa untuk lebih kaget lagi.
Ya, mahasiswi itu menampar balik dosen berambut dua helai itu.

Wuih ... buset! Berani juga tuh cewek, pikir Tarno.

"DO!" bentak dosen itu.

"Atas dasar apa?"

"Adab!"

"Bagaimana denganmu?" Mahasiswi itu balik membentak tak mau kalah.
Suaranya kini malah lebih tinggi dari dosen itu.

"Maksudmu?"

"Adabmu!"
Sejenak dosen itu terdiam, kemudian pergi berlalu meninggalkan kelas.

"Dasar dosen abal-abal. Semenana-mena dengan mahasiswa. Memberi tugas seenak memakai kaus kaki hangat. Tanpa ia tahu beban tugas kami dari mata kuliah lain telah menumpuk! Dasar dosen pembunuh! Ya, kalian adalah pembunuh imajinasi pemuda," gerutu mahasiswi itu tak tentu, " bebaskan pikiran kami. Mengkritisi makalah kami? Mencampakkan makalah kami. Sadar gak sih? Buku yang kau buat sebagai panduan belajar mahasiswa yang kau sebut diktat itu tak lebih buruk dari makalah kami," lanjutnya.

Tiba-tiba dosen itu kembali. "Apa kamu bilang?" sepertinya dosen itu mulai kehilangan kesabarannya, "dasar mahasiswa tak beretika," lanjutnya.

"Sadar atau tidak. Saya begini karena didikan, Bapak," jawab mahasiswi itu penuh dengan ketegasan, "anda yang tak beretika!" lanjutnya.

Dosen itu makin geram. Buku dengan tebal hampir lima centimeter ia hempaskan tepat ke arah kepala mahasiswi itu. Mahasiswi itu tampak ketakutan, kemudian menutup kepalanya dengan kedua tangan.

Jiwa empati Tarno keluar. Sebelum buku itu mendarat di kepala mahasiswi itu. Dengan sigap Tarno berteriak, "Hentikan!"
Seluruh mahasiswa memandang ke arah Tarno tak terkecuali dosen itu.

"Stop! Apa-apan ini? Inikah yang namanya dosen dan mahasiswa? Sungguh memalukan," ucap Tarno perlahan menghampiri dosen dan mahasiswi itu.

Para mahasiswa dalam ruangan itu memandang heran kepada Tarno.

"apa-apaan sih manusia satu ini?" gerutu seorang mahasiswa.

"Dari planet mana sih ini makhluk? Jelek banget!"

Mendadak beberapa mahasiswa menutup hidungnya. Kemudian perlahan mahasiswa lain mengikuti. Hah? Sebau itukah gue? Pikir Tarno menerka-terka.

"Iiih ... loe kentut ye?" selidik salah satu dari mereka. Yang ditunjuk malah senyum-senyum aneh.

Cut!

Sebuah suara menghentikan aktifitas mereka. Memandang ke arah sumber suara, kemudian secara serentak seisi ruangan tepuk tangan. Suasana ruangan menjadi ramai. Tarno kebingungan. Hah? Ada apa ini? Pikirnya.

Betapa konyolnya tingkah Tarno setelah mengetahui bahwa adegan tadi hanyalah sebuah acting atau drama semata. Dengan polosnya ia bertanya, "kalian artis? Kok gak pernah gue lihat di tipi?"

Seorang mahasiswa tertawa mendengar pertanyaan Tarno, "Aduh, Bang. Kami ini mahasiswa jurusan bahasa indonesia yang sedang ujian."
"Bahasa Indonesia? Emang di MIPA ada jurusan bahasa indonesia?"
"Ini fakultas bahasa dan seni, Bang. MIPA mah di sono!" Mereka pun kembali tertawa.

Tarno pun terpaksa tersenyum guna menanggung malu. Kemudian secara perlahan mundur. dan bergegas lari. "gue pamit!" teriaknya.
Ah ... Om Alim mana sih? Gue kan bingung jadinya. Mau telpon, hp gue di pinjem orang yang tak di kenal, gerutunya. Gue udah di MIPA ini loh. Keluarlah Om Alim.

"Tarno!"

Tarno melirik ke arah sumber suara. Om Alim, pikirnya. Tarno pun bergegas menghampiri. Lelaki paruh baya itu.

"Kapan sampai?"

"Dah dari tadi, Om. Dah sampai nyasar-nyasar pun," ucap Tarno kesal.

"Kenapa gak telpon? Oh iya, yuk ke bascamp untuk mengambil peralatan kerjamu."

Mereka pun pergi menuju sebuah ruangan kecil di sudut kanan tangga kampus. Tarno mengikuti Om Alim dari belakang, "oh iya, No. Nanti, bagian kamu di sana ya. Setiap sepuluh menit kamu sapu tuh lantai, kalau becek segera di pel. Agar kebersihannya selalu terjaga," ucap Om Alim seraya menunjuk ke arah tempat lahan Tarno bekerja kelak, "Dan selamat datang di clinic servise universitas tercinta ini, No," lanjutnya.

Tarno tersenyum. Gaji bulan pertama terbayang sudah.
_______________


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 03 Oktober 2014

PACARAN!

Oleh Arief Siddiq Razaan

Ini cerita cuma khayalan. Sebab gue belum pernah pacaran. Bukan karena gue tak suka perawan. Tetapi gue hanya ingin menjaga iman. Jadi ceritanya ada sepasang muda-mudi lagi pacaran. Tiap malam berkirim pesan untuk mesra-mesraan. Rayuan gombal diumbar seperti orasi para calon anggota dewan. Segala janji manis juga terus diujarkan.

Mulai dari rumah megah hingga mobil sedan. Dari sekedar rekreasi hingga uang belanja bulanan. Setelah si cewek takluk pada pemuda tampan. Mula-mula minta pegang-pegangan. Setelah itu minta raba-rabaan. Berlanjut cium-ciuman. Setelah cium minta gigit-gigitan. Setelah mengigit malah minta kuda-kudaan.

Kalau sudah begitu yang rugi ialah sang perempuan. Belum nikah tapi statusnya sudah tidak perawan. Giliran cowoknya selingkuh karena bosan. Cewek itu lapor ke kepolisian. Dengan dalil melakukan hubungan intim karena unsur paksaan. Lalu sang cowok masuk tahanan. Sang cewek stress karena hidupnya jadi berantakan. Keluarga malunya tak ketulungan.

Esok harinya sang cewek ditemukan sudah terbujur kaku di tiang gantungan. Dipikir kalau mati selesai urusan. Padahal di neraka jahanam masih akan hidup abadi dengan siksa yang sangat menyakitkan. Itulah dampak buruk pacaran. Jadi putusin pacarmu sekarang sebelum kisah itu jadi kenyataan. Setidaknya gue tidak lagi jomblo sendirian.

Gubrak! Maaf kalau saran gue kelewatan. Kalau suka silahkan saja diwujudkan. Bagi yang menolak jangan pula marah-marah sampai kesurupan. Kalau mau lempar sendal gue terima sebagai bentuk sumbangan. Kalau lempar duit gue ikhlas untuk biaya makan. Okeh, cukup sekian. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.

02.10.2014

----


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Qurban

Oleh Arief Siddiq Razaan

Aku kaget, ada nomor baru mampir ke handphone. Kirain cuma miskol, tapi tenyata sampai lebih lima kali. Akhirnya dengan berbesar jiwa dan raga, kuterima panggilan darinya.

Penelpon: "Assalamu'alaikum..."

Aku: "Wa'alaikum Salam"

Penelpon: "Ini benar dengan akhy Arief Siddiq Razaan saya bicara?"

Aku: "Benar, ini siapa ya?"

Terdengar suara terisak. Perasaanku tidak enak. Apa mungkin ada kabar buruk yang menyeruak.

Aku: "Maaf, antum siapa? Mengapa menangis?"

Penelpon: "Saya salah seorang member KBM, yang sering baca tulisan antum."

Aku: "Lha trus, kenapa telepon sambil nangis."

Penelpon: "Terharu, karena tulisan antum menyadarkan saya agar menjauhi pacaran."

Aku: "Terus maksudnya telepon ini untuk mengabarkan itu?"

Penelpon: "Bukan, cuma mohon restu Insya Allah hari Minggu nanti saya mau berkurban."

Aku: "Hubungannya Qurban dengan larangan pacaran di mana?"

Penelpon: "Saya mau mengurbankan pacar, semoga panitia Qurban berkenan menjadi saksi putusnya pacaran kami."

Gubrak! Dalam hati aku berdoa semoga ada lagi yang berkurban seperti penelpon ini.

03.10.2014

----


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Minggu, 28 September 2014

Bleeding Heart

Oleh Alya Annisaa

----

"Puteri Sylvia, coba lihat bunga ini! Cantik sekali, bukan?"

"Wah, cantik dan unik! Berbentuk seperti hati yang utuh dan sama persis seperti hati merah jambu di kartu-kartu cinta."

"Namanya Bleeding Heart Flower. Bunga ini ada dalam berbagai warna, ada yang merah muda pucat, putih atau hampir merah. Sayangnya, Bleeding Heart tidak tumbuh di semua negara. Bunga ini tumbuh di negara beriklim sejuk."

"Wow, kau memang pintar! Berpengetahuan luas dan berbakat. Aku bangga mempunyai teman sepertimu," kata perempuan anggun itu seraya tersenyum tulus.

Rona merah muncul di pipi Ferdinan. Dengan bersusah payah ia menelan senyum bahagia yang memberontak untuk muncul. Setelah beberapa saat, akhirnya ia menemukan suaranya kembali.

"Em, apa pendapatmu mengenai bunga ini?"

"Aih, bunga yang genit! Sepertinya ia ingin mencium sesuatu. Hahaha."

Sylvia memetik bunga yang bernama The Kissing Flower itu, lalu menempelkan kelopak bunga yang berbentuk bibir di kening lelaki yang masih tersipu-sipu di depannya.

"Cup! Hahaha."

Dengan gemas Ferdinan mencubit pipi Sylvia lalu menatap tajam tepat ke manik mata perempuan yang dikaguminya itu. Segera kecanggungan menguasai atmosfer di sekitar mereka.

"Eng ... maaf."

"Aku yang harus minta maaf."

Sylvia perlahan mundur dan menjaga jarak. Sesaat keberanian Ferdinan menguap ketika melihat reaksi puteri bungsu dari Raja Pieter yang sangat disayangi rakyatnya itu. Tapi tak ada waktu lagi! Ini saat yang tepat.

"Sylvia,"--Ferdinan meraih tangan Sylvia--,"aku menyukaimu. Sudah lama aku menyimpan rasa ini, namun aku selalu patah hati mengingat kita berdiri di langit yang berbeda."

Mata indah milik Sylvia terbelalak. Ia sangat terkejut mendengar pernyataan lelaki yang sudah dianggapnya seperti kakaknya sendiri.

"Aku ... aku juga menyukaimu. Tapi bukan yang seperti ini."

"Benarkah? Apakah kau sudah bertanya pada hati kecilmu?"

"Benarkah aku hanya menyukainya sebatas teman? Apakah pikiranku tengah berdusta?" batin Sylvia.

Kemudian anak gadis raja itu memikirkan suka dan duka yang telah ia lewati bersama Ferdinan. Ia ingat betul bagaimana hari-harinya terasa sangat mengesankan ketika ia berpetualang melihat bunga-bunga unik bersama lelaki ahli penakologi dan holtikultura tersebut.

"Semuanya indah," ucap Sylvia tanpa sadar.

Tanpa bisa ditahan, Ferdinan memeluk Sylvia dengan hati gembira. Namun, sepasang mata yang melihat dari kejauhan menatap tak senang. Pemilik mata biru itu lalu pergi dengan terburu-buru.

Di ufuk barat, terlihat matahari akan kembali ke paraduannya. Dengan berlari-lari kecil, gadis berambut cokelat itu memasuki istana yang sangat megah.

"Sylvia! Apa yang kau lakukan di kebun botani tadi siang?"

"Maaf, Ayahanda. Aku dan Ferdinan hanya berjalan-jalan."

"Hanya berjalan-jalan? Kau membuat kerajaan malu!"

"Ayah tak mengerti aku! Ini bukan caraku, ini cara ayah! Dengarlah ayah, semua manusia berhak dicintai dan mencintai. Tak pernah ada dalam kamusku tentang 'hanya boleh mencintai orang yang sederajat kedudukan sosialnya'. Lebih baik aku tak menjadi puteri daripada aku merasa terkekang begini!"

Sebuah tamparan dengan mulusnya mendarat di pipi Sylvia. Matanya terbelalak ketika menyadari tamparan itu berasal dari tangan ayahnya yang sangat dikaguminya itu.

"Enyahlah dari hadapanku sebelum aku mengusirmu!"

Tak tanggung-tanggung, Sang Raja menampar anaknya yang menurutnya bersalah itu dan mengancam akan mengusirnya. Penjaga yang melihat sampai tertegun dan tak bisa melakukan apa-apa. Bagai petir di siang bolong, gosip mengenai hal ini cepat menyebar. Banyak spekulasi muncul. Gosip mengenai Sang Puteri telah hamil tanpa suamilah yang paling santer.

"Cih! Kacang lupa pada kulitnya."

"Hus, jangan berkata begitu. Memangnya kau tahu permasalahannya?"

"Aku tahu kita hanya rakyat jelata yang dianggap rendah oleh keluarga kerajaan, tapi tanpa kita, mereka tak kan bisa menikmati hidup mereka!"

"Apa maksudmu?"

"Kau ingat tentang kematian Raja Diaz yang sampai sekarang masih menjadi teka-teki? Misteri yang belum terpecahkan. Aku yakin sekali Pieter bedebah itulah dalangnya!"

"Tutup mulutmu! Kalau ada yang mendengar kau berkata begitu bagaimana? Apakah kau ingin mendekam di penjara bawah tanah?"

Sudah dua puluh tahun setelah kematian Raja Diaz dan kerabat kerajaan. Mereka semua terbunuh saat jamuan makan malam menyambut acara pertunangan kakak Rebecca, Belinda. Mulai dari raja, permaisuri, putera mahkota, pewaris tahta kerajaan ke-10, kerabat kerajaan, dan pelayan-pelayannya meninggal secara misterius. Tak perlu ditebak lagi, sudah pasti mereka dibunuh.

Ada dua orang yang dicurigai sebagai tersangka pada saat itu. Pertama, mantan pacar Belinda, yaitu Diego. Ke dua, Rebecca yang diusir dari istana karena menikah dengan rakyat jelata. Tapi seluruh bukti terhapus. Pelaku tak dapat ditangkap karena ke duanya memiliki alibi yang cukup kuat.

Karena hampir seluruh keluarga kerajaan tewas mengenaskan, maka dipilihlah bangsawan yang akan menggantikan Raja Diaz dan Ratu Isla. Syarat yang diberikan Dewan Petinggi adalah anak pertama dari bangsawan itu haruslah lelaki dan telah berusia minimal 2 tahun. Dan terpilihlah Rebecca dan suaminya, Pieter.

***

"Ayah tak perlu datang jika memang tak ingin. Tapi mengertilah, rasa cinta itu ada disetiap diri manusia dan tak bisa dicegah. Kumohon, berilah izin untuk kami."

Raja Diaz yang biasanya tenang, kini tampak sangat gusar. Wajahnya memerah menahan amarah. Ia berdeham beberapa kali untuk mencairkan ketegangan.

"Baik, pergilah. Lakukan semua sesukamu, Rebecca. Ayah tak kan melarangmu lagi. Kau tak kan mengerti bagaimana perasaan seorang ayah melepaskan puteri bungsunya pada rakyat jelata. Ingat, Rebecca, karma itu berlaku. Kau akan mengerti ketika semuanya berbalik padamu."

Perempuan berambut cokelat itu tercengang mendengar perkataan ayahnya. Ayahnya adalah idolanya. Ayahnya adalah panutannya. Ayahnya adalah sahabatnya. Ayahnya bukanlah orang tua biasa, bukan karena ayahnya adalah seorang raja, melainkan sebab sifatnya yang bijaksana dalam mengambil keputusan. Ia tak menyangka sesuatu yang menurutnya tak terlalu penting menjadi masalah besar.

"Sekarang, kemasi barang-barangmu. Kau bukan bagian dari istana lagi. Tapi tenanglah, kau akan menjadi bangsawan tingkat rendah. Bukankah itu adil? Aku kehilangan puteriku, ah, bukan. Kerajaan kehilangan puterinya, dan kau kehilangan gelar 'puteri'. Selama aku masih hidup, tak kan kuizinkan kau menginjak rumah ini lagi. Dengar itu, Rebecca! Jangan pernah kau sesali keputusanmu hari ini."

Embun membasahi mata Sang Puteri. Satu persatu air mata turun ke pipi. Ia berbalik lalu keluar dari ruangan itu. Dengan berlari-lari kecil, ia kembali ke kamarnya.

***

Kerajaan geger ketika ditemukannya Pangeran Faraz tewas gantung diri di kamarnya. Polisi yang menangani kasus ini langsung menyimpulkan ini bukan pembunuhan. Namun secara tegas Sylvia menolak pendapat itu, kakaknya bukanlah orang sembarangan. Kakaknya tak mungkin bunuh diri mengingat ia akan segera naik tahta menggantikan ayahnya.

Adu mulut tak berarti itu membuat penjagaan polisi melemah. Esok harinya, Ratu Rebecca ditemukan meninggal karena kehabisan darah. Nadi di pergelangan tangannya putus akibat goresan pisau dapur. Kerajaan kembali berduka. Tangis pilu di sana-sini terdengar begitu menyayat hati.

"Sudah dua anggota kerajaan yang meninggal. Apa ini kutukan Raja Diaz?"

"Raja Diaz tak pernah mengutuk siapa pun. Kau tahu itu, Ferdinan."

"Yah kan siapa tau aja, secara tak sengaja ia pernah mengumpat."

"Kurasa pembunuhan ini masih terus berlanjut. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika seluruh anggota kerajaan terbunuh seperti kejadian 20 tahun yang lalu. De javu."

"Puteri Sylvia tak kan mati! Ia akan tetap hidup dan menjadi pendampingku!"

"Hah, yakin sekali kau. Aku tak mengerti isi otakmu."

***

"Dengar aku Sylvia, semua ini kulakukan karena kucinta kau!"

"Tidak! Menjauhlah kau psikopat!" teriak Sylvia sambil masih terisak.

"Aku ... aku ...."

"Tak perlu kau membela dirimu! Kau membunuh kakakku dan ibuku! Enyahlah kau psikopat!"

Senyum sedih terukir di bibir pucat lelaki yang masih memegang pisau itu.

"Aku hanya mengikuti jejak ayahmu."

"Apa maksudmu, Bangsat?!" Sebuah tamparan mengenai pipi lelaki di depan Sylvia.

"Ayahmulah yang membunuh kakekmu, Raja Diaz. Ia tak ingin ibumu merasa sedih karena pernikahan mereka. Ayahku, Diego, menceritakan semuanya padaku. Ayahku menjadi saksi mata atas kekejian yang dilakukan ayahmu. Sayang memang, ayahmu mengancam ayahku dan membuat ayahku lumpuh total.

"Ayahku bungkam. Ia menangis dan meratapi kepergian Belinda. Ia hampir gila akibat ulah ayahmu itu! Tapi untung saja masih ada perempuan yang berbaik hati mengurusnya. Dan akhirnya ayahku dan perempuan itu menikah, lalu lahirnya aku. Jadi sekarang, apa yang ingin kaukatakan?"

"Kau pembohong! Ayahku tak pernah seperti itu! Kau bangsat tak tau diri!" Sylvia mulai berteriak-teriak tak jelas.

"Kau ingin bukti? Baiklah. Akan kutunjukkan."

Lelaki itu menarik tangan Sylvia dan berjalan dengan cepat ke kamar Raja Pieter.

"Rebecca, mengapa kau pergi? Padahal aku akan memberikan kejutan pada hari ulang tahun pernikahan kita. Kau ... jangan pergi...." Pieter tampak seperti ingin meraih-raih sesuatu yang tak kasat mata. Ia tampak seperti orang yang telah kehilangan kewarasan.

"Apa yang kau lakukan pada ayahku?" Sylvia berlari ke arah ayahnya dan memeluknya.

"Aku hanya memberikan ekstrak Angel's Trumpet. Hahaha."

"Bedebah!"

Angel's Trumpet adalah tanaman yang terkenal sebagai halusinogen yang sangat kuat karena mengandung zat tropane alkaloids.

"Rebecca, lihatlah! Kita akan menjadi raja dan ratu. Kau bisa kembali tinggal di istana," ceracau Pieter.

"Ayah ... ayah, ibu tak di sini." Sylvia mulai terisak kembali.

"Rebecca, aku telah berusaha membuatmu bahagia. Aku yang membunuh keluargamu yang sangat menjijikkan itu. Kakakmu si pelacur, ayahmu si bajingan tak berotak, dan ibumu si pecandu obat-obatan terlarang itu telah kubunuh. Kubuat mereka merasakan bagaimana pedihnya hatiku ketika aku dihina-hina. Huaaaa!" Tiba-tiba Pieter menjerit histeris. Ia melompat dari tempat tidurnya dan menabrak benda-benda di sekitarnya.

"Kau lihat? Kau sudah mendengarnya sendiri, bukan?"

Ferdinan berjalan mendekat ke arah Sylvia yang masih menangis. Perlahan, dielusnya rambut Sylvia yang tergerai.

"Tenanglah, aku akan selalu bersamamu. Aku di sini untukmu."

Dengan cepat, Sylvia merebut pisau dari tangan Ferdinan dan menghujamkannya tepat ke jantung pria yang disayanginya itu. Seperti kesetanan, berkali-kali Sylvia menusukkan pisau tajam itu ke tubuh Ferdinan. Sylvia tak membiarkan satu detik pun terbuang. Dikerahkannya seluruh kekuatannya.

"Akh ...." Darah segar keluar dari mulut Ferdinan. Napasnya tinggal satu-satu.

"Aku lelah dengan semua ini, Ferdinan! Lebih baik kau dan aku mati!"

Sylvia menatap liar seisi kamar. Dilihatnya di sudut ruangan terdapat bunga Oleander. Dipetiknya beberapa buah lalu dipaksakannya ayahnya memakan habis bunga itu. Tak berapa lama, dilihatnya ayahnya mulai kehilangan kesadaran, tubuh bergetar, dan dari mulutnya keluar busa.

"Syl ... Sylvia ...." Sylvia berbalik dan terkejut kala melihat Ferdinan telah pergi dengan tersenyum.

"Hahaha." Sylvia tertawa seperti tak ada beban yang ditanggungnya. Setelah puas tertawa, ia mulai menggoreskan pisaunya ke pergelangan tangannya.

"Akh ... ini belum cukup dalam. Aku masih bisa melihat neraka," ucapnya tanpa sadar.

Sekali lagi digoreskannya pisau tajam itu ke pergelangan tangannya. Sylvia meringis, menikmati rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Terakhir, ditusukkannya pisau itu tepat ke jantungnya sendiri. Berakhirlah kisah cinta yang tragis ini.


-----
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 05 September 2014

Obsesi

Karya: Alya Annisaa Dan Aslan Yakuza

-----

Ruangan itu tersembunyi. Aku tak tahu apa alasan sekolah sampai menyembunyikan ruangan itu. Aku menemukannya ketika tengah membereskan kardus-kardus berisi berbagai macam tugas biologi. Yah, pintunya tertutup lemari dan kardus-kardus bekas. Pintu yang diselimuti debu serta gagang yang telah karatan membuat aku berpikir ruangan itu telah lama tidak dibuka. Apakah ruangan itu adalah ruangan terlarang bagi siswa?

Kucoba untuk membukanya. Aneh ... kenapa tidak terdengar suara derit pintu? Dan kenapa di dalam sini tidak ada barang apa pun kecuali ... sebuah lemari besar yang sebagiannya tertutup kain putih dan sebuah meja tua. Padahal aku sudah berharap menemukan barang-barang kuno atau hasil eksperimen ajaib yang ditinggalkan begitu saja.

Tapi atmosfer ruangan ini terasa tidak bagus. Aku merasa ada hal lain yang juga tersembunyi di dalam ruangan ini. Apa mungkin ruangan ini dulunya adalah tempat guru biologi gila yang menjadikan siswanya sebagai kelinci percobaan? Bodoh! Mana mungkin ada guru yang seperti itu.

Dengan gemetaran, aku mengelilingi ruangan pengap ini--berharap menemukan sesuatu yang penting--sampai akhirnya aku penasaran dengan apa isi di dalam lemari. Perlahan aku berjalan mendekati lemari itu lalu menyibakkan kain yang menutupinya. Hei! Ini lemari antik yang cukup bagus.

Clek!

Sial! Lemarinya terkunci! Apaan sih isi lemari itu, sampai-sampai dikunci seperti ini? Berbagai pertanyaan menghujam di benakku, rasa keingintahuanku mengenai isi lemari itu semakin memburu. Sayangnya pintu lemari itu tak bisa dibuka olehku dan sialnya lagi seseorang datang ke ruangan itu. Dengan cepat aku mencari tempat untuk bersembunyi, tak ingin diketahui seseorang yang datang dan belum kuketahui itu. Aku bersembunyi di bawah kolong meja tak jauh dari lemari. Kulihat langkah kaki semakin mendekat, dilihat dari sepatunya ia bukanlah siswa, tapi guru yang mengajar di sini. Sayangnya aku tak bisa melihat wajahnya, hanya bisa mendengarkan celotehnya saja.

"Aneh, kenapa kain penutup lemari ini bisa kebuka sendiri?"

Tak lama orang itu membungkuk--membelak­angiku--mengambil sehelai kain putih yang tergeletak di lantai untuk menutup kembali lemari yang tadi sudah aku buka. Kecemasan seketika menghantui, takut kalau orang itu melihat keberadaanku. Beberapa saat kemudian, orang itu pergi setelah menutup kembali lemari dengan kain putih. Aku menghela napas, lega karena tak ketahuan bersembunyi di bawah kolong meja. Tapi, rasa penasaran dan pertanyaan semakin meluap di benakku. Siapa orang tadi? Kenapa ia menutup kembali lemari? Entahlah, yang terpenting sekarang aku harus segera tinggalkan tempat ini, karena bel istirahat telah berbunyi. Aku tak mau dihukum lagi hanya gara-gara telat mengikuti pelajaran Bu Lusi. Namun aku berjanji pada diriku sendiri, kalau aku akan kembali untuk mengetahui isi dalam lemari.

***

21.15

Aku masih mengingat akan lemari dalam ruang tersembunyi di sekolah. Entah kenapa rasa penasaran benar-benar mendorongku agar secepatnya kembali ke ruangan itu, untuk mengetahui apa yang tersembunyi dalam lemari itu. Kurebahkan tubuh ke kasur dan mulai berpikir cara untuk kembali ke sekolah yang tentunya sudah tak ada lagi penghuninya. Bermacam ide terpikir olehku, tapi aku tidak punya nyali untuk kembali ke sekolah malam ini.

"Konyol! Kenapa sih aku begitu terobsesi mengetahui isi dalam lemari itu? Lupakan! Lupakan!" celotehku, sebelum menarik selimut hingga menutupi wajah.

***

12.50

Hari ini aku sengaja datang ke sekolah lebih awal, untuk mencari tahu siapa guru yang masuk dan menutup kembali lemari yang nyaris kubuka kemarin. Namun sejauh ini belum ada satu pun guru yang mendekati ruangan tersebut apalagi sampai membuka dan masuk ke dalamnya. Dengan berpura-pura membaca buku di kursi halaman belakang sekolah, mataku terus tertuju pada tumpukan kardus yang menutupi ruangan tersebut.

***

13.05

Lima belas menit sudah aku menunggu di halaman belakang sekolah, namun tak ada satu pun orang yang mencurigakan apalagi datang untuk memeriksa ruangan itu. Karena jam pelajaran sebentar lagi dimulai, aku pun memutuskan untuk beranjak, kembali ke kelas. Tapi langkahku terhenti saat aku melihat seorang siswa berkacamata menatapku begitu tajam.

"Ngapain si cupu ngeliatin aku kaya gitu?" batinku. Lalu aku bergegas menuju ke kelas.

***

Bel tanda jam pelajaran usai pun berbunyi. Semua siswa bergegas mengemas barang mereka untuk segera pulang ke rumah. Namun aku santai-santai saja, karena aku punya rencana untuk kembali ke ruangan yang ada di halaman belakang sekolah. Dengan mengendap-endap aku berjalan ke halaman belakang, kemudian mulai menyingkirkan beberapa kardus yang menumpuk setelah aku sampai di depan ruangan. Sama seperti sebelumnya, pintu itu tak mengeluarkan suara saat aku berhasil membukanya.

"Apa?!" Mataku terbelalak penuh tanya. Lemari dan meja itu menghilang. Ada apa dengan semua ini? Semua yang terjadi cukup membingungkan. Ini pasti ada apa-apanya! Sebuah lemari dan meja tak mungkin berpindah tempat begitu saja tanpa ada yang memindahkannya. Berapa orang yang terlibat? Dua orang? Tidak mungkin! Lemari itu cukup berat dan kemungkinan besar yang memindahkannya lebih dari dua orang.

Dengan hati yang gelisah aku kembali keluar. Aku sengaja tak menyentuh apa pun demi tidak meninggalkan jejak, terkecuali gagang pintu ruangan itu. Lebih baik aku segera meninggalkan tempat ini daripada ketahuan orang-orang yang ingin menyembunyikan sesuatu yang ada di dalam lemari dan meja itu. Dengan tergesah-gesah aku meninggalkan ruangan itu. Akan tetapi saat aku tiba di koridor sekolah ...

"Kenapa belum pulang, Shandyana?"

Deg ...!

Sungguh mengejutkan. Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Dengan cemas, aku berbalik badan, dan ...

"Akh!" jeritku tertahan setelah kurasakan benda tumpul menghantam kepalaku. Pandanganku mulai berkunang-kunang, hingga tak dapat mengenali orang yang baru saja memukulku itu. Lemas ... dan semakin lemas saja, membuat lutut tak mampu lagi menopang berat tubuhku dan akhirnya aku pun terjatuh, kemudian ... gelap.


***

"Lepaskan aku!" pintaku sambil terus meronta di atas sebuah kursi dengan tali tambang yang melilit sebagian tubuhku.

"Hahaha!" Bukannya mengasihaniku, tapi orang yang berdiri membelakangiku itu tertawa lantang seolah tanpa dosa dan rasa bersalah.

"Siapa kamu?!"

Perlahan orang itu membalikkan badan, dan ...

"Ka-kau ...," ucapku terbata, dan sungguh tak percaya melihatnya.

"Hahaha! Kenapa? Kau terkejut sayang?"

Aku diam, penuh ketakutan. Matanya menatap tajam ke arahku, seakan aku adalah lawannya yang harus segera dimusnahkan. Tak lama ia menarik belati yang terselip di sisi pinggang kirinya. Panjang nan mengkilat belati miliknya itu, membuat aku semakin merasa terancam berada di hadapnya.

"Pak ... apa yang akan kau lakukan?"

"Hahaha! Sayang, kau sudah terlalu banyak tahu. Harusnya kau tak menuruti rasa penasaranmu, maka kau tak akan mengalami hal semacam ini. Tapi sayang sekali rasanya jika aku menghabisi nyawamu menggunakan belati ini," ucapnya sambil memamerkan bagaimana tajamnya belatinya itu.

"Sepertinya­ aku dan rekan-rekan akan mendapatkan pengetahuan baru, setelah melakukan sesuatu di tubuhmu. Hahaha!" lanjutnya. Kemudian ia bertepuk tangan, memberikan isyarat kepada rekan-rekannya yang menunggu di luar. Aku terbelalak dan semakin ketakutan. Saat ketiga orang masuk ke dalam ruangan tempat aku dan guru biologi itu. Mereka tertawa, dan menunjukkan seringai jahat mereka. Aku merasa seolah bahan yang akan mereka jadikan sebagai percobaan. Tiba-tiba salah satu dari ketiga orang itu bicara.

"Shandyana, apa kau sudah siap, Nak?" ucapnya bertanya. Dan ternyata dia adalah Bu Aisha.

Aku tak pernah menyangka, orang sebaik dirinya bisa terlibat dalam masalah sekejam ini. Nekat, aku pun balik bertanya kepadanya.

"Bu, apa untungnya bagimu melakukan hal semacam ini?"

Ia tersenyum, sebelum menjawab pertanyaanku. "Kau kira dengan menjadi guru saja aku bisa menghasilkan rupiah yang mampu mencukupi semua kebutuhan, hah?!"

Aku semakin tak mengerti. "Apa maksudmu, Bu?"

"Sudah! Percuma bicara sama anak bodoh seperti dia!" ujar pria gendut yang memakai baju dan celana berwarna hitam.

Aku semakin tak mengerti apa tujuan mereka sebenarnya. Kupandangi satu per satu wajah keempat orang yang berdiri gagah di depanku itu. Tak ada satu pun yang tak kukenali. Keempat orang itu masing-masing bernama ... Aisha, Johan, William dan Dermawan. Ketiga dari mereka adalah guru yang mengajar di sekolahku, dan satunya lagi adalah satpam yang bernama Dermawan; bertugas menjaga gerbang sekolahan. Bu Aisha adalah guru fisika, sedang Pak Johan adalah guru olahraga, sementara Pak William adalah guru biolagi, ia juga yang sudah memukul dan mengikatku. Aku beranggapan seperti itu karena ia-lah yang pertama berada bersamaku di ruangan yang baru kuketahui itu.

"Pak, Bu! Apa yang akan kalian lakukan padaku?" dengan berlinang air mata aku mengatakan itu. Berharap belas kasih dari mereka yang sudah dirasuki setan-setan keji.

Serempak mereka tertawa, setelah mendengar pertanyaan yang menurutku tidaklah lucu. Bu Aisha mendekati aku, lalu membelai lembut leherku dengan belati yang tadi dipegang Pak Johan. Ia tak berucap apapun, hanya menggerakkan kepalanya, seolah memberi tanda kepada salah satu rekannya. Benar saja, tak lama kemudian Pak Darmawan dan Pak Johan menarik lemari yang tertutup kain putih. Lemari yang kemarin sempat kubuka serta membuat aku penasaran setengah mati dengan apa yang ada di dalamnya.

"Baiklah, tentunya kau pasti ingin tahu tentang apa isi di dalam lemari ini, 'kan?"

Sialan! Orang ini membaca pikiranku!

"Aku harap kau tak berteriak," sambung Pak Johan. Lalu membuka pintu lemari secara perlahan-lahan.

"Ahh ...!" napasku tercekat, melihat isi dalam lemari itu ternyata adalah seorang perempuan yang masih memakai seragam sekolah lengkap. Yang lebih mengejutkan ... ia adalah siswi yang 'hilang' setahun silam. Namun sekolah seolah lepas tangan. Mereka mengatakan bahwa hilangnya siswi itu bukan tanggung jawab mereka karena siswi itu sudah meninggalkan sekolah, dan hilang bukan di sekolah. Begitulah para guru dan kepala sekolah memberikan kesaksian setahun silam.

"Ju-Ju ... Jurianty ...?"

"Ada apa? Ada yang salah, Sayang?"

"Apa yang sudah kalian lakukan kepadanya?!"

"Hahaha! Apa kau buta? Kau bisa lihatkan, kalau tubuhnya tak sedikitpun berubah dari semasa hidupnya. Dan itu artinya kami berhasil menciptakan pengawet mayat yang sempurna."

"Hah?!" Aku terperangah.

"Shandyana, sekarang kami membutuhkanmu untuk mencoba penemuan baru," ujar Bu Aisha. Lalu mengeluarkan sebuah jarum suntik dan pisau bedah dari tas kecil yang tersampir di sisi kirinya. Aku benar-banar panik, karena kini Bu Aisha berjalan mendekatiku lagi--meninggalkan lemari berisi mayat Jurianty.

"Berhenti! Kumohon, jangan lakukan itu padaku," pintaku yang sudah terisak dengan napas yang mulai sesak. Bu Aisha menghentikan langkah beberapa senti saja dariku.

"Kenapa? Apa kau tak mau menjadi orang yang cerdas dalam segala hal?"

"Tidak Bu, tidak! Kumohon ... aku ingin jadi diriku sendiri dengan kekurangan dan kelebihan yang sudah Tuhan berikan."

"Hahaha. Bodoh! Kami akan memberikan anugerah kepadamu, melebihi anugerah yang telah diberikan-Nya! Bukan untuk mencelakaimu, Sayang."

"Tidak Bu, aku tidak mau itu! Memang apa untungnya bagimu dan Bapak-Bapak di sekitarmu itu?!"

"Pertanyaanmu membuatku bersemangat, mengingat akan lembaran Dollar yang akan mengalir deras di rekeningku," sahut Pak Dermawan dengan lantang.

Aku semakin tak mengerti apa yang mereka inginkan. Di sela isak tangis, aku kembali bertanya kepada mereka yang semekin sumringah melihatku putus asa.

"Apa untungnya bagi kalian melakukan ini padaku dan Jurianty? Jawab!"

Mereka terbahak serentak. Lalu Bu Aisha lagi-lagi yang menjelaskan.

"Lihatlah ini!" serunya. Membuka laci meja tua di samping lemari tempat di mana jasad Jurianty berada. Jantungku seakan meloncat, melihat berbagai potongan organ tubuh manusia yang sudah diawetkan berada.

"Kau tahu, ini adalah contoh untuk meyakinkan klien kami. Kau kira gaji yang diberikan pemerintah cukup untuk membiayai hidup? Tidak. Kami terpaksa memilih jalan ini agar hidup kami jauh lebih baik."

"Tapi apa yang akan kalian dapatkan jika eksperimen yang kalian lakukan kepadaku membuahkan hasil?"

"Hm, jadi penjelasanku tadi tidak cukup membuatmu mengerti?!"

Brak!

"Angkat tangan!" bentak seseorang setelah berhasil mendobrak pintu. Pak Dermawan, Pak Johan, Pak William dan Bu Aisha terlihat sangat panik ketika melihat polisi mulai memasuki ruangan.

"Brengsek!"

Seakan dirasuki setan, Pak Johan melemparkan belatinya ke arah salah satu polisi. Namun untunglah polisi itu sempat menghindar.

Kulihat Pak William, Bu Aisha, dan Pak Dermawan mencoba kabur melalui pintu darurat yang ada.

Dor! Dor! Dor!

"Arghhh...," lolong Bu Aisha.

Satu persatu dari mereka terjatuh akibat timah panas yang menembus daging. Polisi itu menyuruh mereka tiarap, sebelum mendekat dan memborgol mereka berempat. Semua tertangkap. Permainanpun usai. Ternyata Pak kepala sekolahlah bersama Bu Lusi yang melaporkan aksi kejahatan mereka ke polisi. Sudah sangat lama Pak kepala sekolah mencurigai mereka. Berkat bantuan siswa berkacamata yang selalu membawa komik ke mana-mana, akhirnya mereka bisa dibekuk. Berkat anak cupu itu juga, aku bisa selamat dari keempat orang serakah yang ingin menjadikanku kelinci percobaan mereka.


-Sekian-
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 02 September 2014

K-Pop

-Parade Cerpen Bebas PANCHAKE-

K-Pop
Oleh Amel Yanti aka. Hapapu

----

Bagaikan jamur yang bisa hidup di mana saja dan melekat kepada siapa saja yang mendekat. Menempel dan bikin kita gatal. Risih memang, tapi inilah kenyataannya. Jamur yang satu ini di minati hampir di semua kalangan di berbagai macam negara.

Tak rugi juga menjual paha di mana. Di tambah wajah rupawan yang hampir keseluruhannya terbungkus plastik yang High Quality tentunya. Itupun tak menyurutkan minat para fansnya.

Kalau kamu OK di semua aspeknya sih tidak masalah ikut-ikutan jamur yang kita kenal K-pop ini.

Nah! Coba aja kamu bayangin. Udah item, jelek, gendut dan segala hal yang tidak memungkinkan kamu paksakan menjadi seorang yang pantas menjadi bagian dari jamur itu.

Kalau materi dan ahli yang bagus kenapa tidak. Mungkin hasilnya nggak jauh-jauh amat.

Tapi kalau gagal. Entah sudah berapa lembar uang berwarna merah itu kamu hambur-hamburkan. Mending di pake buat beramal atau yang lainnya. Belum lagi kalau hasilnya di luar perkiraan. Apa kata dunia?.

Yang ada hanya penyesalan datang membunuhmu secara perlahan. Belum lagi ucapan penyesalan dari orang tuamu. Nggak kebayang deh nangisnya kayak gimana.
So, lebih baik pikir-pikir dulu deh kalau mau ikut jadi jamur itu.

Aku bukannya melarang kalian untuk terobsesi sama jamur ini lho!.
Kan kita di negara demokrasi, jadi sah-sah saja kalau kalian mau ikut jadi jamur K-pop itu. Tapi aku ingatkan sekali lagi. Mohon dengan amat sangat tolonglah sesuai dengan situasi, kondisi dan materi kalian. Jangan sampai orang-orang menyesal untuk kesekian kalinya telah mengenal kalian.

Seperti sepenggal kisah dari teman, temannya kakak sepupu jauhku ini.
Bukannya bersyukur dengan keadaan eh! Dia malah ngelunjak nggak jelas. Untungnya masih di akui sebagai anaknya oleh orang tuanya. Walaupun itu kadang-kadang. Bahkan masih bisa di hitung berapa jumlahnya selama dia hidup.

Bagaimana tidak. Kita sebut saja namanya Echi. Dengan tubuh gempal berkulit putih agak kecoklatan katanya itu. Yang sebenarnya adalah hitam abu-abu, dia mulai melakukan aksi konyol karena hati dan jiwanya terobsesi jamur aneh itu. Dia mulai berjalan seperti bebek. Berlenggak lenggok ke sana kemari.

Masih mending ada satu dua yang memuji gerakannya. Lah ini yang ada malah botol plastik melayang kearahnya. Masih mending kosong. Lha ini wong diisiin kerikil sampai penuh.

Belum lagi cara bicaranya yang dibuat-buat seksi dan sedikit mendesah. Membuat gendang telinga yang mendengarnya sampai bernanah. Kalau bisa memilih mereka lebih baik mendengar suara Mpok Nori daripada dia.

Belum selesai yang satu ini. Echi dengan bangganya memamerkan paha badaknya ke semua orang. Tentu saja itu membuat mereka menetaskan air liur sisa muntahnya tiap kali kalau mereka tidak sengaja melihatnya.
Idih ogah banget sengaja ngeliat. Kayak nggak ada pemandangan yang lebih menarik saja.

Walaupun sudah banyak yang menegur dan memarahinya. Tapi tetap saja Echi tak peduli dengan semua itu.


Bahkan secara gamblang dia akan melakukan operasi plastik di negara asal muasal jamur K-pop itu.
Bukannya sirik. Tapi cobalah di pikir-pikir lagi. Karena hasilnya sudah kelihatan pasti gagal.

Sampai akhinya dia mengadu kepada temen, temennya kakak sepupu jauhku sambil nangis guling-guling di tanah. Kayak guk guk bermanja ria pengen diajak main lempar kayu. Kau lempar akan aku tangkap katanya.

Setelah mengerti pokok permasalahannya. Aku pun lebih menyetujui omongan orang tuanya yang tidak mau dan tidak sudi membiayai operasi plastiknya.

"Emang kenapa sih nggak ada yang setuju pada rencanaku?" isak tangisnya yang sok dramatis.

"Maksud kita semua kan baik! Biar kamu nggak terlalu melenceng jauh. Yang kayak gininya sebenarnya aku ogah temenan sama kamu!" ujarku.

"Tapi kan ...,"

"Sudahlah aku nggak mau debat sama kamu. Harusnya kamu sadar siapa dirimu!" bentakku.

"Emang siapa diriku?" tanyanya sok imut.

"Kamu itu Eko bukan Echi. Anak juragan pete satu pohon saja belagu mau operasi plastik segala. Kalau sudah ngebet tuh ember kamu pake buat operasi. Sekalian kalau mau ganti itu burung pakai sandal saja biar empuk," jawabku asal sambil pergi menjauh sejauh-jauhnya dari bencong kelas pete kayak dia.

----


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 30 Agustus 2014

Ice Cream (I Scream)

Oleh Alya Annisaa

-----
-POV 1-

"Dengarlah lagu kematianmu, Isla! Dengarkan kebodohan dan dosa yang telah kau perbuat! Hahaha...."

Kuayunkan katana yang sudah berlumuran darah ke arah perempuan muda itu.

Crasssh!

"Kyaaaa! Arghhh..."

Ia hanya bisa menangis, berharap aku mengampuninya. Brengsek! Makhluk menjijikkan itu semakin membuatku muak.

"Kemanapun kau pergi, kau tak akan pernah bisa menghapus darah pengkhianat yang mengalir di tubuhmu!"

"Maafkan aku... maaf...."

Aku melihat diriku yang sangat menyedihkan. Cermin itu menghancurkan hidupku. Cermin itu juga yang bercerita tentang kematian ibuku yang disamarkan oleh ibu dari perempuan bajingan yang masih tetap memeluk kakiku ini.

"Hahaha... dasar perempuan tolol! Kau pikir dengan menangis dan meminta maaf akan menyelesaikan semuanya, begitu? Kau memang bodoh, Isla!"

Crashhh! Crashhh!

"Arggghhh...!"

Katana ini sangat bagus! Barang antik bodoh yang cukup tajam untuk menembus kulit mahadewi yang cantik jelita ini.

"Ibuku... i--ibuku...."

"Pembelaan apa yang ingin kau ucapkan, Isla? Kenyataan yang begitu menyedihkan, bukan? Aku akan membunuh ibumu di depan matamu."

Aku rasa itu pantas didapatkannya setelah apa yang dilakukan ibunya pada hidupku, hidup orang tuaku! Tinta darah yang telah menghitam yang tak akan terhapus!

"Tidak! Tidakkk! Baiklah... kau menang! Kau menang!"

Dengan senyum kemenangan, kulemparkan pisau lipat kecil padanya. Ia memungutnya, lalu... ia mengiris pergelangan tangannya sendiri. Hahaha... matilah kau!

"Argh... dengar, Ryan! Aku tidak akan mati... arghhh... a--aku akan selalu membayangi tempat ini."

***

-POV 3-

"Ada apa dengannya?"

"Seharusnya aku yang berkata begitu padamu! Mengapa kau letakkan pisau itu di sini?!"

"Aku... aku..."

"Kau memang berniat membunuhnya, bukan?"

Senyum tipis terbit di bibir Ryan. "Hahaha... ya. Aku sengaja. Dia harus mengetahui lagu kematiannya!"

"Kau...!" Robert mencengkeram kerah baju Ryan dan mendorongnya hingga ke dinding.

"Hahaha..." Ryan tertawa seperti kesetanan. Tawanya bergema di ruangan sempit ini.

"Sekarang giliranmu, Kak!" Dengan cepat, Ryan mengeluarkan katana yang telah dipersiapkannya sebelumnya, dan...

Crasssh!

Kepala tanpa tubuh itu terpental ke arah mayat gadis muda yang meninggal tadi pagi.

"Kalau saja ibumu tak merusak pernikahan orang tuaku, kalian tak akan mati dengan mengenaskan. Hahaha...."

***

"Ada apa dengannya?"

"Entahlah. Sedari tadi ia tertawa. Mungkin aku harus segera menambahkan obat penenang untuknya."

"Penyakitnya tak akan hilang hanya dengan obat penenang, Dok!"

"Robert, tenanglah. Skizofrenia memang tak bisa disembuhkan, tapi rumah sakit jiwa ini akan selalu menjaga adik tirimu itu."

-----

SMAN 8 Pekanbaru, 28 Agustus 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 23 Agustus 2014

My Boyfriend

Parade Horor Komedi
My Boyfriend
Oleh Alya Annisaa
----
"Maaf, gue terlambat," ucapku sedikit terengah-engah.
"Lo jaga di UKS, ya!"
"Okay, Captain!"
Aku segera memasuki UKS. Lampu masih belum dihidupkan. Samar-samar kulihat seorang perempuan yang awalnya duduk di atas tempat tidur berjalan di belakangku.
"Nadhella, siapa yang keluar barusan?" tanyaku pada perempuan berjilbab panjang yang berdiri di pintu masuk.
"Siapa yang keluar? Enggak ada tuh. Lo salah liat kali."
"Lho? Tadi ada loh cewek pake seragam sekolah keluar. Dia enggak berjilbab."
"Lo lihat kakinya, gak?"
"Hmm... enggak."
Bukan rahasia lagi bahwa aku bisa menyaksikan makhluk dunia lain. Perempuan yang juga akan bersamaku berjaga di UKS itu mulai gugup.
"Jangan bercanda dong, Al. Gue takut, nih."
"Lupakan apa yang gue bilang ba—"
"Siapa nih? Alya, ya? Gue kira Princess Syahrini," potong Jessica yang baru saja masuk UKS. "Rambut lo ikal alami. Ditambah body yang seksi, bikin kakak kelas makin tergila-gila."
"Shut up! Lo pengen ya mulut lo gue sumpal pake sepatu?"
Aku paling muak mendengar ocehan teman-temanku mengenai tubuhku. Seolah-olah tubuhku sama 'hot' nya dengan pelajaran matematika yang memang 'hot' banget.

***

"Perkenalkan, Kakak adalah ketua PMR yang baru. Nama Kakak Alya Titania Annisaa' . Kelas XI IPA 8 aka. kelas bahasa Prancis."
"Statusnya apa nih, Kak?" celetuk salah satu adik kelasku yang duduk paling pojok.
"Status Kakak abu-abu, Dek. Hehehe...."
"Apaan tuh, Kak?"
"Maksudnya, Kak Alya ini lagi nunggu seseorang, Dek," ucap temanku yang paling jahil.
"Hei! Bukan gitu. Aku... aku cuma...."
"Cuma apa, ayo? Hahaha...."
Aku terdiam sesaat. Dengan menahan rasa gemas, aku kembali mengatur nafas dan mencairkan suasana.
"Sudahlah, itu tidak penting."
"Cantik sih, tapi kok galau mulu, ya?"
Suara berat dan cenderung menyeramkan itu bergema di ruangan kecil ini. Semuanya terdiam.
"Siapa sih yang ngomong kaya gitu? Tunjukkin diri lo dong! Jangan cuma omong yang gede!" kataku berapi-api.
Keheningan kembali merasuki. Wajahku yang merah padam menahan amarah membuat semua anggota tidak berani angkat bicara.
"Siapa yang ngomong tadi? Ayo jawab!" bentakku.
"Ooh... girlfriend
Lo cewek paling jutek
Muke lo lebih asem dari ketek
(ketek gue beib, ketek lo mah wangi)
Hobi lo bikin gue termehek-mehek…."
Lagu norak yang dinyanyikan oleh makhluk tanpa wujud itu sepertinya dikutip dari salah satu novel. Dengan muak kumenatap liar ke semua wajah yang hadir.
Cessy, adik kelasku yang duduk di sebelah pintu masuk, dengan wajah pucat dan gemetaran menunjuk ke seberang ruangan yang gelap.
Tanpa pikir panjang, aku pun melihat ke arah yang ditunjukkannya.
"Hallo, Beib." Sesosok makhluk tinggi besar menyeringai. Wajahnya yang dipenuhi belatung dan darah busuk, membuatku mematung. Dengan bangga ia memamerkan taringnya yang berlumuran darah segar.
"Kyaaa!" teriak suara di belakangku. Tanpa komando, semuanya pingsan. Kemudian hening sehening-heningnya. Tinggallah aku berdua dengan makhluk yang memang selalu mengikutiku.
***

Selasa, 19 Agustus 2014

Haruku

Oleh Bill Adithia Biru

-----

Namaku Haru, hanya Haru, tak ada tambahan Haru, dan tak ada Haru yang lain.

Aku bukan kebanggaan, bukan kesenangan, bukan kebahagiaan.

Hanya kesedihan, kegalauan, penderitaan saja.

Orang tuaku, Pak Senang, dan Bu Suka bahkan tak mau mengakui diriku.

"Apa yang bisa kami harapkan darimu? Bisanya hanya menangis saja!" bentak Pak Senang.

"Apa pula yang bisa kau berikan untuk kami? Air mata? Setetes? Sebotol? Segalon? Seberapa banyak pun tak berguna!" sentak Bu Suka.

Yah, seperti itulah kiranya jawaban yang selalu kudengar dari mereka saat aku bertanya tentang eksistensiku.

"Lihat kakakmu, Riang! Lihat adikmu, Gembira! Lihat dirimu, Haru! Cuih! Bahkan aku tak ingin melihatmu!" kompak mereka berdua mencercaku.

"Ini salah kalian memberiku nama Haru!" Tak terbendung air mataku mengalir.

"Berani kau membantah, Haru?! Pergi kau dari kami!" kakek Bahagia bahkan mengusirku.

Haruku semakin menjadi. Air mata yang semula rinai, berubah menganak sungai, tak berapa lama lagi mungkin menggeser posisi danau Toba.

Aku merana, melangkah menyusuri jalanan berpedang. Hitam dan biru tak berbeda. Hanya berjalan dan terus berjalan.

Mendekati persimpangan, aku menemukan sesuatu yang unik.

'Dia' bernama Aib. Aku katakan unik, karena bentuk tubuhnya yang fleksibel. Aib bisa sangat kecil lebih kecil dari butiran debu hingga tak terlihat. Atau sebaliknya, bisa membesar sangat besar melampau batas jarak pandang. Mungkin dia sejenis pahlawan super dalam dongeng Ramayana.

Hanya saja ada yang aneh darinya. Pakaiannya tidak pernah sesuai dengan keadaan. Terkadang dia mengenakan burdah dan gamis hingga menutupi seluruh tubuhnya; berjalan; bergaul dengan orang-orang yang telanjang; menebar pesona agar terlihat terpandang.

Terkadang dia bertelanjang dada; memamerkan bokongnya yang seksi; berkumpul diantara orang-orang berdasi tanpa rasa canggung sedikitpun.

Bahkan aku pernah melihatnya bugil tanpa busana; meliuk-liuk di atas panggung; diiringi riuh dua kubu besar dari Tawa dan Tangis; memadu padankan gaun Bibir antara senyuman dan cibiran.

Aib memang artis. Pasti dia bangga dengan dirinya yang fleksibel.

"Aku bukan kebanggaan atau sesuatu yang bisa dibanggakan. Seharusnya mereka menutupiku; mengunci mati aku dalam brankas besi berlapis tujuh, hingga tak ada seorang pun yang tau siapa aku," bantahnya saat aku menanyakan eksistensinya.

"Orang-orang disekitarku memang aneh. Mereka memandangku sebagai sesuatu yang wajib dilihat; memakaikan gaun-gaun yang indah lalu menelanjangiku. Hanya agar bibir mereka tidak datar saja. Lucu sekali bukan? Saat mereka begitu antusias padaku demi sekedar tertawa, mencibir, mencemooh, dan segala macam model fashion Bibir."

Haruku kembali menganak sungai, nyaris menggeser posisi Kapuas. Aku memeluknya erat merasakan hasrat merana penuh kerinduan. Rindu pada asal.

"Tapi aku bangga, karena berhasil mengalahkan saudaraku, Malu."

Cukup! Aku sangat mengerti tentang dirimu. Haruku kini bahkan melampaui Musi.

Sesaat kami melebur. Bersenggama layaknya Sahabat pada Ingkar; Suami pada Selingkuh; Remaja pada Perawan, dimana kamera lensa dunia siap merekam dan mengabarkan polah kami pada Angin.

Berkat Aib, aku sadar satu hal. Sekalipun aku bukan kebanggaan atau sesuatu yang bisa dibanggakan, aku bangga pada diriku sendiri.

Air mata, ya air matalah kebanggaanku.
Tiada sesiapapun di dunia ini yang tak merinai; meleleh; menganak; bahkan membanjir air matanya saat bertemu denganku.

Cukup Aib saja yang mampu meneguhkan langkahku untuk kembali pada keluargaku. Keluarga kakek Bahagia, yang meliputi Pak Senang, Bu Suka, kak Riang, adik Gembira, Paman Duka, Bibi Pilu, dan sepupu Tangis.

Aku bangga berdiri diantara mereka. Sekalipun eksistensiku diragukan, tapi aku ada.

NAD, 19 Agustus 2014

***


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 06 Agustus 2014

If You Love Me for Me (Cinta 6 Hari)

Parade Libur Lebaran (FF)

If You Love Me for Me (Cinta 6 Hari)
Oleh Alya Annisaa

Genre : Romance

Kisah nyata dengan sedikit pengubahan :v

-----

'Selama ada penggantinya, lo pasti bisa move on!'

Kalimat itu terus menghantui pikiranku. Bagaimana mungkin aku bisa menemukan penggantinya? Aku ... aku masih belum bisa melupakannya.

***

'Once a lass met a lad
You're a gentle one, said she
In my heart I'd be glad
If you loved me for me'

"Jangan sebut aku penggoda! Karena aku hanya merayu orang-orang hebat."
 
"Hei! Tak ada yang menyebutmu penggoda."

"Hahaha ... memang tidak ada. Itu hanyalah salah satu gombalanku untukmu," jawabku sambil tersenyum manis.

"Jadi, apakah aku sudah terjebak? Menyerahkan diri tanpa perlawanan? Berjalanan sendiri menuju jebakan?"

"Ya, ya, dan ya."

"Sekarang apa yang harus ku lakukan?" tanyanya dengan senyum jahil.

"Oh, duduklah dengan manis dan setialah padaku."

'You say your love is true
And I hope that it will be'

***

'I love you the way you are
And that will never change
That will never change'

Kau menyanyikan lagu itu untukku. Sungguh indah. Aku ingin selalu mendengar nyayian itu di semua suasana yang menyelimuti kita berdua.

***

'Could I be the one you're seeking?
Will I be the one you choose?
Can you tell my heart is speaking?
My eyes will give you clues'

Padahal baru saja kumeneguk manisnya cinta yang kauberi untukku. Namun kini ... aku harus kembali mengkaji hatiku dan terus bertanya-tanya, apakah kau masih pantas kucintai?

***

"Bullshit! Jangan pernah percaya sama mulut kelinci jantan! P-L-A-Y-E-R!"

"Lalu bagaimana? Mana yang lebih baik? Dilepasin atau kaga nih? Aku bingung, Kay."

"Terserah kamu aja. Kalau kamu masih sayang dia, kasih aja kesempatan dulu. Daripada nyesel padahal masih sayang."

"Tapi, Kay ..."

"I'm just like you . You're just like me. You'd never think that it was so. But now I've met you and I know. Yes I am a girl like you."

"Ha? Bagaimana bisa, Kay?"

"Dengar! Dulu aku juga pernah di dekatinya. Dia berjanji banyak hal padaku. Namun semua itu hanya omong kosong!"

"Kay ..."

"A heart that beats. A voice that speaks the truth. Yes I am a girl like you."

***

"Dont cheat. If you're unhappy, just leave," ucapku dengan linangan air mata.

Dia terdiam. Sesaat ia seperti ingin memelukku. Tapi tidak. Ia hanya mengusap lembut rambutku.

"Aku tak ingin memaksakanmu. Cinta bukan karena terpaksa. Aku tau aku tidak seperti yang kau inginkan." Aku masih terisak. Sulit sekali untuk berkata begitu.

"Maafkan aku ...," ucapnya lemah.

***

"Selama ada penggantinya, lo pasti bisa move on! Semangat, Al! Semangat! Ini bukan akhir dunia!"

-----

Sijunjung, 6 Agustus 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®