Jumat, 05 September 2014

Obsesi

Karya: Alya Annisaa Dan Aslan Yakuza

-----

Ruangan itu tersembunyi. Aku tak tahu apa alasan sekolah sampai menyembunyikan ruangan itu. Aku menemukannya ketika tengah membereskan kardus-kardus berisi berbagai macam tugas biologi. Yah, pintunya tertutup lemari dan kardus-kardus bekas. Pintu yang diselimuti debu serta gagang yang telah karatan membuat aku berpikir ruangan itu telah lama tidak dibuka. Apakah ruangan itu adalah ruangan terlarang bagi siswa?

Kucoba untuk membukanya. Aneh ... kenapa tidak terdengar suara derit pintu? Dan kenapa di dalam sini tidak ada barang apa pun kecuali ... sebuah lemari besar yang sebagiannya tertutup kain putih dan sebuah meja tua. Padahal aku sudah berharap menemukan barang-barang kuno atau hasil eksperimen ajaib yang ditinggalkan begitu saja.

Tapi atmosfer ruangan ini terasa tidak bagus. Aku merasa ada hal lain yang juga tersembunyi di dalam ruangan ini. Apa mungkin ruangan ini dulunya adalah tempat guru biologi gila yang menjadikan siswanya sebagai kelinci percobaan? Bodoh! Mana mungkin ada guru yang seperti itu.

Dengan gemetaran, aku mengelilingi ruangan pengap ini--berharap menemukan sesuatu yang penting--sampai akhirnya aku penasaran dengan apa isi di dalam lemari. Perlahan aku berjalan mendekati lemari itu lalu menyibakkan kain yang menutupinya. Hei! Ini lemari antik yang cukup bagus.

Clek!

Sial! Lemarinya terkunci! Apaan sih isi lemari itu, sampai-sampai dikunci seperti ini? Berbagai pertanyaan menghujam di benakku, rasa keingintahuanku mengenai isi lemari itu semakin memburu. Sayangnya pintu lemari itu tak bisa dibuka olehku dan sialnya lagi seseorang datang ke ruangan itu. Dengan cepat aku mencari tempat untuk bersembunyi, tak ingin diketahui seseorang yang datang dan belum kuketahui itu. Aku bersembunyi di bawah kolong meja tak jauh dari lemari. Kulihat langkah kaki semakin mendekat, dilihat dari sepatunya ia bukanlah siswa, tapi guru yang mengajar di sini. Sayangnya aku tak bisa melihat wajahnya, hanya bisa mendengarkan celotehnya saja.

"Aneh, kenapa kain penutup lemari ini bisa kebuka sendiri?"

Tak lama orang itu membungkuk--membelak­angiku--mengambil sehelai kain putih yang tergeletak di lantai untuk menutup kembali lemari yang tadi sudah aku buka. Kecemasan seketika menghantui, takut kalau orang itu melihat keberadaanku. Beberapa saat kemudian, orang itu pergi setelah menutup kembali lemari dengan kain putih. Aku menghela napas, lega karena tak ketahuan bersembunyi di bawah kolong meja. Tapi, rasa penasaran dan pertanyaan semakin meluap di benakku. Siapa orang tadi? Kenapa ia menutup kembali lemari? Entahlah, yang terpenting sekarang aku harus segera tinggalkan tempat ini, karena bel istirahat telah berbunyi. Aku tak mau dihukum lagi hanya gara-gara telat mengikuti pelajaran Bu Lusi. Namun aku berjanji pada diriku sendiri, kalau aku akan kembali untuk mengetahui isi dalam lemari.

***

21.15

Aku masih mengingat akan lemari dalam ruang tersembunyi di sekolah. Entah kenapa rasa penasaran benar-benar mendorongku agar secepatnya kembali ke ruangan itu, untuk mengetahui apa yang tersembunyi dalam lemari itu. Kurebahkan tubuh ke kasur dan mulai berpikir cara untuk kembali ke sekolah yang tentunya sudah tak ada lagi penghuninya. Bermacam ide terpikir olehku, tapi aku tidak punya nyali untuk kembali ke sekolah malam ini.

"Konyol! Kenapa sih aku begitu terobsesi mengetahui isi dalam lemari itu? Lupakan! Lupakan!" celotehku, sebelum menarik selimut hingga menutupi wajah.

***

12.50

Hari ini aku sengaja datang ke sekolah lebih awal, untuk mencari tahu siapa guru yang masuk dan menutup kembali lemari yang nyaris kubuka kemarin. Namun sejauh ini belum ada satu pun guru yang mendekati ruangan tersebut apalagi sampai membuka dan masuk ke dalamnya. Dengan berpura-pura membaca buku di kursi halaman belakang sekolah, mataku terus tertuju pada tumpukan kardus yang menutupi ruangan tersebut.

***

13.05

Lima belas menit sudah aku menunggu di halaman belakang sekolah, namun tak ada satu pun orang yang mencurigakan apalagi datang untuk memeriksa ruangan itu. Karena jam pelajaran sebentar lagi dimulai, aku pun memutuskan untuk beranjak, kembali ke kelas. Tapi langkahku terhenti saat aku melihat seorang siswa berkacamata menatapku begitu tajam.

"Ngapain si cupu ngeliatin aku kaya gitu?" batinku. Lalu aku bergegas menuju ke kelas.

***

Bel tanda jam pelajaran usai pun berbunyi. Semua siswa bergegas mengemas barang mereka untuk segera pulang ke rumah. Namun aku santai-santai saja, karena aku punya rencana untuk kembali ke ruangan yang ada di halaman belakang sekolah. Dengan mengendap-endap aku berjalan ke halaman belakang, kemudian mulai menyingkirkan beberapa kardus yang menumpuk setelah aku sampai di depan ruangan. Sama seperti sebelumnya, pintu itu tak mengeluarkan suara saat aku berhasil membukanya.

"Apa?!" Mataku terbelalak penuh tanya. Lemari dan meja itu menghilang. Ada apa dengan semua ini? Semua yang terjadi cukup membingungkan. Ini pasti ada apa-apanya! Sebuah lemari dan meja tak mungkin berpindah tempat begitu saja tanpa ada yang memindahkannya. Berapa orang yang terlibat? Dua orang? Tidak mungkin! Lemari itu cukup berat dan kemungkinan besar yang memindahkannya lebih dari dua orang.

Dengan hati yang gelisah aku kembali keluar. Aku sengaja tak menyentuh apa pun demi tidak meninggalkan jejak, terkecuali gagang pintu ruangan itu. Lebih baik aku segera meninggalkan tempat ini daripada ketahuan orang-orang yang ingin menyembunyikan sesuatu yang ada di dalam lemari dan meja itu. Dengan tergesah-gesah aku meninggalkan ruangan itu. Akan tetapi saat aku tiba di koridor sekolah ...

"Kenapa belum pulang, Shandyana?"

Deg ...!

Sungguh mengejutkan. Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Dengan cemas, aku berbalik badan, dan ...

"Akh!" jeritku tertahan setelah kurasakan benda tumpul menghantam kepalaku. Pandanganku mulai berkunang-kunang, hingga tak dapat mengenali orang yang baru saja memukulku itu. Lemas ... dan semakin lemas saja, membuat lutut tak mampu lagi menopang berat tubuhku dan akhirnya aku pun terjatuh, kemudian ... gelap.


***

"Lepaskan aku!" pintaku sambil terus meronta di atas sebuah kursi dengan tali tambang yang melilit sebagian tubuhku.

"Hahaha!" Bukannya mengasihaniku, tapi orang yang berdiri membelakangiku itu tertawa lantang seolah tanpa dosa dan rasa bersalah.

"Siapa kamu?!"

Perlahan orang itu membalikkan badan, dan ...

"Ka-kau ...," ucapku terbata, dan sungguh tak percaya melihatnya.

"Hahaha! Kenapa? Kau terkejut sayang?"

Aku diam, penuh ketakutan. Matanya menatap tajam ke arahku, seakan aku adalah lawannya yang harus segera dimusnahkan. Tak lama ia menarik belati yang terselip di sisi pinggang kirinya. Panjang nan mengkilat belati miliknya itu, membuat aku semakin merasa terancam berada di hadapnya.

"Pak ... apa yang akan kau lakukan?"

"Hahaha! Sayang, kau sudah terlalu banyak tahu. Harusnya kau tak menuruti rasa penasaranmu, maka kau tak akan mengalami hal semacam ini. Tapi sayang sekali rasanya jika aku menghabisi nyawamu menggunakan belati ini," ucapnya sambil memamerkan bagaimana tajamnya belatinya itu.

"Sepertinya­ aku dan rekan-rekan akan mendapatkan pengetahuan baru, setelah melakukan sesuatu di tubuhmu. Hahaha!" lanjutnya. Kemudian ia bertepuk tangan, memberikan isyarat kepada rekan-rekannya yang menunggu di luar. Aku terbelalak dan semakin ketakutan. Saat ketiga orang masuk ke dalam ruangan tempat aku dan guru biologi itu. Mereka tertawa, dan menunjukkan seringai jahat mereka. Aku merasa seolah bahan yang akan mereka jadikan sebagai percobaan. Tiba-tiba salah satu dari ketiga orang itu bicara.

"Shandyana, apa kau sudah siap, Nak?" ucapnya bertanya. Dan ternyata dia adalah Bu Aisha.

Aku tak pernah menyangka, orang sebaik dirinya bisa terlibat dalam masalah sekejam ini. Nekat, aku pun balik bertanya kepadanya.

"Bu, apa untungnya bagimu melakukan hal semacam ini?"

Ia tersenyum, sebelum menjawab pertanyaanku. "Kau kira dengan menjadi guru saja aku bisa menghasilkan rupiah yang mampu mencukupi semua kebutuhan, hah?!"

Aku semakin tak mengerti. "Apa maksudmu, Bu?"

"Sudah! Percuma bicara sama anak bodoh seperti dia!" ujar pria gendut yang memakai baju dan celana berwarna hitam.

Aku semakin tak mengerti apa tujuan mereka sebenarnya. Kupandangi satu per satu wajah keempat orang yang berdiri gagah di depanku itu. Tak ada satu pun yang tak kukenali. Keempat orang itu masing-masing bernama ... Aisha, Johan, William dan Dermawan. Ketiga dari mereka adalah guru yang mengajar di sekolahku, dan satunya lagi adalah satpam yang bernama Dermawan; bertugas menjaga gerbang sekolahan. Bu Aisha adalah guru fisika, sedang Pak Johan adalah guru olahraga, sementara Pak William adalah guru biolagi, ia juga yang sudah memukul dan mengikatku. Aku beranggapan seperti itu karena ia-lah yang pertama berada bersamaku di ruangan yang baru kuketahui itu.

"Pak, Bu! Apa yang akan kalian lakukan padaku?" dengan berlinang air mata aku mengatakan itu. Berharap belas kasih dari mereka yang sudah dirasuki setan-setan keji.

Serempak mereka tertawa, setelah mendengar pertanyaan yang menurutku tidaklah lucu. Bu Aisha mendekati aku, lalu membelai lembut leherku dengan belati yang tadi dipegang Pak Johan. Ia tak berucap apapun, hanya menggerakkan kepalanya, seolah memberi tanda kepada salah satu rekannya. Benar saja, tak lama kemudian Pak Darmawan dan Pak Johan menarik lemari yang tertutup kain putih. Lemari yang kemarin sempat kubuka serta membuat aku penasaran setengah mati dengan apa yang ada di dalamnya.

"Baiklah, tentunya kau pasti ingin tahu tentang apa isi di dalam lemari ini, 'kan?"

Sialan! Orang ini membaca pikiranku!

"Aku harap kau tak berteriak," sambung Pak Johan. Lalu membuka pintu lemari secara perlahan-lahan.

"Ahh ...!" napasku tercekat, melihat isi dalam lemari itu ternyata adalah seorang perempuan yang masih memakai seragam sekolah lengkap. Yang lebih mengejutkan ... ia adalah siswi yang 'hilang' setahun silam. Namun sekolah seolah lepas tangan. Mereka mengatakan bahwa hilangnya siswi itu bukan tanggung jawab mereka karena siswi itu sudah meninggalkan sekolah, dan hilang bukan di sekolah. Begitulah para guru dan kepala sekolah memberikan kesaksian setahun silam.

"Ju-Ju ... Jurianty ...?"

"Ada apa? Ada yang salah, Sayang?"

"Apa yang sudah kalian lakukan kepadanya?!"

"Hahaha! Apa kau buta? Kau bisa lihatkan, kalau tubuhnya tak sedikitpun berubah dari semasa hidupnya. Dan itu artinya kami berhasil menciptakan pengawet mayat yang sempurna."

"Hah?!" Aku terperangah.

"Shandyana, sekarang kami membutuhkanmu untuk mencoba penemuan baru," ujar Bu Aisha. Lalu mengeluarkan sebuah jarum suntik dan pisau bedah dari tas kecil yang tersampir di sisi kirinya. Aku benar-banar panik, karena kini Bu Aisha berjalan mendekatiku lagi--meninggalkan lemari berisi mayat Jurianty.

"Berhenti! Kumohon, jangan lakukan itu padaku," pintaku yang sudah terisak dengan napas yang mulai sesak. Bu Aisha menghentikan langkah beberapa senti saja dariku.

"Kenapa? Apa kau tak mau menjadi orang yang cerdas dalam segala hal?"

"Tidak Bu, tidak! Kumohon ... aku ingin jadi diriku sendiri dengan kekurangan dan kelebihan yang sudah Tuhan berikan."

"Hahaha. Bodoh! Kami akan memberikan anugerah kepadamu, melebihi anugerah yang telah diberikan-Nya! Bukan untuk mencelakaimu, Sayang."

"Tidak Bu, aku tidak mau itu! Memang apa untungnya bagimu dan Bapak-Bapak di sekitarmu itu?!"

"Pertanyaanmu membuatku bersemangat, mengingat akan lembaran Dollar yang akan mengalir deras di rekeningku," sahut Pak Dermawan dengan lantang.

Aku semakin tak mengerti apa yang mereka inginkan. Di sela isak tangis, aku kembali bertanya kepada mereka yang semekin sumringah melihatku putus asa.

"Apa untungnya bagi kalian melakukan ini padaku dan Jurianty? Jawab!"

Mereka terbahak serentak. Lalu Bu Aisha lagi-lagi yang menjelaskan.

"Lihatlah ini!" serunya. Membuka laci meja tua di samping lemari tempat di mana jasad Jurianty berada. Jantungku seakan meloncat, melihat berbagai potongan organ tubuh manusia yang sudah diawetkan berada.

"Kau tahu, ini adalah contoh untuk meyakinkan klien kami. Kau kira gaji yang diberikan pemerintah cukup untuk membiayai hidup? Tidak. Kami terpaksa memilih jalan ini agar hidup kami jauh lebih baik."

"Tapi apa yang akan kalian dapatkan jika eksperimen yang kalian lakukan kepadaku membuahkan hasil?"

"Hm, jadi penjelasanku tadi tidak cukup membuatmu mengerti?!"

Brak!

"Angkat tangan!" bentak seseorang setelah berhasil mendobrak pintu. Pak Dermawan, Pak Johan, Pak William dan Bu Aisha terlihat sangat panik ketika melihat polisi mulai memasuki ruangan.

"Brengsek!"

Seakan dirasuki setan, Pak Johan melemparkan belatinya ke arah salah satu polisi. Namun untunglah polisi itu sempat menghindar.

Kulihat Pak William, Bu Aisha, dan Pak Dermawan mencoba kabur melalui pintu darurat yang ada.

Dor! Dor! Dor!

"Arghhh...," lolong Bu Aisha.

Satu persatu dari mereka terjatuh akibat timah panas yang menembus daging. Polisi itu menyuruh mereka tiarap, sebelum mendekat dan memborgol mereka berempat. Semua tertangkap. Permainanpun usai. Ternyata Pak kepala sekolahlah bersama Bu Lusi yang melaporkan aksi kejahatan mereka ke polisi. Sudah sangat lama Pak kepala sekolah mencurigai mereka. Berkat bantuan siswa berkacamata yang selalu membawa komik ke mana-mana, akhirnya mereka bisa dibekuk. Berkat anak cupu itu juga, aku bisa selamat dari keempat orang serakah yang ingin menjadikanku kelinci percobaan mereka.


-Sekian-
Powered by Telkomsel BlackBerry®

0 komentar:

Posting Komentar