Sabtu, 02 Januari 2016

Karma Tetap Berlaku

by : Lailatul

Sejuk angin yang berhembus menemani kepedihan hati Lala di akar, salah satu pohon di Akar Seribu Plajan.
Kesejukan mendamaikan jiwa lara yang Lala rasakan.
Lala selalu duduk berdiam di salah satu pohon di Akar seribu semenjak Dia pitus hubungan dengan kekasih yang Dia cintai.
Penyesalan demi penyesalan menghantui meski tak berarti lagi.
Pesan demi pesan Lala kirimkan setiap hari meski tak pernah ada balasan dari sang mantan kekasih.
Bulan demi bulan Lala hadapi penuh dengan kesunyian hati.
'Hay' sapa seorang lelaki yang dia kenal
'Kamu sendiri disini..?, ngapain. Sedih?' katanya menyodorkan sebuah undangan.
'Candra' jawab nya lesu
'dari siapa ni..?' lanjutnya membaca undangan nya
'Oh. Iya, aku pastikan datang.' lanjutnya merobek undangan itu
(Lalapo, kenapa, bukan aku aja yang kamu cinta kenapa musti Hadi. Lalapo aku enggak rela air mata mu menetes cuman karena dia ku mohon berhentilah menangis) Bantin Candra seakan tercabik melihat butiran-butiran bening berjatuhan di pipi Lala.
'Iya. Sudah aku pergi ya.' ucap Candra berlalu pergi meninggalkan Lala. Namun lala tak menghiraukan nya.
****
di sebuah pohon Candra tetap setia memantau dan memperhatikan Lala, penuh kekhawatiran.
Langit menunjukkan kekelaman nya menunjukan dia akan menurunkan hujan kepedihan.
****
'Hadi, Kenapa kamu lakuin ini kepada ku..?, kenapa kamu tega kepada ku. Sandiwarakah kamu selama ini.' teriak Lala berlutut di tengah hujan yang sedang melanda.
'yuk bangun. Nanti kamu sakit' seseorang memayungi nya mengajaknya untuk berdiri kembali.
'Aku nggak mau Cand. Aku ingin di sini. Aku ingin di tempat ini.' katanya mendongak kearah Candra
'Uda berapa lama kamu di sini...?, berapa lama lagi kamu menangis untuk dia?, ayolah. Bangun' ajak Candra sedikit memaksa.
'Ah.. Iya. Iya. Itulah kamu selalu memaksa ku.' Lala bangun dengan kepedihan yang masih tetap Ia rasa dalam jiwa.
Di tengah perjalanan Lala terus saja menangis, membuat batin candra semakin tak karuan, meskipun begitu Candra lebih tenang karena dirinya berada di sisi Lala saat Ia menangis.
'Cand. Kenapa ya dia lakuin itu kepada ku. Mungkin aku memang selama ini tak berarti di hatinya. Mungkin aku hanya sebatas angin yang melintas di kepalanya. Kenapa aku bisa Jatuh di hati yang salah. Cand aku sudah lelah aku ingin istirahat' Lala mengoceh tak karuan sepanjang jalan setapak yang mereka lewati.
'sini aku gendong kalo kamu lelah, kita harus sampai di rumah sebelum magrib.' ucap candra membungkukkan badannya agar Lala mudah naik.
Sampai di parkiran
'pakai mobil aku aja ya po. Motor kamu di titipin dulu. Kasiankan kamu kedinginan pasti' ucap Candra menawarkan.
'Tolong ya kamu yang nitipin motor aku.' pinta lala
'baiklah. Kamu tunggu di mobil. Di mobil juga ada jaket pake aja..!' suruh candra membukakan pintu mobil.
Sekembalinya Candra Merekapun langsung pulang
****
di rumah Lala. 'Thanks ya Cand. Aku masuk dulu' lala pergi meninggalkan Candra begitu saja.
'Lala, darimana kamu.' tanya Ayah Lala.
'sejak kapan Ayah peduli sama Lala.?' jawab Lala membanting Pintu.
Lalu masuk kekamarnya. 'sayang, ini ibu nak. Kamu kenapa...?' panggil Ibu mengetuk pintu kamar Lala
'Entahlah, bu. Lala lagi pengen sendiri' jawab Lala menangis
****
'Po. besokan Jum'at wage mau nggak ikut aku, pantai bandengan. Aku sama temen-temen kelas 9B yang dulu. rencana mau reuni'
Lala membaca pesan dari Candra.
'Emp. Boleh mungkin aku emang perlu ketenangan. Sama temen-temen juga.?, kok aku nggak di kasih tau Can?. Tulisnya lalu menekan tombol kirim
emang pernah kamu di ajak temen-temen ke pantai?, sejak kapan kamu akrab sama anak-anak?. Candra membalas penuh selidik
namun Lala tak menjawabnya
****
pagi-pagi sekali Candra menjemput Lala dengan penuh kebahagiaan.
'Assalamualaikum...'­ Candra mengetuk pintu rumahnya berharap akan ada yang membuka.
'wa.alaikumsalam' jawab Lala membuka pintu.
'uda siap?. Eeeet.. Pamit ibu dulu po!, dan motor kamu gimana yang di plajan.... Teruuuss'
'Blacaaan... Satu satu, ngomong nya' Lala memotong ucapan Candra.
'ya udah bentar ya.' Lala berlalu meninggalkan Candra
'Siap.. Ayo....! Yeeee pantai...' kegembiraan tersirat di raut wajah imut gadis berusia 19th itu.
(aku bahagia po, kalo kamu ketawa seperti ini. Teruslah tersenyum dalam kedamaian)
bantin Candra penuh kepuasan
****
Sampai di pantai teman-teman merak pun telah menunggu. 'Candra.......' teriak seorang gadis yang Lala kenal dialah mantan kekasih Candra. 'hay. What...??, ello putus dari gue jadian sama si aneh ini Cand?' tanya-nya penuh selidik sedikit cemburu.
'Dia enggak aneh Yun. Dia hanya berbeda. Dan dia itu lebih baik dari ellu.' tegas-nya
'Cand...' Lala menarik tangan Candra tuk pergi dari Yuni.
'Aku emang aneh. Cand Yuni bener. Aku pulang aja yah Cand..?' pinta Lala penuh harap Candra mengijinkannya.
'Enggak, Kamu tetap disini. Mereka kalau enggak mau sama kamu, ya uda kamu sama aku. Aku akan tetap disisi kamu. Meskipun temen-temen berkata apapun tentang kamu' tegas Candra menggenggam tangan Lala.
'Udah ah. Jangan sedih. Ayo kita main..' kata Candra menarik tangan Lala kepinggir pantai, dengan ombak yang bergulung-gulung meski tak begitu besar.
'Candraaaaaaaaaaaa..­.' Lala berteriak bahagia.
(Tuhan semoga dia takkan pernah lagi dalam kesedihan seperti kemarin) batin Candra memandangi keceriaan Cintanya.
Hari demi hari mereka jalani dengan penuh kebahagiaan hingga mantan Lala yang dulu memutuskan-nya Kembali dan membuat Candra terluka hati dan juga batin nya.
****
Tahun baru di Alun-Alun Jepara. Hujan, deras menemani pesta malam itu.
Pesta kembang api memeriahkan malam itu.
'Lalaaaa' panggil seorang lelaki yang lelambaikan tangan kearah mereka berdua.
'Hay...' sapanya ramah
'datang sama siapa kamu'. Selidiknya.
'oh aku dateng sama Candra.' sahutnya.
'La. Aku pengen ngomong sama kamu...!' dia menarik tangan Lala ke belakang keramaian.
'jelasin apa..?'
jawab lala penuh tanda tanya.
'La.. Aku minta maaf ya. Atas semua kesalahanku yang lalu. Mohon ampuni aku. Iya. Aku akan tepati janjiku untuk meminangmu. Aku mohon, aku uda kehilangan tunangan aku La, dia pergi begitu saja seperti aku yang pergi darimu tanpa kabar apapun. Aku mohon kembali sama aku. Aku mohon maafkan aku' jelas hadi penuh harap.

Namun Lala berlalu tanpa memperdulikan kata-kat yang terucap dari mulut Hadi.
'Candraaaaaaaaaa....­' Lala berlari mengejar Candra, yang berlari terbawa arus patahati.
'Candraa...aku nggak mau kehilangan kamu. Kembali. Aku takut sendirian Candra...' Lala berteriak menangisi kepergian Candra. 'udah la... Ayo bangun malu. Tuh di liatin banyak orang, berdiri yah...!' perintah Hadi. 'aku enggak mau aku cuma mau Candra' katanya menghapus air mata yang mengaliri pipi Cabi nya.

'Ayolah po...!, jangan membuat malu Hadi...!' bujuk Candra
'Iya. Aku bangun tapi kamu janji tetap ada disisi ku. Selamanya' pinta gadis itu.
'Aku tidak mau'
Candra menolak 'ya sudah kalau gitu, kamu pergi juga sana' usir Lala Berapi-api.
'Aku tidak mau. Kalau kamu menangis di tengah-tengah pesta kaya gini. Iya. Aku mau jadi yang pertama dalam hatimu dengan ketulusan yang kau punya'.
Jelas Candra mengulurkan tangannya agar Lala mau berdiri.
Lalapun Berdiri memeluk erat sahabat yang Ia cinta, dan berlalu dari keramaian, menerobos derasnya hujan. 'Aku kira, kamu akan kembali sama dia. Cinta mu. Yang kamu bilang akan selamanya di hatimu.' kata Candra meledeki sahabatnya itu
'jadi kamu ingin aku, balik sama dia..?. Lalu melukai hatiku, dan hati kita..?' jelas Lala penuh dengan tanya. 'Hahaha... Iya aku kira kamu akan kembali sama dia, ternyata kamu ngejar aku. Yang jelas-jelas aku belum jadi siapa-siapa kamu.' Candra mentertawakannya.
'Kalau gitu mau tidak di hari Ulang tahun ku nanti kamu jadi seorang teristimewa di hati dan jiwaku?, kamu mau tidak menemani ku dalam bahagia dan kesedihan ku' Lala berusaha mengungkapkan isi hatinya meski dia gugup. 'Hempp.. Apa-apaan ini aku di tembak seorang cewek. Bagaimana aku bisa menolak nya. Aku tidak tega' jawab candra penuh dengan canda...'Iiih dasar, jawab gitu aja pake becanda.' kata Lala mencubit hidung mancung nya Candra.
'Lala I LOVE U...'
'aku akan tetap mencintai dirimu Blacan, meong ku.'

dan akhirnya merekapun pacaran. Dan karma tetap berlaku untuk siapa yang berhianat pada cintanya.

Jepara 21 Desember 2015


------

Note : Ini adalah cerpen terakhir dari Mbak Laila Tul Latifah
 di Grup PANCHAKE, jadi saya ingin siapapun yang mengenal beliau tetap mengenangnya dan mengingatnya. Selamat jalan Mbak Laila. Semoga diterima di sisi Allah SWT.

Midnight Meat Train

By Oetep Sutiana

Riyu mengerjap-ngerjap, pandangan matanya sedang menyesuaikan diri dengan kegelapan sekitar yang tiba-tiba muncul menggantikan benderang lampu halogen di langit-langit kabin kereta. Sama sekali ia tidak menyangka, keadaan cepat berubah tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Deru laju kereta terdengar riuh, sementara lampu-lampu di luar jendela kereta, berlarian-berlesakan dengan sangat cepat.
Riyu masih terduduk di dinding pintu bordes, rasa nyeri dan rembesan basah dari balik lengan baju yang membungkus tangannya mulai ia rasakan.
Ia tidak sedang tertidur ketika sosok itu--pria berjubah hitam dengan kepala bagian belakang tertutup hoodie back, sementara antara hidung dan dagunya tertutup masker--tiba-tiba muncul di hadapannya.
Riyu tersentak, deru angin hampir menampar wajahnya ketika tangan kirinya yang sedang memegang buku, refleks menangkis serangan benda ke arahnya. Riyu menjerit tatkala benda itu--sepintas mirip samurai--menggores tipis lengannya.
Dengan kekuatan yang ada di sela keterkejutannya, Riyu menyarangkan tendangan, setelahnya ia meloncat berlari dalam gerbong.
Riyu baru menyadari bahwa di dalam gerbong kereta itu tak ada siapa pun, kecuali pria itu dan dirinya.
Riyu kembali mengerjap. Dalam kegelapan, ia masih bisa merasakan bahwa sosok itu tengah mendekat. Dirinya tersudut, pintu bordes itu tidak bisa dibuka, terkunci sangat rapat.
"Siapa kamu?" Dalam ketakutan, Riyu berusaha bertanya. Napasnya memburu.
Tak ada jawaban kecuali geraman. Bunyi langkah itu terdengar kian mendekat. Riyu mencoba bangkit, tangannya--sekali lagi, mencoba menarik handle pintu bordes. Gagal. Hanya menghasilkan suara decitan logam.
"Apa yang kau inginkan dariku?" Riyu terus memberanikan diri bertanya. Degup jantungnya kian berpacu.
Masih tak ada jawaban selain geraman. Sosok itu diperkirakan Riyu kian mendekat. Tiba-tiba ia merasakan deru angin kencang melesat ke arahnya, lantas ia merasakan benda dingin merobek kulit lehernya. Riyu menjerit, serta-merta ia memegang logam lancip yang tertanam di lehernya. Otaknya bekerja dan menerka, benda itu: anak panah.
Riyu tidak bisa mempertahankan kesadarannya ketika darah di lehernya terus memancar, sebelum ia benar-benar hilang kesadaran, tubuhnya ditarik paksa oleh sosok tersebut. Ia menggelosor di atas lantai kabin kereta.
*****
"Terjadi lagi." Inspektur Yamada melempar koran di hadapan Inspektur Taka, tepat ketika lelaki itu selesai menandaskan kopinya.
"Nama korbannya, Riyu Mori," lanjut Inspektur Yamada.
"Kabar buruk bagi penduduk kota. Kita harus cepat bergerak. Apa rencana departemen kita selanjutnya?" Inspektur Taka menimpali. "Ini tidak bisa didiamkan, korban yang makin banyak seolah menampar ketidakbecusan kita."
"Kita harus menunggu perintah."
"Dan ... membiarkan korban berjatuhan lebih banyak lagi."
"Tapi...."
Inspektur Taka langsung memotong. "Tak ada kata menunggu."
Inspektur Taka tergesa keluar dari bilik kubikel ruang kerjanya, meninggalkan Inspektur Yamada yang masih geming pada posisinya.
*****
Angin dingin menderu, Ayumi membenarkan letak syal di lehernya. Ia merutuki keteledoran dirinya sendiri. Kalau saja ia tidak mabuk dalam pesta tadi, tak mungkin ia terlambat pulang.
Subway itu hanya dipenuhi beberapa orang, tiga atau empat. Hampir tengah malam dan hanya orang-orang sedang terdesak keperluan--seperti dirinya--yang terpaksa menikmati kelengangan malam di dalam gerbong Midnight Train.
Ayumi mendesah, seorang pria berjubah hitam dengan topi cowboy duduk di sebelahnya. Bayangan perihal berita di koran kota yang sedang gencar berlesakan ke permukaan pikirannya. Tentang pembunuhan perempuan-perempuan muda di dalam kereta, mendesirkan bulu kuduknya.
Ia mencelos, berusaha menenangkan diri. Kalau saja dirinya tidak terpaksa, mungkin ia tidak akan melakukan hal bodoh seperti saat ini.
Lima menit lagi kereta terakhir itu akan segera tiba. Pria di sampingnya semakin membuat jantung Ayumi berdegup kencang.
"Pulang kerja?" Pria itu bertanya. Ayumi hanya menggeleng.
"Habis pesta?" tanya pria itu sekali lagi. Ayumi tetap menggeleng. Ia tak berani beradu pandang dengan pria itu.
"Baiklah. Aku terlalu ingin tahu urusan orang lain. Maafkan aku," pungkasnya. Ayumi berusaha tersenyum.
Hening setelahnya. Beberapa saat kemudian, kereta yang ditunggu akhirnya tiba. Ayumi bergegas masuk diikuti pria tadi.
Gerbong itu hanya diisi oleh lima orang saja: Ayumi, pria tadi, dan tiga orang yang duduk satu bangku di ujung kabin. Pria itu sendiri, duduk terhalang lima kursi dari Ayumi.
Ia lega setelah mendapati bukan hanya dirinya dan pria tadi yang berada dalam gerbong. Ayumi memutar lagu di Ipod dan memasang earphone-nya kemudian.
Ayumi hampir tertidur ketika merasakan bahunya diraba oleh tangan seseorang. Ia menoleh, dan tak seorang pun di belakangnya. Ia tiba-tiba menyadari hal yang aneh mungkin sedang terjadi.
Ayumi kaget ketika mendapati, pria yang duduk di kursi depan telah hilang. Ia menyapu pandangannya, tiga orang di ujung kabin pun sudah tidak ada.
Ayumi berpikir cepat; apakah orang-orang tadi itu turun di stasion sebelumnya? Padahal, setahu dirinya, kereta itu dari semenjak ia naik, belum pernah berhenti. Stasion berikutnya pun masih 1 km lagi, ia hafal rute kereta tersebut.
Ayumi bangkit, pindah gerbong adalah tindakan paling masuk akal yang harus segera dilakukannya. Ia bergerak tepat ketika salah satu orang di ujung kabin muncul. Ayumi hampir bertanya, namun urung. Orang itu tiba-tiba terjerembab menghunjam lantai. Dan Ayumi baru sadar, wajah orang itu berdarah-darah. Sontak Ayumi mundur, orang itu tak lagi bergerak, darah tiba-tiba mengalir deras dari belakang kepalanya.
Belum habis keterkejutan Ayumi ketika sosok ber-hoodie back muncul di pintu bordes, suaranya menggeram. Ayumi sadar bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi padanya. Ia memutar tubuh, bergegas menuju gerbong belakang. Kepanikan segera menguasai dirinya. Ia berlari secepat yang ia bisa, sebelum semuanya terlambat.
Namun, langkahnya terhenti, lampu kabin tiba-tiba mati, suara laju kereta menderu.
Suara langkah kaki mendekat. Ayumi sama sekali tak tahu apa yang harus dilakukannya. Meloncat dari dalam kereta yang sedang melaju kencang, tentu saja bukan pilihan tepat. Itu sama saja melakukan bunuh diri.
Suara langkah kaki itu kian mendekat. Dalam rasa paniknya, Ayumi merasakan bahwa pintu bordes di belakangnya terbuka, sebuah tangan menariknya segera. "Ikuti aku," ucapnya dalam kegelapan. Seorang pria.
Seolah mendapatkan kesempatan emas, Ayumi mengikuti perintah itu. Ia segera bergerak.
Gerbong di depannya terang benderang. Ternyata, yang menarik tangan dirinya adalah pria yang hilang di hadapannya.
"Jangan takut, aku Inspektur Taka," ucapnya pelan. Ada rasa lega dalam diri Ayumi setelah mengetahui siapa pria itu. Namun, kelegaannya tak berlangsung lama. Sebuah anak panah melesat dan menancap tepat di belakang kepala pria di hadapannya.
Tubuh Sang Inspektur roboh berlinang darah segar. Ayumi menjerit. Sosok ber-hoodie back itu sudah berdiri tepat di pintu bordes. Ia menggeram. Ayumi terduduk, seluruh persendiannya seolah dilolosi.
Sosok itu merentangkan sebuah busur, anak panah siap meluncur ke arah sasaran. Ayumi tidak bisa bergerak. Kali ini ia pasrah. Dipejamkan kedua bola matanya lantas berdoa, berharap seseorang menolongnya.
Selain gemuruh laju kereta, tak ada tanda-tanda seseorang dalam kereta. Ayumi kian dibekap rasa takut, sekuat tenaga ia memejamkan mata. Kematian sedang berdiri angkuh di hadapannya. Sekali tarik, panah itu akan merobek batok kepalanya.
Sebelum itu terjadi ... dor!!! Sebuah letupan terdengar. Ayumi menyangka, bukan anak panah yang memecahkan batok kepalanya, tapi senapan. Namun, kenapa dirinya tak merasakan rasa sakit?
Ayumi mendengar bunyi gedebuk keras. Serta merta ia mebuka mata, sosok itu ternyata sudah ambruk dengan batok kepala pecah berhamburan. Pria lain berdiri dengan senapan masih terkokang.
Cibatu, 24 Desember 2015

Tas Kulit Antik

Oleh : Amel (Hapapu)

Pandanganku berputar ke segala arah. Melihat-lihat berbagai macam bentuk tas yang unik juga antik. Sayang mereka semua tidak terlalu menarik hatiku.

Satu-satunya tas yang paling aku sukai adalah tas yang kugendong sendiri. Tapi karena sudah berumur, maka aku putuskan untuk mengganti kulitnya.

Tibalah aku di sini. Toko tas sekaligus reparasinya. Aku pun menghampiri Pak tua si pemilik toko. Meminta tolong agar beliau mau mengganti kulit tasku ini.

"Berapa harganya Pak, untuk mengganti kulit tas saya?" tanyanku sopan.

"Kamu ingin mengganti kulit tasmu ini? Harganya standar kalau kamu mau menunggu dua minggu lagi!" ujarnya.

"Lama sekali Pak! Bisakah lusa sudah selsai!" pintaku.

Pak tua itu hanya terdiam. Memikirkan permintaanku yang menurutnya merepotkan itu. "Maaf Nak, kalau lusa Bapak tidak bisa. Karena bahannya baru akan tiba sabtu depan. Tapi kalau kamu memaksa..., baiklah. Bapak akan lakukan. Namun kalau terjadi apa-apa, jangan salahkan Bapak!" ancamnya.
Mau tidak mau aku harus melakukannya. Karena tiga hari lagi aku akan pergi liburan bersama teman-temanku. Tentu saja aku tak mau pergi tanpa tas kesayanganku itu.

***

Hari H pun tiba. Aku datang lagi ke toko tas Pak tua itu. Hatiku sangat senang sekali melihat hasil kerjanya. Lihatlah! Kulitnya sekarang sangat halus dan indah. Tak kusangka Pak tua itu mengerti seleraku.
Tiba saat pembayaran jasanya, Pak tua malah menggelengkan kepalanya. Tatapan kosongnya tak mau menerima upah dariku. Beliau hanya diam saja dan berlalu pergi meninggalkanku yang kebingungan.
Ya sudahlah. Mungkin ini hari keberuntunganku. Mendapatkan tasku seperti baru dan gratis pula. Maka aku pun pulang dengan hati riang.

Sepanjang jalan aku bersenandung riang. Sambil membeli perlengkapan liburanku besok. Tapi entah mengapa pundakku terasa berat sekali. Seperti menggendong sesuatu yang berat.
Rasanya aku tak memasukkan barang apapun di dalam tasku kecuali dompet dan hpku. Namun yang kurasakan malah seperti menggendong anak kecil.

Aku pun berhenti dan duduk sebentar di bangku jalan. Melepas lelah. Sambil menatapi tas kesayanganku di bawah sinar lampu taman.

Namun ada yang terlihat aneh. Seingatku, aku tak petnah memesan kulit ular atau buaya untuk mengganti kulit tasku. Tapi di bawah sinar lampu ini, terlihat sangat jelas bentuk sisik-sisik itu. Dan terlihat berkilauan.
Tiba-tiba saja bulu kudukku bediri. Perasaan aneh menggangguku. Aku pun buru-buru beranjak dari tempat dudukku. Saat aku menaikkan tali tasku di pundak. Saat itu juga, aku merasakan seperti memegang tangan anak kecil.

Mencengkram pundakku erat. Seperti akan takut jatuh ketika aku gendong. Aku pun langsung menoleh dan tatapan kami pun bertemu.

Lubang matanya yang menganga itu terlihat jelas di hadapanku. Darah segar masih mengalir dari dalamnya. Di tambah seringainya yang mengeluarkan air liur yang menjijikan itu.

Langsung saja aku menjerit sekencang-kencangnya. Berusaha menjatuhkannya dari pundakku. Tapi kukunya yang tajam malah terus menusuk pundakku. Darah segarpun membasahi baju.

Sambil menangis aku pun tetap berusaha menjauhinya dari tubuhku. Sedikit demi sedikit anak mengerikan itu turun menuju kakiku. Walau luka di pundakku bertambah dalam karena cengkramannya.

Dengan sekuat tenaga aku terus mendorongnya. Hingga akhirnya dia pun terlepas dari kakiku. Aku pun berusaha berlari menjauh. Tapi anak mengerikan itu berusaha mengejarku. Dengan sigap aku pun menendangnya keras-keras.

Berharap semoga dia jatuh terjerembab dan tak bangun lagi. Sayang usahaku di gagalkan oleh suara orang yang meneriakiku. Dia kira aku telah melakukan kekerasan terhadap anak kecil.

Seandainya dia tahu siapa anak ini. Tentu saja dia tak akan berkata kasar padaku. Karena aku lengah, akhirnya anak itu berhasil merangkul kakiku. Berusaha memanjat ke pundakku. Aku pun berteriak meminta tolong pada orang yang membentakku tadi.

Walau heran dengan kelakuanku, dia pun bersedia menarik anak kecil itu. Setelah terlepas dariku begitu saja dia pun berkata, "kau ini kenapa? Sama tasmu sendiri kok teriak-teriak. Kayak di ganggu setan saja!" ujarnya.

Aku pun merasa heran. Bagaimana mungkin fia mengganggap anak mengerikan itu sebagai tas. Dengan santainya dia pun memberikan tasku tadi. Tapi mataku tetap saja tak bisa di tipu.

Tas itu bukan lagi tasku. Karena yang aku lihat hanyalah seorang anak mengerikan yang meronta-ronta seperti ingin di gendong ibunya. Akupun langsung berlari menjauhinya. Berharap semoga anak itu tak mengikutiku.

Orang yang menolongku tadi pun bingung melihat diriku kabur begitu saja tanpa mengambil kembali tasku. Dengan muka heran dia pun berkata, "aneh sekali gadis itu. Masa tas sebagus ini di tinggalin begitu saja? Apa ada yang aneh sama tas ini ya?"

"Lumayanlah bisa bawa pulang," ujarnya riang. Dia pun pulang sambil menggendong tas aneh itu. Tapi bukan tas lah sebenarnya yang dia bawa. Melainkan anak siluman ular yang di tangkap Pak tua dulu.

Di Atas Tangga

Oleh : Diemas Ariasena

Dalam sejarah hidupku yang di atas selalu menang dan yang di bawah adalah pecundang. Jika kita ingin menang, kita harus menaiki tangga. Yah, tangga dunia.

***
“Cih, kerja begini saja tidak becus! Apa gunanya aku membayar kalian, hah!”

“Maaf. Aku berjanji tidak akan mengulanginya, Pak”

“Janji? Dunia ini perlu bukti! Ah, sudahlah ini surat pemecatanmu. Kamu dipecat”

***
Aku sudah terbiasa dengan pemecatanku yang seperti ini. Entah kenapa penyakitku ini sangat mengganggu saat aku bekerja. Dokter yang memeriksaku hanya menyimpulkan aku memiliki penyakit yang aneh, dia menyerah untuk mengobatiku.

Aku tinggal sendiri, aku t idak tau kemana orang tuaku atau lebih tepatnya aku tidak memiliki orang tua. Aku benci malam, karena saat itu aku bisa menjadi sangat mengantuk dan tidak bisa jauh dari tempat tidurku. Ah, ini biasa karena sepertinya aku termasuk ke golongan orang yang malas, he he he.

***

‘Slashh’

‘clak ... clak ... clak’

Terdengar bunyi kepala yang ditebas dan tetesan darah jatuh dari sesosok tubuh manusia yang sudah tidak lagi bernyawa.

“Bisa kita mulai permainannya?”

“Terserah kau”

“Tapi, aku akan mendatanginya”

“Tentu saja”

“Berhenti!” ucapku menghentikan mereka berdua.

“Dia bangun”

“Yah, waktu kita sudah tidak lama lagi”

“Apa yang kau lakukan pada tetang-“ sebelum aku mengucapkan kata-kata itu, aku tak sadarkan diri-pingsan.

Teringat olehku, baru seminggu yang lalu dia pindah ke sini. Dia adalah tetangga baruku, orangnya baik, cantik dan juga dermawan. Dia tidak segan-segan mengajakku makan malam, tapi mereka membunuh mereka, sialan!

“Pak, bisakah anda memberi penjelasan tentang kematian saudara Dila,” ucap seorang polisi yang berada di lokasi kejadian setelah besoknya aku beritahu.

“Iya, malam itu entah kenapa aku sudah berada di luar rumah. Saa aku ingin kembali ke rumahku. Aku mendengar keributan di rumah ibu Dila dan aku mencoba untuk melihat apa yang sedang terjadi. Dan seperti yang bapak tahu Ibu Dila sudah dalam kondisi yang mengenaskan, tapi sebelumya aku melihat dua orang, pria dan wanita. Saat aku mencoba mengejarnya, aku tak sadarkan diri”

“Oke, sepertinya kesaksian anda mirip dengan kesaksian orang dari perusahaan freeline. Direktur di sana juga dibunuh, dan saksi mengatakan persis dengan yang anda katakan”

“Pak Bos meninggal?”

“Terimakasih atas waktunya, Pak”

“Eh, iya”

***

“Kalian melakukannya lagi?”

“Tentu saja”

“Ini sudah saatnya?”

“Ya”

“Baiklah, aku rela jika itu demi kalian. Buatlah keluarga kita kaya, bangunlah rumah semegah mungkin, lalu bangkitkan aku”

“Ya, tentu saja. Tubuhmu milikku, aku sudah tidak tahan berbagi tubuh lagi”

“Silahkan kalian mengambilnya, Yah, Bu”

“Kau memang anak yang berbakti”

***

Untuk bisa mencapai ke atas dunia banyak orang-orang melakukan banyak cara. Diantaranya ada cara yang menggunakan bantuan dari makhluk yang paling dibenci di dunia ini.
-Selesai-

Pain


By: Adelia P.S
.
"Juara pertama diraih oleh ... Adelia Putri Septiani!"
.
Tepuk tangan langsung riuh menggema. Seorang gadis cantik berdiri dari duduknya, debaran senang di dada semakin cepat tatkala langkahnya semakin dekat menghampiri panggung.
.
Sedikit gemetar dia menerima piala, lengkung indah di bibirnya semakin lebar saat bersalaman dengan kepala sekolah.
.
"Silahkan memberikan sedikit pidato, Lia." Langsung saja, senyum gadis itu hilang.
.
Cekikikan dan ejekan sinis mengisi aula, tak jarang pula hinaan diterimanya. Salah seorang guru tergesa maju, membisikkan sesuatu kepada pembawa acara di situ. Pria itu sedikit terkejut, "Oh, maafkan aku. Aku tidak tahu."
.
Lia hanya tersenyum, pedih. Kemudian tanpa diperintah, dia melenggang turun dari panggung, ditemani sorakan kompak dari teman-teman sekelasnya.
.
"Dasar, gadis bisu!"
.
Sesaat dibuat melayang, lalu seenaknya dijatuhkan. Sungguh menyakitkan.
***
Mega merah perlahan turun dari cakrawala, sinar jingganya dapat menenangkan hati yang sedang gelisah. Kini tak lagi siang, para murid pun sudah pulang, tapi tidak untuk Lia, dia masih terdiam.
.
Gadis itu memang sengaja bergeming, tidak bergerak sedikitpun dari kursinya. Dia menunggu.
.
Setelah waktu yang dilewati terasa cukup, tubuhnya bangkit. Tas merah ia sampirkan di bahu. Lalu berjalan keluar sembari menunduk.
.
Lorong sekolah sepi, telah bersih dari aktivitas siswa-siswi. Akhirnya, dia melangkah tenang. Namun saat di perbelokan, dia terjatuh, lebih tepatnya terjegal.
.
Tangan besar penuh otot tiba-tiba menariknya saat mencoba berdiri, lalu tanpa ampun menyeretnya entah kemana, tubuhnya dihempaskan ke dinding berlumut yang lembab, dan akhirnya ia jatuh terkulai.
.
Belum sempat Lia bernapas, tangan itu kembali menyiksa, tubuhnya terangkat oleh cekikan pria di depannya. Gadis itu menendang-nendang tidak karuan, tapi hanya udara hampa yang dikenai. Kedua tangannya menggenggam erat tas merahnya, terlalu erat hingga kukunya menembus kain tas tersebut.
.
"Berikan uangmu! Uang dari hadiah yang baru saja kau terima pasti banyak, berikan!" David membentak, semakin menekan leher jenjang Lia ke dinding. Namun gadis itu menggeleng. Tidak kali ini, batinnya.
.
Berang! David membanting tubuh mungil itu ke tanah. Tak akan ada yang mendengar keributan di halaman belakang sekolah, jadi aman jika dia menyiksa.
.
Lia terbatuk-batuk, cepat-cepat ia meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Panik, dia merangkak mundur. Namun David melangkah maju.
.
Gadis itu kebingungan, lalu tanpa pikir panjang segera menendang keras selangkangan pemuda itu, tepat di daerah vital. Wajah David memerah, dia mengerang kesakitan.
.
Kesempatan itu tidak disia-siakan. Lia kabur. Untuk hari ini hanya memar di leher, entah seberapa parah luka besok. David pasti membalas dendam.
***
Brak!
.
Pintu jati itu tertutup kencang, hingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga, membuat seseorang meradang.
.
"Adelia! Apa kau pikir memperbaiki pintu itu murah, hah?!" Ibunya melolong marah, tapi kemudian melanjutkan kegiatannya bersolek.
.
Alih-alih ketakutan, mata coklat Lia berkilat senang. Dia merogoh tasnya, mengambil amplop uang dan juga pialanya. Tergesa-gesa ia melangkah, lalu mengguncang lengan ibunya yang sedang memakai lipstick. Alhasil, noda merah itu melewati batas bibir ibunya, belepotan.
.
Amarah langsung menguasai wanita itu. Plak! "Berani-beraninya kau!"
.
Pipi Lia pedih, bercap merah cetakan tangan ibunya. Cairan hangat membendung di matanya, berusaha ditahan. Tangan lentiknya perlahan diangkat, memperlihatkan dua benda yang dari awal ingin dia tunjukan.
.
Namun, ibunya tanpa perasaan menepis kasar.
.
"Jangan tunjukan barang tak berguna milikmu di hadapanku, gadis bisu pembawa sial!"
.
Isakan lolos dari bibirnya, dia sudah sekuat tenaga berusaha tegar, tapi hatinya tidak sekuat yang diharapkan.
.
Tin! Tin!
.
Klakson mobil itu menghentikan makian yang akan dikeluarkan ibunya. Wanita itu menormalkan kembali ekspresinya. Dengan memasang senyum genit, dia berlalu pergi. Tapi sebelum dia keluar, ia mengancam, "Bersihkan seluruh rumah! Atau aku akan mengurungmu dalam gudang!"
.
Lia hanya mengangguk lemah.
.
Ibunya telah menghilang, entah siapa lagi duda tampan yang berhasil digaetnya, padahal umur wanita yang telah melahirkannya itu tidak terbilang muda.
.
Sekarang, gadis itu sendirian.
.
Perlahan, ia menolehkan wajahnya ke samping. Piala kacanya pecah, mengenaskan. Amplop hadiah yang berisi uang entah kemana, mungkin sudah diambil ibunya tanpa diketahuinya.
.
Kerja kerasnya tidak dihargai. Selalu saja begitu.
***
Cakrawala menggelap seiring dengan sang surya yang turun dari tahta langitnya. Diantara gelaran hitam, bertabur kerlap-kerlip bintang yang menemani dewi malam dalam keanggunan singgasananya.
.
Sunyi. Tidak ada yang berniat mengusik ketenangan ini. Hampir tidak ada suara. Hampir.
.
Grasak-grusuk terdengar lirih dari luar kamar Lia. Gadis itu mengerang, lalu terpaksa bangun. Dengan gontai dia menuju pintu kamar, membukanya sedikit, tapi sebelum kesadaran terkumpul, sapu tangan sudah membekap mulutnya, dan saat gadis itu mencium bius, dia langsung tak sadarkan diri.
***
Plak!
.
Sebuah tamparan mendarat tanpa halangan di pipi Lia. Membuatnya seketika sadarkan diri. Dan saat ia melihat sekelilingnya, mata coklatnya terbelalak.
.
Ini halaman belakang sekolahnya!
.
Gadis itu berusaha bangkit. Namun baru menyadari jika tangan beserta kakinya terikat kencang oleh tali tambang. Dia panik. Api dari lilin-lilin yang mengelilingi tubuhnya hampir mengenai saat ia mengguncang meja yang ditidurinya.
.
"Diamlah!"
.
Secara refleks, gadis itu menoleh, mendapati seseorang berjubah hitam dengan topeng putih mendekatinya. Di tangan orang itu terdapat pisau dengan ukiran-ukiran rumit dan cantik. Seketika tubuh Lia menegang.
.
Orang itu berhenti tepat di sebelahnya. Lalu membuka beberapa kancing piyama yang dikenakan gadis itu, menyingkap bagian perutnya.
.
Secara mendadak besi tipis itu menggores perut Lia, tidak dalam tapi cukup membuat perih. Goresannya menjalar, membentuk pola-pola yang tidak bisa dimengerti. Sebuah mantra.
Matanya berkaca-kaca. Keringat dingin sudah membanjiri seluruh badan gadis itu, napasnya pun memburu. Namun hanya rintihan lirih yang keluar dari bibirnya, tak ada teriakan, karena ia tidak bisa berteriak, dia bisu.
.
"Dengan ini aku korbankan engkau, Adelia Putri Septiani, sebagair persembahanku untuk memperoleh apa yang aku inginkan."
.
Pisau itu teracung tinggi-tinggi. Lia membelalak ngeri. Tatapan memelasnya sudah tidak berarti.
.
Jleb!
.
Lia mengejang. Tancapan itu terlalu kuat hingga menembus meja kayu yang sekarang dialiri darah. Namun gadis itu masih bernapas, ia sekarat.
.
Perlahan, kesadaran terenggut darinya. Namun sebelum semuanya sirna, alat bantu pendengarannya menangkap sebuah suara.
.
"Demi keabadian, terima kasih sudah menjadi tumbalku, anakku."
.
Tamat.

Dua Menit, Tiga Menit

By: Ihsan Fikrie

𝘉𝘪𝘭𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘦𝘮𝘢𝘺𝘢𝘮, 𝘵𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘴𝘪𝘳𝘯𝘺𝘢. 𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘬𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘶𝘯, 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘬𝘢𝘳𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘴𝘪𝘭 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘰𝘣𝘢𝘢𝘯. 𝘗𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘥𝘪𝘱𝘢𝘭𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘭𝘪-𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘤𝘢𝘱 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘶𝘢𝘵 𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘣𝘰𝘬, 𝘬𝘢𝘺𝘶, 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘳𝘪𝘱𝘭𝘦𝘬 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪𝘱𝘶𝘯. 𝘚𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘢𝘸𝘢𝘳. 𝘋𝘶𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘴𝘪𝘯. 𝘉𝘦𝘳𝘬𝘢𝘭𝘪-𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘢𝘯𝘪𝘴. 𝘚𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘪𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘨𝘶𝘳𝘳𝘳𝘪𝘪𝘩𝘩 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘪𝘯 (𝘭𝘩𝘰)! 𝘙𝘦𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵-𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵, 𝘵𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘬𝘶𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 …

***

Ini adalah hari terindah yang pernah ada. Langit begitu cerah, tapi suhu sama sekali tidak gerah. Bu Imas—guru Bahasa Indonesia—batal masuk kelas karena hidungnya berdarah. Aku berjalan setengah melompat-lompat seperti anak kecil, dengan senyumku yang merekah. Kalau sekarang aku bercermin, pastilah kedua pipiku semu merah.
Dua menit itu, dua menit yang paling menyenangkan! Betapa tidak, aku berhasil bicara dengannya. Kau percaya itu? Mulai sekarang, dia tahu namaku. Walau sekadar nama panggilan, bukan nama lengkap yang tertera di akta kelahiranku. Ah, benar-benar serasa mimpi aku sanggup mengatakan itu padanya. Percaya tidak percaya, dengan persentase ketidakpercayaan 99 persen.
Kau pasti ingin tahu bagaimana kejadiannya bukan? Oh, ya. Nama asliku Dewi Kirana, tetapi di akta tercetak Neng Dewi Kirana (entah dari mana asalnya tambahan itu). Sejak kecil, semuanya memanggilku Wiki dan aku juga terbiasa dipanggil begitu. Padahal, sebetulnya aku tidak suka. Membuatku terdengar lemah. Tahu kata ‘lemah’ dalam bahasa inggris kan? Ah, sudah cukup intermezonya. Akan aku ceritakan kejadian tadi saat lelaki itu belajar mengucap namaku.
“Hei, cowok! Traktir aku dong!” pintaku sok dekat saat bertemu dengannya di kantin.
“Hah?”
“Traktir. Tahu kan artinya?”
“Seenaknya! Memangnya kau siapa?”
“Aku Wiki dari 11 IPA 4.”
“Wiki?”
“Ingat baik-baik ya!”
Begitulah. Biasa saja bukan? Itu menurutmu. Lain dengan orang yang sedang kasmaran seperti aku. Setelah itu aku langsung berlari terbirit-birit ke kelas. Mungkin karena degup jantungku yang begitu cepat membuat adrenalinku terpacu.
Namanya Adrian. Orangnya putih, tinggi, badannya tegap berisi, dan suaranya serak-serak becek. Persis seperti Ariel Noah dengan wajah lebih tampan. Tujuh dari sepuluh banci pasti suka padanya. Apalagi aku sebagai wanita tulen. Aku jatuh padanya. Aku mati padanya. Kalau boleh, ingin sekali aku memotong kepalanya yang tampan itu untuk kupasang di dinding kamar, agar aku bisa memandanginya setiap bangun ataupun hendak terlelap.
Selama istirahat kedua berlangsung, aku hanya duduk manis di depan kelas. Kelasku dan kelasnya saling berhadapan. Aku bisa melihatnya sedang menulis dari balik jendela. Tiba-tiba kepalanya menoleh. Dia menoleh ke arahku. Aku langsung membuang muka. Berpura-pura tidak melihatnya. Bisa gawat kalau dia sampai curiga. Setelah beberapa saat, aku melirik lagi ke arahnya. Ya ampun, dia masih memandangiku sejak tadi. Ah, kepiting rebus! Pasti pipiku semerah makanan itu sekarang.

***

… 𝘒𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘭𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘬𝘢𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘱𝘦𝘵𝘢𝘯𝘪𝘯𝘺𝘢. 𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘣𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬, 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘳𝘢𝘱, 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘱𝘶𝘱𝘶𝘬, 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘪𝘳𝘢𝘮𝘪, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘢𝘮 𝘣𝘦𝘯𝘪𝘩-𝘣𝘦𝘯𝘪𝘩 𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘯𝘢. 𝘋𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘶 𝘱𝘦𝘵𝘢𝘯𝘪, 𝘬𝘢𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘵𝘢𝘯𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬. 𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘭𝘶𝘱𝘢 𝘫𝘢𝘥𝘸𝘢𝘭, 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘨𝘢 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘭𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘴𝘶𝘣𝘶𝘳 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘯𝘪𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘶𝘮𝘣𝘶𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘩𝘢𝘵. 𝘙𝘦𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵-𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵, 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘵𝘢𝘱𝘯𝘺𝘢 …

***

Pagi ini sungguh biasa. Normal. Tak seperti kemarin. Padahal matahari baru naik sepenggalan, tapi Adrian sudah dikerumuni oleh banyak perempuan-perempuan centil dan berisik. Aku memang berisik, tapi setidaknya aku tidak hiperbol seperti mereka. Huh, aku memang tidak suka pedas. Aku benci cabe. Apalagi cabe-cabean!
Kalau sedang kesal, aku ingin makan. Aku selalu membayangkan makanan yang masuk ke dalam mulutku adalah orang yang membuatku kesal itu. Kugigit, kukunyah, kukoyak dengan gigi taringku, lalu kutelan dengan lahap. Rasanya plong sekali.
“Bakso satu Mas!” pesanku pada Mas Guntur, penjual bakso di kantin sekolah.
“Campur?”
“Tidak pakai saus, tidak pakai sambel, juga tidak pakai kol.”
Aku mengisi satu-satunya meja yang kosong dengan dua kursi. Sekarang tinggal duduk menunggu dengan bosan. Di saat seperti inilah, pasti selalu terbayang momen-momen paling menyebalkan. Bagaimana mungkin Adrian bisa melihatku di antara puluhan wanita yang selalu mendekatinya? Aku terus mencari waktu yang tepat di saat ia sedang sendiri. Misalnya ketika ia sedang duduk menunggu di Tata Usaha untuk menyerahkan data diri pengajuan beasiswa. Belum sempat aku ngobrol, aku sudah dipanggil duluan ke dalam. Begitu aku keluar, giliran dia yang dipanggil masuk. Kalau aku Sponge Bob, pasti sudah kukatakan “Saus Tartar!”
Kletek! Semangkuk bakso mendarat di mejaku. Orang yang mengantarkannya lalu duduk di kursi di depanku, di meja yang sama.
“Punyamu,” ujarnya. Sebenarnya aku ingin mengucapkan terima kasih, tetapi suaraku menyangkut di tenggorokan saat mengetahui wajahnya. Aku hanya mengambil semangkuk bakso itu dan langsung menyantapnya.
Ya ampun, kenapa sekarang? Kenapa si Adrian ada di sini? Aku belum menyusun kata-kata yang pas untuk ngobrol. Aku masih terus melahap dan melahap lagi bakso itu. Rasanya makin asin. Pasti kuahnya sudah terkontaminasi oleh keringat dinginku yang bercucuran karena gugup. Aku tidak boleh terlihat bodoh. Aku harus menemukan topik pembicaraan.
“Emm .…”
“Ini baksonya, Dek Adrian!” Mas Guntur mengantarkan pesanan Adrian. Uh, mengganggu saja dia. Padahal baru satu emm yang aku katakan.
“Makasih, Mas!” jawab Adrian. “Oh, ya! Tadi kau mau bilang apa?”
“Bapakmu arsitek ya?” Alamak! Kenapa kata-kata itu yang keluar dari mulutku?
“Lebih tepatnya pemborong,” jawabnya tenang.
“Pemborong?”
“Kerjanya membangun bendungan, jembatan, dan jalan layang,” ujarnya sambil memasukkan bakso bulat ke mulutnya.
“Kau bisa?”
“Belum. Ilmuku baru sampai membangun rumah.”
“Kalau membangun rumah tangga bisa tidak?” Keceplosan! Mulutku lagi-lagi tidak terkontrol. Aku ini wanita, kenapa malah aku yang gombal? Aku sempat melihat Adrian tersedak dan pergi membeli air mineral. Langsung saja kujejalkan semua bakso di mangkuk sampai mulutku penuh, lalu berlari kembali ke kelas, setelah membayar tentunya.

***

… 𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘮𝘢𝘭𝘶. 𝘛𝘢𝘬 𝘦𝘯𝘢𝘬 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘳𝘢𝘩𝘢𝘴𝘪𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶. 𝘗𝘢𝘥𝘢𝘩𝘢𝘭 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘦𝘣𝘳𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯. 𝘚𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵𝘮𝘶 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪. 𝘔𝘦𝘯𝘪𝘬𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘸𝘢𝘫𝘢𝘩 𝘭𝘶𝘤𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘶 𝘱𝘢𝘮𝘦𝘳𝘬𝘢𝘯. 𝘔𝘦𝘮𝘣𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘦𝘬𝘢𝘵. 𝘚𝘦𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘥𝘦𝘬𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘫𝘢𝘳𝘢𝘬 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘥𝘶𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘢. 𝘗𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯. 𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘤𝘶𝘬𝘶𝘱. 𝘒𝘢𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘣𝘢𝘨𝘪𝘬𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘤𝘶𝘬𝘶𝘱. 𝘈𝘬𝘶 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘪𝘮𝘶. 𝘈𝘯𝘥𝘢𝘪 𝘢𝘺𝘢𝘩𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘳𝘶𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘨𝘦𝘯 𝘱𝘦𝘮𝘢𝘭𝘶-𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶, 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘫𝘢𝘥𝘪𝘯𝘺𝘢. 𝘙𝘦𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵-𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵, 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘵𝘢𝘱𝘯𝘺𝘢, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘵𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢. 𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘪𝘵𝘶, 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘧𝘰𝘬𝘶𝘴 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶 …

***

Keesokan harinya, entah kenapa suasana begitu berbeda dari sebelumnya. Langit mendung, padahal bukan di kota hujan. Hawa dingin membuat meriang seluruh badan. Angin pun berhembus dengan ragu-ragu, kadang kencang, kadang pelan. Yang terpenting dari semuanya, sejak pagi aku belum melihat dadanya yang bidang, Adrian.
Kuputuskan untuk ke kantin dan membeli bakso. Lagi.
“Mas, pesan baksonya setengah, mie-nya setengah, bihunnya setegah, kuahnya setengah!”
“Lho, kok pesennya setengah-setengah Neng?”
“Lagi diet.”
“Oh, pantesan. Ya sudah, nanti saya bikinin.”
“Oke. Pesennya porsi dobel ya Mas!”
Saat itu Mas Guntur menyadari kalau aku sedang bergurau. Tapi tidak ada tawa di mulutnya.
“Garing!” cuma itu tanggapannya. “Oh iya! Tadi ada yang nitip ini sama saya. Katanya buat Neng Wiki.”
Mas Guntur memberikan selembar amplop. Apa ini? Uangkah isinya? Aku membukanya dan melihat bahwa ternyata isinya selembar kertas berisi tulisan yang sangat banyak. Duh, aku sedang malas membaca. Mana baksoku sudah tiba. Tapi sepertinya pesan ini cukup penting. Yah, mau bagaimana lagi. Dengan terpaksa aku pun mulai membacanya:

“𝘉𝘪𝘭𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘦𝘮𝘢𝘺𝘢𝘮, 𝘵𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘴𝘪𝘳𝘯𝘺𝘢 …”

***

… 𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘬𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘥𝘦𝘵𝘪𝘬-𝘥𝘦𝘵𝘪𝘬 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶. 𝘋𝘪 𝘳𝘶𝘢𝘯𝘨 𝘛𝘢𝘵𝘢 𝘜𝘴𝘢𝘩𝘢, 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘰𝘣𝘳𝘰𝘭. 𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘢𝘬𝘵𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘶 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘦𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘴-𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘴𝘮𝘶. 𝘕𝘦𝘯𝘨 𝘋𝘦𝘸𝘪 𝘒𝘪𝘳𝘢𝘯𝘢. 𝘕𝘢𝘮𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘶𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘯𝘢. 𝘔𝘢𝘬𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘬𝘦𝘫𝘶𝘵 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘵𝘪𝘣𝘢-𝘵𝘪𝘣𝘢 𝘬𝘢𝘶 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘵𝘳𝘢𝘬𝘵𝘪𝘳, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘶𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘯𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘞𝘪𝘬𝘪. 𝘓𝘢𝘭𝘶, 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘶 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘬𝘴𝘰. 𝘉𝘦𝘳𝘶𝘯𝘵𝘶𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘫𝘢𝘮𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘰𝘴𝘰𝘯𝘨, 𝘢𝘬𝘶 𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘥𝘶𝘥𝘶𝘬 𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘯𝘢. 𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘴𝘶𝘭𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘪𝘳𝘶𝘱 𝘯𝘢𝘱𝘢𝘴 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶. 𝘙𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘨𝘢? 𝘏𝘢𝘩𝘢… 𝘛𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘬𝘢𝘶 𝘱𝘪𝘯𝘵𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘰𝘮𝘣𝘢𝘭 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘺𝘢. 𝘈𝘴𝘢𝘭 𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘵𝘪𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘵 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘬𝘴𝘰 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶, 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘬𝘶𝘭𝘶𝘱𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢. 𝘏𝘦𝘮𝘮𝘩… 𝘚𝘶𝘳𝘢𝘵 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘮𝘱𝘢𝘶 𝘱𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨.

𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘢𝘬𝘶𝘵 𝘬𝘢𝘶 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘰𝘴𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢𝘯𝘺𝘢. 𝘔𝘢𝘢𝘧 𝘺𝘢, 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘦𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘨𝘦𝘯𝘵𝘭𝘦 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘶𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘦𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨. 𝘈𝘬𝘶 𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘱𝘪𝘴𝘢𝘩𝘢𝘯. 𝘠𝘢, 𝘢𝘺𝘢𝘩𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘰𝘳𝘰𝘯𝘨, 𝘬𝘦𝘳𝘫𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘵𝘢𝘱. 𝘈𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘳𝘰𝘺𝘦𝘬 𝘣𝘢𝘳𝘶. 𝘚𝘢𝘵𝘶 𝘩𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘱𝘦 𝘭𝘦𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘮𝘢𝘪𝘯-𝘮𝘢𝘪𝘯 𝘴𝘰𝘢𝘭 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯. 𝘜𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘪, 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘳𝘪𝘶𝘴. 𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘦𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢. 𝘗𝘦𝘳𝘭𝘶 𝘳𝘢𝘵𝘶𝘴𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘳𝘪𝘣𝘶𝘢𝘯 𝘢𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘸𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢. 𝘋𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘶 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘮𝘪𝘭𝘺𝘢𝘳 𝘢𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘶𝘣𝘶𝘵𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯.

𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪. 𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪. 𝘉𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘢𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘶𝘯𝘫𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘦 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩𝘮𝘶. 𝘉𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘮𝘶𝘪𝘮𝘶, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘮𝘶𝘪 𝘪𝘣𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘱𝘢𝘬𝘮𝘶. 𝘚𝘢𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘵𝘶, 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪 𝘺𝘢! 𝘏𝘦𝘩𝘦 …
𝘈𝘥𝘳𝘪𝘢𝘯

____
repost from PANCHAKE

Yang Terpilih


Bumi di tahun 5015 memasuki periode kehancuran. Krisis kemanusiaan terjadi di mana-mana. Kehancuran peradaban manusia berada pada puncaknya. Spesies baru bernama Sang Penghancur hadir menjadi predator paling mematikan bagi kelangsungan hidup manusia. Spesies manusia lama terancam punah, hanya sebagian dari mereka yang bisa terselamatkan. Kanselir Madam X bereksperimen dengan klan manusia lama untuk menjaga spesies ini tetap lestari. Mereka dikumpulkan dalam sebuah proyek rahasia tanpa sepengetahuan pemerintah pusat. Mereka yang jadi kelinci percobaan itu diberi nama Yang Terpilih.
Dunia boleh serba digital. Ketika sebagian manusia beranggapan bahwa kemajuan teknologi adalah sebuah periode kejayaan manusia, kenyataannya adalah sebaliknya: periode kehidupan manusia berada pada puncak kehancuran. Semesta akan menyelesaikan abdinya. Manusia tak lebih dari virus komputer yang patut dihancurkan oleh sistem. Manusia tak lebih dari robot yang dikendalikan oleh sistem teknologi. Fase kehancuran baru saja dimulai.

Aku mencoba melawannya dengan begitu putus asa, berjuang mengendalikan semua sensor penghubung otakku. Syaraf motorik sebagian besar tubuhku nyaris tidak bisa kufungsikan. Sesuatu yang asing telah mengendalikan diriku. Sesuatu yang sama sekali tak mampu kukendalikan oleh otakku sendiri.
"Sistem sepertinya sudah mulai bekerja." Sebuah suara merobek lubang pendengaranku seketika. Menggaung di udara lantas beresonansi dengan logam di sekitarnya.
Sebuah ruang serba putih menelan keberadaanku. Aku pikir, ruangan ini tak salah bila disebut laboratorium. Beberapa tabung reaksi, meja bedah, dan peralatan mirip robot berjejer acak di hampir seluruh bagian ruang.

Belalai panjang mengambang di udara dengan pangkal tertanam di atas langit-langit, sementara ujungnya--hampir tak bisa kupercaya--menyumpal mulutku.

Kecuali orang-orang berkostum astronot, lengkap dengan masker dan alat bantu napas menyerupai alat snorkling, hal lain membuatku terkejut: tubuhku terlentang polos dengan banyak kabel warna-warni tertancap di seluruh bagian tubuhku.

"Rupanya kamu sudah sadar." Salah satu dari mereka mendekat, menatapku lekat.

Aku mencoba menggerakkan kaki dan tangan. Percuma saja, semua terasa kaku.

"Selamat bergabung, Nak. Selamat menjadi Yang Terpilih," lanjutnya. "Kodemu, Alpha 8152 X Omega."

Sama sekali aku tak paham akan apa yang dikatakan orang itu. Pertanyaan demi pertanyaan terakumulasi menjadi dengungan hebat dalam kepalaku. Otakku mencoba mendeteksi apa yang sebenarnya terjadi, kepalaku pusing setelahnya

"Fase Gone segera tiba. Semoga kamu bisa menikmatinya."

Gone? Apa artinya. Aku tidak sempat berpikir lagi, ketika otot-ototku menegang. Desir hebat aliran darahku seolah mengeras. Aku tak merasakan keberadaanku kecuali rasa tercekik di tulang leher. Mataku mengabur dengan menghadirkan kunang-kunang raksasa sebelumnya. Cahaya menyilaukan mengantarku ke lembah paling gelap kesadaranku.

"Inikah yang dimaksud fase Gone?" gumamku dalam hati sebelum semuanya benar-benar gelap. Kian memekat.

*****

Aku merasakan sesuatu yang asing dengan tubuhku. Sesuatu yang keras mencangkangi seluruh daging tubuhku. Aku berpikir bahwa yang dimaksud dengan Yang Terpilih itu adalah spesies baru manusia robot?
Belum selesai dengan pikiranku, seseorang dengan kostum astronot mendorongku dari arah belakang. Hampir aku terjerembab dari landaian tangga pesawat.

"Lakukan!" teriaknya.

"Lakukan apa?" stimulasi otakku lambat bereaksi.

Orang itu terus mendorongku. "Lakukan bodoh! Yang Terpilih bukanlah spesies pengecut."

Aku tak mengerti. Sama sekali tidak mengerti. Kecuali sebilah launcher--senjata dengan cairan kimia di dalamnya, aku tidak paham apa yang harus dilakukan dengan senjata tersebut.

"Bunuh mereka!" Sekali ini dorongan orang itu membuatku benar-benar terjerambab dari atas pesawat. Pemandangan asing terbentang di hadapanku. Orang-orang berbaju astronot sedang berperang dengan orang-orang berbaju hitam pekat mirip Orko.

Desingan senjata launcher terdengar disertai cahaya warna hijau terang menyilaukan mata. Aku belum sepenuhnya menguasai diri.

Ini kali pertama terjebak di dalam pertempuran di negeri antah berantah.

"Aktifkan sistem launcher-nya, bodoh!" Suara itu menyeruak, padahal sosoknya jauh berada di atas pesawat sana.

"Segera! Atau kamu mati tertembak senjata Sang Penghancur."

Aku meraba bagian atas senjata yang mirip senapan laras panjang transparan itu. Sebuah knop tanpa sengaja tersentuh. Sesuatu yang cair meluncur deras. Warna hijau menghambur, aku terjengkang tidak siap dengan keadaan itu.

Efek luncuran senjata itu sungguh luar biasa. Sesosok tubuh berjubah hitam terjengkang dengan sengatan jala listrik melingkup tubuhnya. Ia kejang-kejang lantas hancur menjadi asap pekat.

"Bagus! Simulasi pertamamu berhasil," suara itu hadir serta-merta, mengembalikan tubuhku dari arena pertempuran ke laboratorium serba putih tadi.

Aku mengerjap. Warna-warni kabel tadi tiba-tiba satu persatu tercerabut dengan sendirinya. Aku mencoba bangkit. Kali ini, orang-orang berkostum astronot tadi telah berubah tampilan manusia seutuhnya, seperti diriku.

"Pakailah!" Ia melempar pakaian ke arahku. Aku baru sadar akan kepolosan tubuhku. Aku menangkap dan mengenakan pakaian itu segera.

"Senang dengan keadaan dirimu sekarang?"

Aku menatapnya lekat. Senang? Tentu saja aku harus mengatakannya tidak. Aku lebih suka menjadi spesies manusia lama ketimbang Yang Terpilih, sebab, kendali otakku ada di tangan mereka.

"Inilah bagian dari evolusi manusia," ujarnya. Ia berdiri. Sosok itu--lelaki botak setengah baya mirip tampilan seorang profesor--berdiri di sampingku.

"Evolusi menuju kehancuran," sanggahku. "Kalau harus jujur, aku lebih setuju dengan evolusi Darwin ketimbang evolusi buatanmu." Ada ledakan emosi yang meluncur deras dari dalam tubuhku.

"Dan, aku lebih senang dijadikan manusia monyet, ketimbang harus menjadi manusia robot buatanmu," lanjutku.

"Sayangnya, spesies manusia monyet ciptaan Darwin sudah lama mati menjadi fosil," tegasnya.

Menjadi diriku yang sekarang ini, membuatku linglung. Persetan dengan Yang Terpilih! Persetan dengan Kanselir Madam X! Persetan dengan semuanya.

Selepas dengan eksperimen tadi, aku mencoba melepaskan diri dengan keterikatan sistem dengan Yang Terpilih. Aku harus kembali menjadi spesies manusia lama, walau setelahnya mungkin aku akan punah seperti yang lainnya.

Namun, bagaimana caranya?

Cibatu-Garut, 29 Desember 2015


-----
repost from PANCHAKE