Penulis: Negibberae Queen & Nova Aditya Nugraha
Abby, gadis manis dengan lesung pipi yang nampak jelas, kala ia
tersenyum itu, nampak tengah memperhatikan rumah tetangganya yang
bergaya minimalis, sembari sesekali mengelus bulu halus boneka Beruang
sedang, bermata satu yang berada di pangkuannya.
Matanya yang
teduh, dengan manik biru cantik dilengkapi dengan bulu mata lebat dan
lentik itu, tak pernah lepas dari objek yang begitu menarik
perhatiannya, di serambi rumah tetangganya tersebut.
"Aku suka dia," kata Abby, menatap seorang pria yang telah menjadi objek pengamatannya beberapa minggu belakangan ini.
Abby masih terus mengamati pria berpostur tubuh kekar tersebut, dengan
senyuman manis yang tak pernah terlepas dari bibir tipisnya.
Sejenak Abby mengalihkan perhatiannya dari pria tersebut, lalu
mengangkat boneka kesayangannya, hingga berhadapan langsung dengan wajah
cantiknya. "Aku ingin pria itu menjadi milikku."
Abby terus berbicara dengan boneka kesayangannya, seolah-olah boneka itu bisa mengimbangi, dan membalas setiap ucapannya. Dielusnya bulu halus boneka yang berada digenggamannya, sembari menatap lekat wajah boneka itu dengan tatapan sendu.
***
Minggu sore dengan awan hitam yang menggantung rendah di langit, tak
menyurutkan tekat Abby, untuk melangkahkan kakinya menuju rumah
tetangganya, yang berada tepat di depan rumahnya tersebut.
Tersenyum lebar, Abby menekan bel yang berada di sebelah kanan tembok dekat pintu rumah tersebut. Tak seberapa lama, akhirnya pintu yang sedaritadi menutup kini terbuka,
dan menampikan seorang pria dengan tubuh tegap berisi, dengan otot-otot
yang tercetak jelas dari balik kaos putih polos yang dikenakannya.
Tanpa sadar Abby menahan nafas, saat melihat pemandangan indah yang ada
di hadapannya kini. Mata Abby tak sedikit pun lepas dari mata abu-abu
terang, milik pria pujaannya tersebut. Alis pria pemilik manik abu-abu itu sedikit terangkat, melihat Abby yang terus memandangnya dengan tatapan memuja.
Pria itu mengenali Abby sebagai tetanggannya, karena beberapa kali ia
mendapati Abby memperhatikannya, di balkon kamar atau serambi rumah
gadis tersebut.
"Kau... ada perlu apa?" tanya sang pria dengan suara rendah--namun jelas.
Abby terkesiap, "Ah, maaf. Namaku Abby, bolehkah aku sejenak bertamu?"
Abby tersenyum lebar, diikuti uluran tangannya yang seputih kapas.
"Tentu saja, tak ada larangan untuk gadis secantik dirimu masuk rumahku.
Dan... namaku Sammy," balas pria berwajah menarik di hadapan Abby
sembari mengisyaratkan untuk masuk.
Kaki jenjang Abby melangkah
masuk rumah bernuansa putih. Ruang tamunya tampak sederhana namun sedap
dipandang mata. Ada tiga sofa--satu panjang dan dua lainnya
pendek--serta sebuah meja kaca cukup panjang di sana, sebuah vas bunga
bertengger anggun di atasnya. Dinding-dindingnya yang putih
memamerkan beberapa lukisan dan foto pribadi milik Sammy. Aroma lavender
menyergap ketika sepasang kaki Abby melangkah di atas keramik berwarna
senada.
"Duduklah," ujar Sammy lembut. Pria berkumis tipis itu
kembali mengukir senyum setelah melihat Abby tampak begitu nyaman berada
di rumahnya.
"Oh, ya. Baiklah... terimakasih," jawab Abby sembari melangkahkan kakinya menuju sofa berwarna krem lima langkah di depannya.
Sepasang iris kebiruan milik Abby tak henti menyapu ruangan yang cukup
luas itu--mungkin sekitar lima kali empat meter. Tepat di belakang ruang
tamu terdapat dapur yang hanya tersekat sebuah tirai. Ada pula sebuah
tangga menuju lantai dua, kamar pribadi Sam. Ada dua ruangan tertutup di
area ruang tamu. Bisa jadi itu adalah kamar tamu.
"Kau terlihat
merasa nyaman di rumahku, benarkah begitu?" tanya Sammy sambil
menyuguhkan segelas pome juice pada gadis beriris kebiruan yang tampak
sedikit terkejut karena kedatangannya.
"Ah, begitulah," balas Abby
malu-malu. "Rumahku tak senyaman ini, dan kau adalah seorang pria.
Sangat mengagumkan," tambah Abby diiringi sebuah kerlingan mata.
"Itu terlalu berlebihan," sergah Sam sembari meletakkan tubuhnya di atas sofa. "Aku hanya merawatnya saja."
Kemudian keduanya tertawa bersamaan. Sammy memang termasuk orang baru
di lingkungan Abby. Namun karena sikapnya yang ramah, ia dapat dengan
mudah mengambil hati tetangga sekitarnya--termasuk Abby.
"Oh,
ya...," Sammy membuka suara setelah beberapa detik mereka diam dan
menikmati pome juice, "apa yang membuatmu bertamu ke sini? Adakah kau
perlu bantuan?"
Abby menepuk jidatnya pelan, lalu mengangguk
perlahan. "Hampir saja aku lupa. Aku sendirian di rumah. Sebelum ke
sini, aku mendengar suara seperti hubungan pendek arus listrik, dan
kemudian... listrik di rumahku padam. Bisakah kau membantuku
mengatasinya?"
"Hubungan pendek, ya?" balas Sammy sambil memainkan telunjuk di dagunya. "Kurasa kita bisa melihatnya terlebih dulu."
"Begitukah? Syukurlah kalau kau bersedia membantu," Abby melempar senyum formal.
"Bukankah sesama tetangga harus saling membantu? Sammy mengerlingkan
matanya, kemudian memberi isyarat pada Abby untuk segera beranjak pergi
bersama.
***
Abby dan Sammy kini telah berada di depan pintu
rumah Abby. Secara perlahan, Abby membuka pintu rumahnya dan
mempersilahkan lelaki tampan--tetangga di seberang rumahnya tersebut
untuk masuk ke dalam.
Benar saja, sesampainya di dalam rumah
tersebut, kesan temaram karena tak adanya pencayahan dari lampu langsung
menyergap mereka.
"Oke, Abby. Bisakah kau menunjukkan di mana
pengatur listrik di rumah ini berada?" tanya Sammy sesaat setelah kedua
kaki panjangnya memasuki rumah itu
"Tentu, ikut aku!"
Tanpa perlu repot menjawab, Sammy langsung mengikuti Abby yang berjalan menembus ruangan yang nampak gelap tersebut.
Sesampainya mereka di tempat tujuan, yang mana berada di bagian belakang rumah Abby.
"Ummm... Sammy, apa bisa kau menungguku di sini sebentar? Aku akan
mengambil lilin, agar memudahkanmu mengetahui apa yang terjadi dengan
listrik rumahku," kata Abby.
"Oh, tentu saja," timpal Sammy lalu
tersenyum simpul, namun masih dapat dilihat oleh Abby, di tengah temaram
yang mulai berubah menjadi lebih gelap itu.
Selepas kepergian
Abby, Sammy berniat mengecek meteran listrik yang berada di tembok
samping pintu belakang yang tadi dilewatinya bersama Abby. Namun belum
sempat pria pemilik iris abu-abu itu melangkah, sesuatu yang keras
memukul telak kepala bagian belakangnya, dan langsung membuat pria itu
ambruk dalam hitungan detik.
***
Sebuah seringai keji, tercetak jelas di bibir raum kemerahan, yang sangat kontras dengan wajah cantik dan manis milik Abby.
Di tangannya, tergenggam erat sebuah balok kayu berukuran besar yang telah ia siapkan sedari awal.
Sementara di hadapannya, tubuh Sammy tergeletak tak berdaya, dengan
genangan cairan pekat ber-aromakan karat dan logam di sekeliling
kepalanya yang nampak retak, karena pukulan bertubi yang dilayangkan
Abby.
Tak ada lagi tatapan hangat nan memukau dari pemilik iris
abu-abu itu. Yang tinggal hanyalah kekosongan, dan kehampaan tiada tara,
yang menandakan tak ada lagi jiwa yang bersemayam dalam tubuh kaku
tersebut.
"Lelaki bodoh, yang begitu mudah masuk dalam perangkapku," cibir Abby sinis.
Menghidupkan kembali listrik yang secara sengaja dimatikannya, Abby
lalu membuang asal balok yang daritadi digenggamnya ke sembarang arah.
Setelah itu, gadis cantik yang dikeliling aura kelam itu mulai menyeret
jasad Sammy, menuju ke sebuah ruangan besar namun pengap, yang lebih
cocok disebut tempat pejagalan.
Bagaimana tidak? Ruangan tersebut
penuh dengan berbagai macam dan jenis alat potong, yang mampu membuat
siapa saja bergidik ngeri bila melihatnya.
"Well, sebaiknya aku segera mengambil apa yang kuincar," gumam Abby datar.
Abby lalu memilah beberapa benda, dari bersusun-susun benda tajam di ruangan tersebut.
Setelah mendapat apa yang dirasanya cocok, gadis itu langsung mendekati
mayat Sammy yang tergeletak di lantai, dan mulai melancarkan aksinya.
Dimulai dengan sayatan-sayatan kecil di wajah pucat Sammy, Abby lalu
menguliti secara perlahan kulit rupawan Sammy menggunakan pisau
berukuran sedang yang berkilat tajam, dengan mudah, bagai seorang
penjagal yang telah ahli dalam bidangnya.
Siapa yang sangka,
gadis cantik yang nampak lembut dari luar itu, memiliki keahlian untuk
menjadi penjagal yang tak pernah terfikirkan oleh siapa saja.Beralih ke topik yang seharusnya. Puas menguliti kulit wajah Sammy,
hingga menyisahkan daging segar kemerahan, Abby lalu mengalihkan
fokusnya pada sesuatu yang telah menjadi incaran awalnya.
Berbekal pisau berujung lancip dan tajam, yang sedikit lebih kecil dari
pisau yang ia gunakan sebelumnya, Abby mulai menusuk dan mengoyak daging
di seputaran mata Sammy.
Perpaduan karat dan loga, khas bau
darah yang menyengat, seolah menjadi aroma pembangkit energi tersendiri
bagi Abby. Ia sangat suka cita rasa dan bau darah, yang merembes keluar
dari setiap jengkal tubuh korban-korbannya.
"Aha! Dapat," seru Abby datar.
Di tangannya, Abby membawa dengan hati-hati sebuah benda, berupa bola
kecil berwarna putih mendominasi berceceran darah, dengan iris Abu-abu
yang sedikit menggelap menuju ke sebuah sudut ruangan, yang mana
terdapat sebuah kursi empuk, berisi sebuah boneka beruang coklat, yang
hanya memiliki satu mata, di sebelah kiri.
"Lihat! Aku membawakan
mata baru untukmu, Bear. Jadi kau bisa melihat dengan normal lagi,
setelah aku memasangkan mata indah milik pria tampan bodoh, yang
kebetulan menjadi tetangga kita ini, menggantikan matamu yang rusak itu.
Hahaha!" Abby tertawa gila.
Gadis cantik yang berlumuran darah itu, memulai usahanya memasangkan bola mata milik Sammy, pada boneka kesayangannya tersebut.
"Selesai. Sekarang, tinggal mengganti sebelah telingamu yang robek itu
dengan yang baru," kata Abby, mengamati boneka beruang yang ia namakan
Bear tersebut.
"Oh, dan ingatkan aku untuk mengintai rumah
tetangga kita yang lain, untuk mencari sebelah telinga yang cocok, untuk
mu, Bear," kata Abby lagi, lalu menarik ujung bibirnya ke atas,
menampilkan seingai keji dan bengisnya lagi.
"Tentu, Abby sayang.
Carikan aku anggota tubuh mereka, untuk mengganti tubuhku yang
sekarang, dengan fisik tubuh yang baru," timpal Bear--boneka beruang
milik Abby tersebut, lalu membalas seringai Abby dengan seringainya yang
tak kalah keji.
-END-