Minggu, 22 Maret 2015

Korban Film

By : Uppy Yanna

"AAARRRGGGTTTT!"

Jerit wanita paruh baya memecahkan keheningan malam.

"Lepaskan!" ucap wanita paruh baya itu seraya memberontak saat seorang remaja menggigit lehernya. Kemudian mendorongnya hingga tersungkur di lantai. Remaja itu bangkit dan menyerang lagi. Tanpa pikir panjang wanita paruh baya itu memukul kepala remaja itu dengan guci. Darah keluar bak air mancur sampai akhirnya tubuh remaja itu lunglai, terkapar di lantai. Ajal menjemput.
Mirna--wanita paruh baya--menangis sejadinya. Ia menyesal telah membunuh remaja itu--Erwin--yang tak lain anaknya sendiri. Tubuh Mirna gemetar, wajahnya pucat pasi.

"Maafin ibu, Nak. Hiks..." tangis Mirna membuat Parjo--suaminya--datang.

"Astagfirullah, Mah. Apa mamah sudah gila? Membunuh anak sendiri?" cerca Parjo.

"Mamah gak sengaja, Pah,"

"Kita lapor polisi,"

"Mamah takut dipenjara,"

"Kalau gak bersalah. Jangan takut! Percayalah?"

*

Tak lama para Polisi pun datang, kemudian mengikat tali rafiah di saka-saka ruangan itu sebagai tanda sedang melakukan evakuasi.

"Wah... sungguh tragis kematian anak ini," ucap komandan polisi.

"Pak Kom, saya gak sengaja ngebunuh anak saya, Pak."

"Bisa diperjelas tragedi kejadiannya,"

"Jadi gini, Pak. Sayakan lagi duduk, anak dan suami saya di kamar lagi nonton tv. Gak tahu gimana, badai dari mana tiba-tiba anak saya keluar dari kamar terus gigit leher saya. Ya... saya dorong anak saya ke lantai, anak saya bangun lagi, mau gigit saya lagi. Jadinya saya pukul anak saya pake guci, Pak." terang Mirna.

"Pak Parjo, memangnya apa yang Anda dan anak anda tonton saat itu,"

"Nonton Twilight Saga, Pak," jelas Parjo.

--Kelar--

(Catatan Hati Seorang Bayi) Jangan Tinggalkan Aku

Oleh : Dian Hariani

Di tempat yang sepi, sunyi menyelimuti
Cahaya mentari seakan tak lelah berbagi

Aku sendiri, tanpa siapa-siapa
Harapan hidup pun sirna

Tangisku tak membuatmu rindu
Senyumku menjadi bebanmu
Tangisku tak menyejukkanmu
Mama, mengapa begitu?

Mama, jika bisa aku meminta
Rawatlah aku seperti mereka
Dekaplah aku dalam bahagia
Lindungi aku dari kejamnya dunia

Mama, mengapa engkau tega
Meninggalkanku sendiri tanpa kata
Aku kedinginan di luar sana
Tanpa selimut dan cinta

Mama, jika tak menginginkanku
Mengapa kau mau dirayu
Melewatkan indahnya waktu
Bersama kekasihmu (ayahku)

Syukur kuucap pada Yang Kuasa
Tangisku membuat mereka iba
Berganti dengan bahagia
Deritaku seakan mereda

Tangan-tangan itu menimangku bergantian
Memuji kecantikanku tanpa cela
Setitik harapan kudapatkan
Menyongsong indahnya kehidupan

Meski kehadiranku tak kau harapkan
Namun do’aku selalu untukmu, Mama


NB : Penulis menulis sambil meneteskan air mata, miris.

Handsome Neighbor

Penulis: Negibberae Queen & Nova Aditya Nugraha


Abby, gadis manis dengan lesung pipi yang nampak jelas, kala ia tersenyum itu, nampak tengah memperhatikan rumah tetangganya yang bergaya minimalis, sembari sesekali mengelus bulu halus boneka Beruang sedang, bermata satu yang berada di pangkuannya.

Matanya yang teduh, dengan manik biru cantik dilengkapi dengan bulu mata lebat dan lentik itu, tak pernah lepas dari objek yang begitu menarik perhatiannya, di serambi rumah tetangganya tersebut.

"Aku suka dia," kata Abby, menatap seorang pria yang telah menjadi objek pengamatannya beberapa minggu belakangan ini.

Abby masih terus mengamati pria berpostur tubuh kekar tersebut, dengan senyuman manis yang tak pernah terlepas dari bibir tipisnya.

Sejenak Abby mengalihkan perhatiannya dari pria tersebut, lalu mengangkat boneka kesayangannya, hingga berhadapan langsung dengan wajah cantiknya. "Aku ingin pria itu menjadi milikku."

Abby terus berbicara dengan boneka kesayangannya, seolah-olah boneka itu bisa mengimbangi, dan membalas setiap ucapannya. Dielusnya bulu halus boneka yang berada digenggamannya, sembari menatap lekat wajah boneka itu dengan tatapan sendu.

***

Minggu sore dengan awan hitam yang menggantung rendah di langit, tak menyurutkan tekat Abby, untuk melangkahkan kakinya menuju rumah tetangganya, yang berada tepat di depan rumahnya tersebut.

Tersenyum lebar, Abby menekan bel yang berada di sebelah kanan tembok dekat pintu rumah tersebut. Tak seberapa lama, akhirnya pintu yang sedaritadi menutup kini terbuka, dan menampikan seorang pria dengan tubuh tegap berisi, dengan otot-otot yang tercetak jelas dari balik kaos putih polos yang dikenakannya.

Tanpa sadar Abby menahan nafas, saat melihat pemandangan indah yang ada di hadapannya kini. Mata Abby tak sedikit pun lepas dari mata abu-abu terang, milik pria pujaannya tersebut. Alis pria pemilik manik abu-abu itu sedikit terangkat, melihat Abby yang terus memandangnya dengan tatapan memuja.

Pria itu mengenali Abby sebagai tetanggannya, karena beberapa kali ia mendapati Abby memperhatikannya, di balkon kamar atau serambi rumah gadis tersebut.

"Kau... ada perlu apa?" tanya sang pria dengan suara rendah--namun jelas.

Abby terkesiap, "Ah, maaf. Namaku Abby, bolehkah aku sejenak bertamu?" Abby tersenyum lebar, diikuti uluran tangannya yang seputih kapas.

"Tentu saja, tak ada larangan untuk gadis secantik dirimu masuk rumahku. Dan... namaku Sammy," balas pria berwajah menarik di hadapan Abby sembari mengisyaratkan untuk masuk.

Kaki jenjang Abby melangkah masuk rumah bernuansa putih. Ruang tamunya tampak sederhana namun sedap dipandang mata. Ada tiga sofa--satu panjang dan dua lainnya pendek--serta sebuah meja kaca cukup panjang di sana, sebuah vas bunga bertengger anggun di atasnya. Dinding-dindingnya yang putih memamerkan beberapa lukisan dan foto pribadi milik Sammy. Aroma lavender menyergap ketika sepasang kaki Abby melangkah di atas keramik berwarna senada.

"Duduklah," ujar Sammy lembut. Pria berkumis tipis itu kembali mengukir senyum setelah melihat Abby tampak begitu nyaman berada di rumahnya.

"Oh, ya. Baiklah... terimakasih," jawab Abby sembari melangkahkan kakinya menuju sofa berwarna krem lima langkah di depannya.

Sepasang iris kebiruan milik Abby tak henti menyapu ruangan yang cukup luas itu--mungkin sekitar lima kali empat meter. Tepat di belakang ruang tamu terdapat dapur yang hanya tersekat sebuah tirai. Ada pula sebuah tangga menuju lantai dua, kamar pribadi Sam. Ada dua ruangan tertutup di area ruang tamu. Bisa jadi itu adalah kamar tamu.

"Kau terlihat merasa nyaman di rumahku, benarkah begitu?" tanya Sammy sambil menyuguhkan segelas pome juice pada gadis beriris kebiruan yang tampak sedikit terkejut karena kedatangannya.

"Ah, begitulah," balas Abby malu-malu. "Rumahku tak senyaman ini, dan kau adalah seorang pria. Sangat mengagumkan," tambah Abby diiringi sebuah kerlingan mata.
"Itu terlalu berlebihan," sergah Sam sembari meletakkan tubuhnya di atas sofa. "Aku hanya merawatnya saja."

Kemudian keduanya tertawa bersamaan. Sammy memang termasuk orang baru di lingkungan Abby. Namun karena sikapnya yang ramah, ia dapat dengan mudah mengambil hati tetangga sekitarnya--termasuk Abby.

"Oh, ya...," Sammy membuka suara setelah beberapa detik mereka diam dan menikmati pome juice, "apa yang membuatmu bertamu ke sini? Adakah kau perlu bantuan?"

Abby menepuk jidatnya pelan, lalu mengangguk perlahan. "Hampir saja aku lupa. Aku sendirian di rumah. Sebelum ke sini, aku mendengar suara seperti hubungan pendek arus listrik, dan kemudian... listrik di rumahku padam. Bisakah kau membantuku mengatasinya?"

"Hubungan pendek, ya?" balas Sammy sambil memainkan telunjuk di dagunya. "Kurasa kita bisa melihatnya terlebih dulu."

"Begitukah? Syukurlah kalau kau bersedia membantu," Abby melempar senyum formal.

"Bukankah sesama tetangga harus saling membantu? Sammy mengerlingkan matanya, kemudian memberi isyarat pada Abby untuk segera beranjak pergi bersama.

***

Abby dan Sammy kini telah berada di depan pintu rumah Abby. Secara perlahan, Abby membuka pintu rumahnya dan mempersilahkan lelaki tampan--tetangga di seberang rumahnya tersebut untuk masuk ke dalam.

Benar saja, sesampainya di dalam rumah tersebut, kesan temaram karena tak adanya pencayahan dari lampu langsung menyergap mereka.

"Oke, Abby. Bisakah kau menunjukkan di mana pengatur listrik di rumah ini berada?" tanya Sammy sesaat setelah kedua kaki panjangnya memasuki rumah itu

"Tentu, ikut aku!"

Tanpa perlu repot menjawab, Sammy langsung mengikuti Abby yang berjalan menembus ruangan yang nampak gelap tersebut.

Sesampainya mereka di tempat tujuan, yang mana berada di bagian belakang rumah Abby.

"Ummm... Sammy, apa bisa kau menungguku di sini sebentar? Aku akan mengambil lilin, agar memudahkanmu mengetahui apa yang terjadi dengan listrik rumahku," kata Abby.

"Oh, tentu saja," timpal Sammy lalu tersenyum simpul, namun masih dapat dilihat oleh Abby, di tengah temaram yang mulai berubah menjadi lebih gelap itu.

Selepas kepergian Abby, Sammy berniat mengecek meteran listrik yang berada di tembok samping pintu belakang yang tadi dilewatinya bersama Abby. Namun belum sempat pria pemilik iris abu-abu itu melangkah, sesuatu yang keras memukul telak kepala bagian belakangnya, dan langsung membuat pria itu ambruk dalam hitungan detik.

***

Sebuah seringai keji, tercetak jelas di bibir raum kemerahan, yang sangat kontras dengan wajah cantik dan manis milik Abby.

Di tangannya, tergenggam erat sebuah balok kayu berukuran besar yang telah ia siapkan sedari awal.
Sementara di hadapannya, tubuh Sammy tergeletak tak berdaya, dengan genangan cairan pekat ber-aromakan karat dan logam di sekeliling kepalanya yang nampak retak, karena pukulan bertubi yang dilayangkan Abby.

Tak ada lagi tatapan hangat nan memukau dari pemilik iris abu-abu itu. Yang tinggal hanyalah kekosongan, dan kehampaan tiada tara, yang menandakan tak ada lagi jiwa yang bersemayam dalam tubuh kaku tersebut.

"Lelaki bodoh, yang begitu mudah masuk dalam perangkapku," cibir Abby sinis.

Menghidupkan kembali listrik yang secara sengaja dimatikannya, Abby lalu membuang asal balok yang daritadi digenggamnya ke sembarang arah. Setelah itu, gadis cantik yang dikeliling aura kelam itu mulai menyeret jasad Sammy, menuju ke sebuah ruangan besar namun pengap, yang lebih cocok disebut tempat pejagalan.

Bagaimana tidak? Ruangan tersebut penuh dengan berbagai macam dan jenis alat potong, yang mampu membuat siapa saja bergidik ngeri bila melihatnya.

"Well, sebaiknya aku segera mengambil apa yang kuincar," gumam Abby datar.

Abby lalu memilah beberapa benda, dari bersusun-susun benda tajam di ruangan tersebut.
Setelah mendapat apa yang dirasanya cocok, gadis itu langsung mendekati mayat Sammy yang tergeletak di lantai, dan mulai melancarkan aksinya.

Dimulai dengan sayatan-sayatan kecil di wajah pucat Sammy, Abby lalu menguliti secara perlahan kulit rupawan Sammy menggunakan pisau berukuran sedang yang berkilat tajam, dengan mudah, bagai seorang penjagal yang telah ahli dalam bidangnya.

Siapa yang sangka, gadis cantik yang nampak lembut dari luar itu, memiliki keahlian untuk menjadi penjagal yang tak pernah terfikirkan oleh siapa saja.Beralih ke topik yang seharusnya. Puas menguliti kulit wajah Sammy, hingga menyisahkan daging segar kemerahan, Abby lalu mengalihkan fokusnya pada sesuatu yang telah menjadi incaran awalnya.

Berbekal pisau berujung lancip dan tajam, yang sedikit lebih kecil dari pisau yang ia gunakan sebelumnya, Abby mulai menusuk dan mengoyak daging di seputaran mata Sammy.
Perpaduan karat dan loga, khas bau darah yang menyengat, seolah menjadi aroma pembangkit energi tersendiri bagi Abby. Ia sangat suka cita rasa dan bau darah, yang merembes keluar dari setiap jengkal tubuh korban-korbannya.

"Aha! Dapat," seru Abby datar.

Di tangannya, Abby membawa dengan hati-hati sebuah benda, berupa bola kecil berwarna putih mendominasi berceceran darah, dengan iris Abu-abu yang sedikit menggelap menuju ke sebuah sudut ruangan, yang mana terdapat sebuah kursi empuk, berisi sebuah boneka beruang coklat, yang hanya memiliki satu mata, di sebelah kiri.

"Lihat! Aku membawakan mata baru untukmu, Bear. Jadi kau bisa melihat dengan normal lagi, setelah aku memasangkan mata indah milik pria tampan bodoh, yang kebetulan menjadi tetangga kita ini, menggantikan matamu yang rusak itu. Hahaha!" Abby tertawa gila.

Gadis cantik yang berlumuran darah itu, memulai usahanya memasangkan bola mata milik Sammy, pada boneka kesayangannya tersebut.

"Selesai. Sekarang, tinggal mengganti sebelah telingamu yang robek itu dengan yang baru," kata Abby, mengamati boneka beruang yang ia namakan Bear tersebut.

"Oh, dan ingatkan aku untuk mengintai rumah tetangga kita yang lain, untuk mencari sebelah telinga yang cocok, untuk mu, Bear," kata Abby lagi, lalu menarik ujung bibirnya ke atas, menampilkan seingai keji dan bengisnya lagi.

"Tentu, Abby sayang. Carikan aku anggota tubuh mereka, untuk mengganti tubuhku yang sekarang, dengan fisik tubuh yang baru," timpal Bear--boneka beruang milik Abby tersebut, lalu membalas seringai Abby dengan seringainya yang tak kalah keji.

-END-