Minggu, 28 September 2014

Bleeding Heart

Oleh Alya Annisaa

----

"Puteri Sylvia, coba lihat bunga ini! Cantik sekali, bukan?"

"Wah, cantik dan unik! Berbentuk seperti hati yang utuh dan sama persis seperti hati merah jambu di kartu-kartu cinta."

"Namanya Bleeding Heart Flower. Bunga ini ada dalam berbagai warna, ada yang merah muda pucat, putih atau hampir merah. Sayangnya, Bleeding Heart tidak tumbuh di semua negara. Bunga ini tumbuh di negara beriklim sejuk."

"Wow, kau memang pintar! Berpengetahuan luas dan berbakat. Aku bangga mempunyai teman sepertimu," kata perempuan anggun itu seraya tersenyum tulus.

Rona merah muncul di pipi Ferdinan. Dengan bersusah payah ia menelan senyum bahagia yang memberontak untuk muncul. Setelah beberapa saat, akhirnya ia menemukan suaranya kembali.

"Em, apa pendapatmu mengenai bunga ini?"

"Aih, bunga yang genit! Sepertinya ia ingin mencium sesuatu. Hahaha."

Sylvia memetik bunga yang bernama The Kissing Flower itu, lalu menempelkan kelopak bunga yang berbentuk bibir di kening lelaki yang masih tersipu-sipu di depannya.

"Cup! Hahaha."

Dengan gemas Ferdinan mencubit pipi Sylvia lalu menatap tajam tepat ke manik mata perempuan yang dikaguminya itu. Segera kecanggungan menguasai atmosfer di sekitar mereka.

"Eng ... maaf."

"Aku yang harus minta maaf."

Sylvia perlahan mundur dan menjaga jarak. Sesaat keberanian Ferdinan menguap ketika melihat reaksi puteri bungsu dari Raja Pieter yang sangat disayangi rakyatnya itu. Tapi tak ada waktu lagi! Ini saat yang tepat.

"Sylvia,"--Ferdinan meraih tangan Sylvia--,"aku menyukaimu. Sudah lama aku menyimpan rasa ini, namun aku selalu patah hati mengingat kita berdiri di langit yang berbeda."

Mata indah milik Sylvia terbelalak. Ia sangat terkejut mendengar pernyataan lelaki yang sudah dianggapnya seperti kakaknya sendiri.

"Aku ... aku juga menyukaimu. Tapi bukan yang seperti ini."

"Benarkah? Apakah kau sudah bertanya pada hati kecilmu?"

"Benarkah aku hanya menyukainya sebatas teman? Apakah pikiranku tengah berdusta?" batin Sylvia.

Kemudian anak gadis raja itu memikirkan suka dan duka yang telah ia lewati bersama Ferdinan. Ia ingat betul bagaimana hari-harinya terasa sangat mengesankan ketika ia berpetualang melihat bunga-bunga unik bersama lelaki ahli penakologi dan holtikultura tersebut.

"Semuanya indah," ucap Sylvia tanpa sadar.

Tanpa bisa ditahan, Ferdinan memeluk Sylvia dengan hati gembira. Namun, sepasang mata yang melihat dari kejauhan menatap tak senang. Pemilik mata biru itu lalu pergi dengan terburu-buru.

Di ufuk barat, terlihat matahari akan kembali ke paraduannya. Dengan berlari-lari kecil, gadis berambut cokelat itu memasuki istana yang sangat megah.

"Sylvia! Apa yang kau lakukan di kebun botani tadi siang?"

"Maaf, Ayahanda. Aku dan Ferdinan hanya berjalan-jalan."

"Hanya berjalan-jalan? Kau membuat kerajaan malu!"

"Ayah tak mengerti aku! Ini bukan caraku, ini cara ayah! Dengarlah ayah, semua manusia berhak dicintai dan mencintai. Tak pernah ada dalam kamusku tentang 'hanya boleh mencintai orang yang sederajat kedudukan sosialnya'. Lebih baik aku tak menjadi puteri daripada aku merasa terkekang begini!"

Sebuah tamparan dengan mulusnya mendarat di pipi Sylvia. Matanya terbelalak ketika menyadari tamparan itu berasal dari tangan ayahnya yang sangat dikaguminya itu.

"Enyahlah dari hadapanku sebelum aku mengusirmu!"

Tak tanggung-tanggung, Sang Raja menampar anaknya yang menurutnya bersalah itu dan mengancam akan mengusirnya. Penjaga yang melihat sampai tertegun dan tak bisa melakukan apa-apa. Bagai petir di siang bolong, gosip mengenai hal ini cepat menyebar. Banyak spekulasi muncul. Gosip mengenai Sang Puteri telah hamil tanpa suamilah yang paling santer.

"Cih! Kacang lupa pada kulitnya."

"Hus, jangan berkata begitu. Memangnya kau tahu permasalahannya?"

"Aku tahu kita hanya rakyat jelata yang dianggap rendah oleh keluarga kerajaan, tapi tanpa kita, mereka tak kan bisa menikmati hidup mereka!"

"Apa maksudmu?"

"Kau ingat tentang kematian Raja Diaz yang sampai sekarang masih menjadi teka-teki? Misteri yang belum terpecahkan. Aku yakin sekali Pieter bedebah itulah dalangnya!"

"Tutup mulutmu! Kalau ada yang mendengar kau berkata begitu bagaimana? Apakah kau ingin mendekam di penjara bawah tanah?"

Sudah dua puluh tahun setelah kematian Raja Diaz dan kerabat kerajaan. Mereka semua terbunuh saat jamuan makan malam menyambut acara pertunangan kakak Rebecca, Belinda. Mulai dari raja, permaisuri, putera mahkota, pewaris tahta kerajaan ke-10, kerabat kerajaan, dan pelayan-pelayannya meninggal secara misterius. Tak perlu ditebak lagi, sudah pasti mereka dibunuh.

Ada dua orang yang dicurigai sebagai tersangka pada saat itu. Pertama, mantan pacar Belinda, yaitu Diego. Ke dua, Rebecca yang diusir dari istana karena menikah dengan rakyat jelata. Tapi seluruh bukti terhapus. Pelaku tak dapat ditangkap karena ke duanya memiliki alibi yang cukup kuat.

Karena hampir seluruh keluarga kerajaan tewas mengenaskan, maka dipilihlah bangsawan yang akan menggantikan Raja Diaz dan Ratu Isla. Syarat yang diberikan Dewan Petinggi adalah anak pertama dari bangsawan itu haruslah lelaki dan telah berusia minimal 2 tahun. Dan terpilihlah Rebecca dan suaminya, Pieter.

***

"Ayah tak perlu datang jika memang tak ingin. Tapi mengertilah, rasa cinta itu ada disetiap diri manusia dan tak bisa dicegah. Kumohon, berilah izin untuk kami."

Raja Diaz yang biasanya tenang, kini tampak sangat gusar. Wajahnya memerah menahan amarah. Ia berdeham beberapa kali untuk mencairkan ketegangan.

"Baik, pergilah. Lakukan semua sesukamu, Rebecca. Ayah tak kan melarangmu lagi. Kau tak kan mengerti bagaimana perasaan seorang ayah melepaskan puteri bungsunya pada rakyat jelata. Ingat, Rebecca, karma itu berlaku. Kau akan mengerti ketika semuanya berbalik padamu."

Perempuan berambut cokelat itu tercengang mendengar perkataan ayahnya. Ayahnya adalah idolanya. Ayahnya adalah panutannya. Ayahnya adalah sahabatnya. Ayahnya bukanlah orang tua biasa, bukan karena ayahnya adalah seorang raja, melainkan sebab sifatnya yang bijaksana dalam mengambil keputusan. Ia tak menyangka sesuatu yang menurutnya tak terlalu penting menjadi masalah besar.

"Sekarang, kemasi barang-barangmu. Kau bukan bagian dari istana lagi. Tapi tenanglah, kau akan menjadi bangsawan tingkat rendah. Bukankah itu adil? Aku kehilangan puteriku, ah, bukan. Kerajaan kehilangan puterinya, dan kau kehilangan gelar 'puteri'. Selama aku masih hidup, tak kan kuizinkan kau menginjak rumah ini lagi. Dengar itu, Rebecca! Jangan pernah kau sesali keputusanmu hari ini."

Embun membasahi mata Sang Puteri. Satu persatu air mata turun ke pipi. Ia berbalik lalu keluar dari ruangan itu. Dengan berlari-lari kecil, ia kembali ke kamarnya.

***

Kerajaan geger ketika ditemukannya Pangeran Faraz tewas gantung diri di kamarnya. Polisi yang menangani kasus ini langsung menyimpulkan ini bukan pembunuhan. Namun secara tegas Sylvia menolak pendapat itu, kakaknya bukanlah orang sembarangan. Kakaknya tak mungkin bunuh diri mengingat ia akan segera naik tahta menggantikan ayahnya.

Adu mulut tak berarti itu membuat penjagaan polisi melemah. Esok harinya, Ratu Rebecca ditemukan meninggal karena kehabisan darah. Nadi di pergelangan tangannya putus akibat goresan pisau dapur. Kerajaan kembali berduka. Tangis pilu di sana-sini terdengar begitu menyayat hati.

"Sudah dua anggota kerajaan yang meninggal. Apa ini kutukan Raja Diaz?"

"Raja Diaz tak pernah mengutuk siapa pun. Kau tahu itu, Ferdinan."

"Yah kan siapa tau aja, secara tak sengaja ia pernah mengumpat."

"Kurasa pembunuhan ini masih terus berlanjut. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika seluruh anggota kerajaan terbunuh seperti kejadian 20 tahun yang lalu. De javu."

"Puteri Sylvia tak kan mati! Ia akan tetap hidup dan menjadi pendampingku!"

"Hah, yakin sekali kau. Aku tak mengerti isi otakmu."

***

"Dengar aku Sylvia, semua ini kulakukan karena kucinta kau!"

"Tidak! Menjauhlah kau psikopat!" teriak Sylvia sambil masih terisak.

"Aku ... aku ...."

"Tak perlu kau membela dirimu! Kau membunuh kakakku dan ibuku! Enyahlah kau psikopat!"

Senyum sedih terukir di bibir pucat lelaki yang masih memegang pisau itu.

"Aku hanya mengikuti jejak ayahmu."

"Apa maksudmu, Bangsat?!" Sebuah tamparan mengenai pipi lelaki di depan Sylvia.

"Ayahmulah yang membunuh kakekmu, Raja Diaz. Ia tak ingin ibumu merasa sedih karena pernikahan mereka. Ayahku, Diego, menceritakan semuanya padaku. Ayahku menjadi saksi mata atas kekejian yang dilakukan ayahmu. Sayang memang, ayahmu mengancam ayahku dan membuat ayahku lumpuh total.

"Ayahku bungkam. Ia menangis dan meratapi kepergian Belinda. Ia hampir gila akibat ulah ayahmu itu! Tapi untung saja masih ada perempuan yang berbaik hati mengurusnya. Dan akhirnya ayahku dan perempuan itu menikah, lalu lahirnya aku. Jadi sekarang, apa yang ingin kaukatakan?"

"Kau pembohong! Ayahku tak pernah seperti itu! Kau bangsat tak tau diri!" Sylvia mulai berteriak-teriak tak jelas.

"Kau ingin bukti? Baiklah. Akan kutunjukkan."

Lelaki itu menarik tangan Sylvia dan berjalan dengan cepat ke kamar Raja Pieter.

"Rebecca, mengapa kau pergi? Padahal aku akan memberikan kejutan pada hari ulang tahun pernikahan kita. Kau ... jangan pergi...." Pieter tampak seperti ingin meraih-raih sesuatu yang tak kasat mata. Ia tampak seperti orang yang telah kehilangan kewarasan.

"Apa yang kau lakukan pada ayahku?" Sylvia berlari ke arah ayahnya dan memeluknya.

"Aku hanya memberikan ekstrak Angel's Trumpet. Hahaha."

"Bedebah!"

Angel's Trumpet adalah tanaman yang terkenal sebagai halusinogen yang sangat kuat karena mengandung zat tropane alkaloids.

"Rebecca, lihatlah! Kita akan menjadi raja dan ratu. Kau bisa kembali tinggal di istana," ceracau Pieter.

"Ayah ... ayah, ibu tak di sini." Sylvia mulai terisak kembali.

"Rebecca, aku telah berusaha membuatmu bahagia. Aku yang membunuh keluargamu yang sangat menjijikkan itu. Kakakmu si pelacur, ayahmu si bajingan tak berotak, dan ibumu si pecandu obat-obatan terlarang itu telah kubunuh. Kubuat mereka merasakan bagaimana pedihnya hatiku ketika aku dihina-hina. Huaaaa!" Tiba-tiba Pieter menjerit histeris. Ia melompat dari tempat tidurnya dan menabrak benda-benda di sekitarnya.

"Kau lihat? Kau sudah mendengarnya sendiri, bukan?"

Ferdinan berjalan mendekat ke arah Sylvia yang masih menangis. Perlahan, dielusnya rambut Sylvia yang tergerai.

"Tenanglah, aku akan selalu bersamamu. Aku di sini untukmu."

Dengan cepat, Sylvia merebut pisau dari tangan Ferdinan dan menghujamkannya tepat ke jantung pria yang disayanginya itu. Seperti kesetanan, berkali-kali Sylvia menusukkan pisau tajam itu ke tubuh Ferdinan. Sylvia tak membiarkan satu detik pun terbuang. Dikerahkannya seluruh kekuatannya.

"Akh ...." Darah segar keluar dari mulut Ferdinan. Napasnya tinggal satu-satu.

"Aku lelah dengan semua ini, Ferdinan! Lebih baik kau dan aku mati!"

Sylvia menatap liar seisi kamar. Dilihatnya di sudut ruangan terdapat bunga Oleander. Dipetiknya beberapa buah lalu dipaksakannya ayahnya memakan habis bunga itu. Tak berapa lama, dilihatnya ayahnya mulai kehilangan kesadaran, tubuh bergetar, dan dari mulutnya keluar busa.

"Syl ... Sylvia ...." Sylvia berbalik dan terkejut kala melihat Ferdinan telah pergi dengan tersenyum.

"Hahaha." Sylvia tertawa seperti tak ada beban yang ditanggungnya. Setelah puas tertawa, ia mulai menggoreskan pisaunya ke pergelangan tangannya.

"Akh ... ini belum cukup dalam. Aku masih bisa melihat neraka," ucapnya tanpa sadar.

Sekali lagi digoreskannya pisau tajam itu ke pergelangan tangannya. Sylvia meringis, menikmati rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Terakhir, ditusukkannya pisau itu tepat ke jantungnya sendiri. Berakhirlah kisah cinta yang tragis ini.


-----
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 05 September 2014

Obsesi

Karya: Alya Annisaa Dan Aslan Yakuza

-----

Ruangan itu tersembunyi. Aku tak tahu apa alasan sekolah sampai menyembunyikan ruangan itu. Aku menemukannya ketika tengah membereskan kardus-kardus berisi berbagai macam tugas biologi. Yah, pintunya tertutup lemari dan kardus-kardus bekas. Pintu yang diselimuti debu serta gagang yang telah karatan membuat aku berpikir ruangan itu telah lama tidak dibuka. Apakah ruangan itu adalah ruangan terlarang bagi siswa?

Kucoba untuk membukanya. Aneh ... kenapa tidak terdengar suara derit pintu? Dan kenapa di dalam sini tidak ada barang apa pun kecuali ... sebuah lemari besar yang sebagiannya tertutup kain putih dan sebuah meja tua. Padahal aku sudah berharap menemukan barang-barang kuno atau hasil eksperimen ajaib yang ditinggalkan begitu saja.

Tapi atmosfer ruangan ini terasa tidak bagus. Aku merasa ada hal lain yang juga tersembunyi di dalam ruangan ini. Apa mungkin ruangan ini dulunya adalah tempat guru biologi gila yang menjadikan siswanya sebagai kelinci percobaan? Bodoh! Mana mungkin ada guru yang seperti itu.

Dengan gemetaran, aku mengelilingi ruangan pengap ini--berharap menemukan sesuatu yang penting--sampai akhirnya aku penasaran dengan apa isi di dalam lemari. Perlahan aku berjalan mendekati lemari itu lalu menyibakkan kain yang menutupinya. Hei! Ini lemari antik yang cukup bagus.

Clek!

Sial! Lemarinya terkunci! Apaan sih isi lemari itu, sampai-sampai dikunci seperti ini? Berbagai pertanyaan menghujam di benakku, rasa keingintahuanku mengenai isi lemari itu semakin memburu. Sayangnya pintu lemari itu tak bisa dibuka olehku dan sialnya lagi seseorang datang ke ruangan itu. Dengan cepat aku mencari tempat untuk bersembunyi, tak ingin diketahui seseorang yang datang dan belum kuketahui itu. Aku bersembunyi di bawah kolong meja tak jauh dari lemari. Kulihat langkah kaki semakin mendekat, dilihat dari sepatunya ia bukanlah siswa, tapi guru yang mengajar di sini. Sayangnya aku tak bisa melihat wajahnya, hanya bisa mendengarkan celotehnya saja.

"Aneh, kenapa kain penutup lemari ini bisa kebuka sendiri?"

Tak lama orang itu membungkuk--membelak­angiku--mengambil sehelai kain putih yang tergeletak di lantai untuk menutup kembali lemari yang tadi sudah aku buka. Kecemasan seketika menghantui, takut kalau orang itu melihat keberadaanku. Beberapa saat kemudian, orang itu pergi setelah menutup kembali lemari dengan kain putih. Aku menghela napas, lega karena tak ketahuan bersembunyi di bawah kolong meja. Tapi, rasa penasaran dan pertanyaan semakin meluap di benakku. Siapa orang tadi? Kenapa ia menutup kembali lemari? Entahlah, yang terpenting sekarang aku harus segera tinggalkan tempat ini, karena bel istirahat telah berbunyi. Aku tak mau dihukum lagi hanya gara-gara telat mengikuti pelajaran Bu Lusi. Namun aku berjanji pada diriku sendiri, kalau aku akan kembali untuk mengetahui isi dalam lemari.

***

21.15

Aku masih mengingat akan lemari dalam ruang tersembunyi di sekolah. Entah kenapa rasa penasaran benar-benar mendorongku agar secepatnya kembali ke ruangan itu, untuk mengetahui apa yang tersembunyi dalam lemari itu. Kurebahkan tubuh ke kasur dan mulai berpikir cara untuk kembali ke sekolah yang tentunya sudah tak ada lagi penghuninya. Bermacam ide terpikir olehku, tapi aku tidak punya nyali untuk kembali ke sekolah malam ini.

"Konyol! Kenapa sih aku begitu terobsesi mengetahui isi dalam lemari itu? Lupakan! Lupakan!" celotehku, sebelum menarik selimut hingga menutupi wajah.

***

12.50

Hari ini aku sengaja datang ke sekolah lebih awal, untuk mencari tahu siapa guru yang masuk dan menutup kembali lemari yang nyaris kubuka kemarin. Namun sejauh ini belum ada satu pun guru yang mendekati ruangan tersebut apalagi sampai membuka dan masuk ke dalamnya. Dengan berpura-pura membaca buku di kursi halaman belakang sekolah, mataku terus tertuju pada tumpukan kardus yang menutupi ruangan tersebut.

***

13.05

Lima belas menit sudah aku menunggu di halaman belakang sekolah, namun tak ada satu pun orang yang mencurigakan apalagi datang untuk memeriksa ruangan itu. Karena jam pelajaran sebentar lagi dimulai, aku pun memutuskan untuk beranjak, kembali ke kelas. Tapi langkahku terhenti saat aku melihat seorang siswa berkacamata menatapku begitu tajam.

"Ngapain si cupu ngeliatin aku kaya gitu?" batinku. Lalu aku bergegas menuju ke kelas.

***

Bel tanda jam pelajaran usai pun berbunyi. Semua siswa bergegas mengemas barang mereka untuk segera pulang ke rumah. Namun aku santai-santai saja, karena aku punya rencana untuk kembali ke ruangan yang ada di halaman belakang sekolah. Dengan mengendap-endap aku berjalan ke halaman belakang, kemudian mulai menyingkirkan beberapa kardus yang menumpuk setelah aku sampai di depan ruangan. Sama seperti sebelumnya, pintu itu tak mengeluarkan suara saat aku berhasil membukanya.

"Apa?!" Mataku terbelalak penuh tanya. Lemari dan meja itu menghilang. Ada apa dengan semua ini? Semua yang terjadi cukup membingungkan. Ini pasti ada apa-apanya! Sebuah lemari dan meja tak mungkin berpindah tempat begitu saja tanpa ada yang memindahkannya. Berapa orang yang terlibat? Dua orang? Tidak mungkin! Lemari itu cukup berat dan kemungkinan besar yang memindahkannya lebih dari dua orang.

Dengan hati yang gelisah aku kembali keluar. Aku sengaja tak menyentuh apa pun demi tidak meninggalkan jejak, terkecuali gagang pintu ruangan itu. Lebih baik aku segera meninggalkan tempat ini daripada ketahuan orang-orang yang ingin menyembunyikan sesuatu yang ada di dalam lemari dan meja itu. Dengan tergesah-gesah aku meninggalkan ruangan itu. Akan tetapi saat aku tiba di koridor sekolah ...

"Kenapa belum pulang, Shandyana?"

Deg ...!

Sungguh mengejutkan. Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Dengan cemas, aku berbalik badan, dan ...

"Akh!" jeritku tertahan setelah kurasakan benda tumpul menghantam kepalaku. Pandanganku mulai berkunang-kunang, hingga tak dapat mengenali orang yang baru saja memukulku itu. Lemas ... dan semakin lemas saja, membuat lutut tak mampu lagi menopang berat tubuhku dan akhirnya aku pun terjatuh, kemudian ... gelap.


***

"Lepaskan aku!" pintaku sambil terus meronta di atas sebuah kursi dengan tali tambang yang melilit sebagian tubuhku.

"Hahaha!" Bukannya mengasihaniku, tapi orang yang berdiri membelakangiku itu tertawa lantang seolah tanpa dosa dan rasa bersalah.

"Siapa kamu?!"

Perlahan orang itu membalikkan badan, dan ...

"Ka-kau ...," ucapku terbata, dan sungguh tak percaya melihatnya.

"Hahaha! Kenapa? Kau terkejut sayang?"

Aku diam, penuh ketakutan. Matanya menatap tajam ke arahku, seakan aku adalah lawannya yang harus segera dimusnahkan. Tak lama ia menarik belati yang terselip di sisi pinggang kirinya. Panjang nan mengkilat belati miliknya itu, membuat aku semakin merasa terancam berada di hadapnya.

"Pak ... apa yang akan kau lakukan?"

"Hahaha! Sayang, kau sudah terlalu banyak tahu. Harusnya kau tak menuruti rasa penasaranmu, maka kau tak akan mengalami hal semacam ini. Tapi sayang sekali rasanya jika aku menghabisi nyawamu menggunakan belati ini," ucapnya sambil memamerkan bagaimana tajamnya belatinya itu.

"Sepertinya­ aku dan rekan-rekan akan mendapatkan pengetahuan baru, setelah melakukan sesuatu di tubuhmu. Hahaha!" lanjutnya. Kemudian ia bertepuk tangan, memberikan isyarat kepada rekan-rekannya yang menunggu di luar. Aku terbelalak dan semakin ketakutan. Saat ketiga orang masuk ke dalam ruangan tempat aku dan guru biologi itu. Mereka tertawa, dan menunjukkan seringai jahat mereka. Aku merasa seolah bahan yang akan mereka jadikan sebagai percobaan. Tiba-tiba salah satu dari ketiga orang itu bicara.

"Shandyana, apa kau sudah siap, Nak?" ucapnya bertanya. Dan ternyata dia adalah Bu Aisha.

Aku tak pernah menyangka, orang sebaik dirinya bisa terlibat dalam masalah sekejam ini. Nekat, aku pun balik bertanya kepadanya.

"Bu, apa untungnya bagimu melakukan hal semacam ini?"

Ia tersenyum, sebelum menjawab pertanyaanku. "Kau kira dengan menjadi guru saja aku bisa menghasilkan rupiah yang mampu mencukupi semua kebutuhan, hah?!"

Aku semakin tak mengerti. "Apa maksudmu, Bu?"

"Sudah! Percuma bicara sama anak bodoh seperti dia!" ujar pria gendut yang memakai baju dan celana berwarna hitam.

Aku semakin tak mengerti apa tujuan mereka sebenarnya. Kupandangi satu per satu wajah keempat orang yang berdiri gagah di depanku itu. Tak ada satu pun yang tak kukenali. Keempat orang itu masing-masing bernama ... Aisha, Johan, William dan Dermawan. Ketiga dari mereka adalah guru yang mengajar di sekolahku, dan satunya lagi adalah satpam yang bernama Dermawan; bertugas menjaga gerbang sekolahan. Bu Aisha adalah guru fisika, sedang Pak Johan adalah guru olahraga, sementara Pak William adalah guru biolagi, ia juga yang sudah memukul dan mengikatku. Aku beranggapan seperti itu karena ia-lah yang pertama berada bersamaku di ruangan yang baru kuketahui itu.

"Pak, Bu! Apa yang akan kalian lakukan padaku?" dengan berlinang air mata aku mengatakan itu. Berharap belas kasih dari mereka yang sudah dirasuki setan-setan keji.

Serempak mereka tertawa, setelah mendengar pertanyaan yang menurutku tidaklah lucu. Bu Aisha mendekati aku, lalu membelai lembut leherku dengan belati yang tadi dipegang Pak Johan. Ia tak berucap apapun, hanya menggerakkan kepalanya, seolah memberi tanda kepada salah satu rekannya. Benar saja, tak lama kemudian Pak Darmawan dan Pak Johan menarik lemari yang tertutup kain putih. Lemari yang kemarin sempat kubuka serta membuat aku penasaran setengah mati dengan apa yang ada di dalamnya.

"Baiklah, tentunya kau pasti ingin tahu tentang apa isi di dalam lemari ini, 'kan?"

Sialan! Orang ini membaca pikiranku!

"Aku harap kau tak berteriak," sambung Pak Johan. Lalu membuka pintu lemari secara perlahan-lahan.

"Ahh ...!" napasku tercekat, melihat isi dalam lemari itu ternyata adalah seorang perempuan yang masih memakai seragam sekolah lengkap. Yang lebih mengejutkan ... ia adalah siswi yang 'hilang' setahun silam. Namun sekolah seolah lepas tangan. Mereka mengatakan bahwa hilangnya siswi itu bukan tanggung jawab mereka karena siswi itu sudah meninggalkan sekolah, dan hilang bukan di sekolah. Begitulah para guru dan kepala sekolah memberikan kesaksian setahun silam.

"Ju-Ju ... Jurianty ...?"

"Ada apa? Ada yang salah, Sayang?"

"Apa yang sudah kalian lakukan kepadanya?!"

"Hahaha! Apa kau buta? Kau bisa lihatkan, kalau tubuhnya tak sedikitpun berubah dari semasa hidupnya. Dan itu artinya kami berhasil menciptakan pengawet mayat yang sempurna."

"Hah?!" Aku terperangah.

"Shandyana, sekarang kami membutuhkanmu untuk mencoba penemuan baru," ujar Bu Aisha. Lalu mengeluarkan sebuah jarum suntik dan pisau bedah dari tas kecil yang tersampir di sisi kirinya. Aku benar-banar panik, karena kini Bu Aisha berjalan mendekatiku lagi--meninggalkan lemari berisi mayat Jurianty.

"Berhenti! Kumohon, jangan lakukan itu padaku," pintaku yang sudah terisak dengan napas yang mulai sesak. Bu Aisha menghentikan langkah beberapa senti saja dariku.

"Kenapa? Apa kau tak mau menjadi orang yang cerdas dalam segala hal?"

"Tidak Bu, tidak! Kumohon ... aku ingin jadi diriku sendiri dengan kekurangan dan kelebihan yang sudah Tuhan berikan."

"Hahaha. Bodoh! Kami akan memberikan anugerah kepadamu, melebihi anugerah yang telah diberikan-Nya! Bukan untuk mencelakaimu, Sayang."

"Tidak Bu, aku tidak mau itu! Memang apa untungnya bagimu dan Bapak-Bapak di sekitarmu itu?!"

"Pertanyaanmu membuatku bersemangat, mengingat akan lembaran Dollar yang akan mengalir deras di rekeningku," sahut Pak Dermawan dengan lantang.

Aku semakin tak mengerti apa yang mereka inginkan. Di sela isak tangis, aku kembali bertanya kepada mereka yang semekin sumringah melihatku putus asa.

"Apa untungnya bagi kalian melakukan ini padaku dan Jurianty? Jawab!"

Mereka terbahak serentak. Lalu Bu Aisha lagi-lagi yang menjelaskan.

"Lihatlah ini!" serunya. Membuka laci meja tua di samping lemari tempat di mana jasad Jurianty berada. Jantungku seakan meloncat, melihat berbagai potongan organ tubuh manusia yang sudah diawetkan berada.

"Kau tahu, ini adalah contoh untuk meyakinkan klien kami. Kau kira gaji yang diberikan pemerintah cukup untuk membiayai hidup? Tidak. Kami terpaksa memilih jalan ini agar hidup kami jauh lebih baik."

"Tapi apa yang akan kalian dapatkan jika eksperimen yang kalian lakukan kepadaku membuahkan hasil?"

"Hm, jadi penjelasanku tadi tidak cukup membuatmu mengerti?!"

Brak!

"Angkat tangan!" bentak seseorang setelah berhasil mendobrak pintu. Pak Dermawan, Pak Johan, Pak William dan Bu Aisha terlihat sangat panik ketika melihat polisi mulai memasuki ruangan.

"Brengsek!"

Seakan dirasuki setan, Pak Johan melemparkan belatinya ke arah salah satu polisi. Namun untunglah polisi itu sempat menghindar.

Kulihat Pak William, Bu Aisha, dan Pak Dermawan mencoba kabur melalui pintu darurat yang ada.

Dor! Dor! Dor!

"Arghhh...," lolong Bu Aisha.

Satu persatu dari mereka terjatuh akibat timah panas yang menembus daging. Polisi itu menyuruh mereka tiarap, sebelum mendekat dan memborgol mereka berempat. Semua tertangkap. Permainanpun usai. Ternyata Pak kepala sekolahlah bersama Bu Lusi yang melaporkan aksi kejahatan mereka ke polisi. Sudah sangat lama Pak kepala sekolah mencurigai mereka. Berkat bantuan siswa berkacamata yang selalu membawa komik ke mana-mana, akhirnya mereka bisa dibekuk. Berkat anak cupu itu juga, aku bisa selamat dari keempat orang serakah yang ingin menjadikanku kelinci percobaan mereka.


-Sekian-
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 02 September 2014

K-Pop

-Parade Cerpen Bebas PANCHAKE-

K-Pop
Oleh Amel Yanti aka. Hapapu

----

Bagaikan jamur yang bisa hidup di mana saja dan melekat kepada siapa saja yang mendekat. Menempel dan bikin kita gatal. Risih memang, tapi inilah kenyataannya. Jamur yang satu ini di minati hampir di semua kalangan di berbagai macam negara.

Tak rugi juga menjual paha di mana. Di tambah wajah rupawan yang hampir keseluruhannya terbungkus plastik yang High Quality tentunya. Itupun tak menyurutkan minat para fansnya.

Kalau kamu OK di semua aspeknya sih tidak masalah ikut-ikutan jamur yang kita kenal K-pop ini.

Nah! Coba aja kamu bayangin. Udah item, jelek, gendut dan segala hal yang tidak memungkinkan kamu paksakan menjadi seorang yang pantas menjadi bagian dari jamur itu.

Kalau materi dan ahli yang bagus kenapa tidak. Mungkin hasilnya nggak jauh-jauh amat.

Tapi kalau gagal. Entah sudah berapa lembar uang berwarna merah itu kamu hambur-hamburkan. Mending di pake buat beramal atau yang lainnya. Belum lagi kalau hasilnya di luar perkiraan. Apa kata dunia?.

Yang ada hanya penyesalan datang membunuhmu secara perlahan. Belum lagi ucapan penyesalan dari orang tuamu. Nggak kebayang deh nangisnya kayak gimana.
So, lebih baik pikir-pikir dulu deh kalau mau ikut jadi jamur itu.

Aku bukannya melarang kalian untuk terobsesi sama jamur ini lho!.
Kan kita di negara demokrasi, jadi sah-sah saja kalau kalian mau ikut jadi jamur K-pop itu. Tapi aku ingatkan sekali lagi. Mohon dengan amat sangat tolonglah sesuai dengan situasi, kondisi dan materi kalian. Jangan sampai orang-orang menyesal untuk kesekian kalinya telah mengenal kalian.

Seperti sepenggal kisah dari teman, temannya kakak sepupu jauhku ini.
Bukannya bersyukur dengan keadaan eh! Dia malah ngelunjak nggak jelas. Untungnya masih di akui sebagai anaknya oleh orang tuanya. Walaupun itu kadang-kadang. Bahkan masih bisa di hitung berapa jumlahnya selama dia hidup.

Bagaimana tidak. Kita sebut saja namanya Echi. Dengan tubuh gempal berkulit putih agak kecoklatan katanya itu. Yang sebenarnya adalah hitam abu-abu, dia mulai melakukan aksi konyol karena hati dan jiwanya terobsesi jamur aneh itu. Dia mulai berjalan seperti bebek. Berlenggak lenggok ke sana kemari.

Masih mending ada satu dua yang memuji gerakannya. Lah ini yang ada malah botol plastik melayang kearahnya. Masih mending kosong. Lha ini wong diisiin kerikil sampai penuh.

Belum lagi cara bicaranya yang dibuat-buat seksi dan sedikit mendesah. Membuat gendang telinga yang mendengarnya sampai bernanah. Kalau bisa memilih mereka lebih baik mendengar suara Mpok Nori daripada dia.

Belum selesai yang satu ini. Echi dengan bangganya memamerkan paha badaknya ke semua orang. Tentu saja itu membuat mereka menetaskan air liur sisa muntahnya tiap kali kalau mereka tidak sengaja melihatnya.
Idih ogah banget sengaja ngeliat. Kayak nggak ada pemandangan yang lebih menarik saja.

Walaupun sudah banyak yang menegur dan memarahinya. Tapi tetap saja Echi tak peduli dengan semua itu.


Bahkan secara gamblang dia akan melakukan operasi plastik di negara asal muasal jamur K-pop itu.
Bukannya sirik. Tapi cobalah di pikir-pikir lagi. Karena hasilnya sudah kelihatan pasti gagal.

Sampai akhinya dia mengadu kepada temen, temennya kakak sepupu jauhku sambil nangis guling-guling di tanah. Kayak guk guk bermanja ria pengen diajak main lempar kayu. Kau lempar akan aku tangkap katanya.

Setelah mengerti pokok permasalahannya. Aku pun lebih menyetujui omongan orang tuanya yang tidak mau dan tidak sudi membiayai operasi plastiknya.

"Emang kenapa sih nggak ada yang setuju pada rencanaku?" isak tangisnya yang sok dramatis.

"Maksud kita semua kan baik! Biar kamu nggak terlalu melenceng jauh. Yang kayak gininya sebenarnya aku ogah temenan sama kamu!" ujarku.

"Tapi kan ...,"

"Sudahlah aku nggak mau debat sama kamu. Harusnya kamu sadar siapa dirimu!" bentakku.

"Emang siapa diriku?" tanyanya sok imut.

"Kamu itu Eko bukan Echi. Anak juragan pete satu pohon saja belagu mau operasi plastik segala. Kalau sudah ngebet tuh ember kamu pake buat operasi. Sekalian kalau mau ganti itu burung pakai sandal saja biar empuk," jawabku asal sambil pergi menjauh sejauh-jauhnya dari bencong kelas pete kayak dia.

----


Powered by Telkomsel BlackBerry®