----
"Puteri Sylvia, coba lihat bunga ini! Cantik sekali, bukan?"
"Wah, cantik dan unik! Berbentuk seperti hati yang utuh dan sama persis seperti hati merah jambu di kartu-kartu cinta."
"Namanya Bleeding Heart Flower. Bunga ini ada dalam berbagai warna, ada yang merah muda pucat, putih atau hampir merah. Sayangnya, Bleeding Heart tidak tumbuh di semua negara. Bunga ini tumbuh di negara beriklim sejuk."
"Wow, kau memang pintar! Berpengetahuan luas dan berbakat. Aku bangga mempunyai teman sepertimu," kata perempuan anggun itu seraya tersenyum tulus.
Rona merah muncul di pipi Ferdinan. Dengan bersusah payah ia menelan senyum bahagia yang memberontak untuk muncul. Setelah beberapa saat, akhirnya ia menemukan suaranya kembali.
"Em, apa pendapatmu mengenai bunga ini?"
"Aih, bunga yang genit! Sepertinya ia ingin mencium sesuatu. Hahaha."
Sylvia memetik bunga yang bernama The Kissing Flower itu, lalu menempelkan kelopak bunga yang berbentuk bibir di kening lelaki yang masih tersipu-sipu di depannya.
"Cup! Hahaha."
Dengan gemas Ferdinan mencubit pipi Sylvia lalu menatap tajam tepat ke manik mata perempuan yang dikaguminya itu. Segera kecanggungan menguasai atmosfer di sekitar mereka.
"Eng ... maaf."
"Aku yang harus minta maaf."
Sylvia perlahan mundur dan menjaga jarak. Sesaat keberanian Ferdinan menguap ketika melihat reaksi puteri bungsu dari Raja Pieter yang sangat disayangi rakyatnya itu. Tapi tak ada waktu lagi! Ini saat yang tepat.
"Sylvia,"--Ferdinan meraih tangan Sylvia--,"aku menyukaimu. Sudah lama aku menyimpan rasa ini, namun aku selalu patah hati mengingat kita berdiri di langit yang berbeda."
Mata indah milik Sylvia terbelalak. Ia sangat terkejut mendengar pernyataan lelaki yang sudah dianggapnya seperti kakaknya sendiri.
"Aku ... aku juga menyukaimu. Tapi bukan yang seperti ini."
"Benarkah? Apakah kau sudah bertanya pada hati kecilmu?"
"Benarkah aku hanya menyukainya sebatas teman? Apakah pikiranku tengah berdusta?" batin Sylvia.
Kemudian anak gadis raja itu memikirkan suka dan duka yang telah ia lewati bersama Ferdinan. Ia ingat betul bagaimana hari-harinya terasa sangat mengesankan ketika ia berpetualang melihat bunga-bunga unik bersama lelaki ahli penakologi dan holtikultura tersebut.
"Semuanya indah," ucap Sylvia tanpa sadar.
Tanpa bisa ditahan, Ferdinan memeluk Sylvia dengan hati gembira. Namun, sepasang mata yang melihat dari kejauhan menatap tak senang. Pemilik mata biru itu lalu pergi dengan terburu-buru.
Di ufuk barat, terlihat matahari akan kembali ke paraduannya. Dengan berlari-lari kecil, gadis berambut cokelat itu memasuki istana yang sangat megah.
"Sylvia! Apa yang kau lakukan di kebun botani tadi siang?"
"Maaf, Ayahanda. Aku dan Ferdinan hanya berjalan-jalan."
"Hanya berjalan-jalan? Kau membuat kerajaan malu!"
"Ayah tak mengerti aku! Ini bukan caraku, ini cara ayah! Dengarlah ayah, semua manusia berhak dicintai dan mencintai. Tak pernah ada dalam kamusku tentang 'hanya boleh mencintai orang yang sederajat kedudukan sosialnya'. Lebih baik aku tak menjadi puteri daripada aku merasa terkekang begini!"
Sebuah tamparan dengan mulusnya mendarat di pipi Sylvia. Matanya terbelalak ketika menyadari tamparan itu berasal dari tangan ayahnya yang sangat dikaguminya itu.
"Enyahlah dari hadapanku sebelum aku mengusirmu!"
Tak tanggung-tanggung, Sang Raja menampar anaknya yang menurutnya bersalah itu dan mengancam akan mengusirnya. Penjaga yang melihat sampai tertegun dan tak bisa melakukan apa-apa. Bagai petir di siang bolong, gosip mengenai hal ini cepat menyebar. Banyak spekulasi muncul. Gosip mengenai Sang Puteri telah hamil tanpa suamilah yang paling santer.
"Cih! Kacang lupa pada kulitnya."
"Hus, jangan berkata begitu. Memangnya kau tahu permasalahannya?"
"Aku tahu kita hanya rakyat jelata yang dianggap rendah oleh keluarga kerajaan, tapi tanpa kita, mereka tak kan bisa menikmati hidup mereka!"
"Apa maksudmu?"
"Kau ingat tentang kematian Raja Diaz yang sampai sekarang masih menjadi teka-teki? Misteri yang belum terpecahkan. Aku yakin sekali Pieter bedebah itulah dalangnya!"
"Tutup mulutmu! Kalau ada yang mendengar kau berkata begitu bagaimana? Apakah kau ingin mendekam di penjara bawah tanah?"
Sudah dua puluh tahun setelah kematian Raja Diaz dan kerabat kerajaan. Mereka semua terbunuh saat jamuan makan malam menyambut acara pertunangan kakak Rebecca, Belinda. Mulai dari raja, permaisuri, putera mahkota, pewaris tahta kerajaan ke-10, kerabat kerajaan, dan pelayan-pelayannya meninggal secara misterius. Tak perlu ditebak lagi, sudah pasti mereka dibunuh.
Ada dua orang yang dicurigai sebagai tersangka pada saat itu. Pertama, mantan pacar Belinda, yaitu Diego. Ke dua, Rebecca yang diusir dari istana karena menikah dengan rakyat jelata. Tapi seluruh bukti terhapus. Pelaku tak dapat ditangkap karena ke duanya memiliki alibi yang cukup kuat.
Karena hampir seluruh keluarga kerajaan tewas mengenaskan, maka dipilihlah bangsawan yang akan menggantikan Raja Diaz dan Ratu Isla. Syarat yang diberikan Dewan Petinggi adalah anak pertama dari bangsawan itu haruslah lelaki dan telah berusia minimal 2 tahun. Dan terpilihlah Rebecca dan suaminya, Pieter.
***
"Ayah tak perlu datang jika memang tak ingin. Tapi mengertilah, rasa cinta itu ada disetiap diri manusia dan tak bisa dicegah. Kumohon, berilah izin untuk kami."
Raja Diaz yang biasanya tenang, kini tampak sangat gusar. Wajahnya memerah menahan amarah. Ia berdeham beberapa kali untuk mencairkan ketegangan.
"Baik, pergilah. Lakukan semua sesukamu, Rebecca. Ayah tak kan melarangmu lagi. Kau tak kan mengerti bagaimana perasaan seorang ayah melepaskan puteri bungsunya pada rakyat jelata. Ingat, Rebecca, karma itu berlaku. Kau akan mengerti ketika semuanya berbalik padamu."
Perempuan berambut cokelat itu tercengang mendengar perkataan ayahnya. Ayahnya adalah idolanya. Ayahnya adalah panutannya. Ayahnya adalah sahabatnya. Ayahnya bukanlah orang tua biasa, bukan karena ayahnya adalah seorang raja, melainkan sebab sifatnya yang bijaksana dalam mengambil keputusan. Ia tak menyangka sesuatu yang menurutnya tak terlalu penting menjadi masalah besar.
"Sekarang, kemasi barang-barangmu. Kau bukan bagian dari istana lagi. Tapi tenanglah, kau akan menjadi bangsawan tingkat rendah. Bukankah itu adil? Aku kehilangan puteriku, ah, bukan. Kerajaan kehilangan puterinya, dan kau kehilangan gelar 'puteri'. Selama aku masih hidup, tak kan kuizinkan kau menginjak rumah ini lagi. Dengar itu, Rebecca! Jangan pernah kau sesali keputusanmu hari ini."
Embun membasahi mata Sang Puteri. Satu persatu air mata turun ke pipi. Ia berbalik lalu keluar dari ruangan itu. Dengan berlari-lari kecil, ia kembali ke kamarnya.
***
Kerajaan geger ketika ditemukannya Pangeran Faraz tewas gantung diri di kamarnya. Polisi yang menangani kasus ini langsung menyimpulkan ini bukan pembunuhan. Namun secara tegas Sylvia menolak pendapat itu, kakaknya bukanlah orang sembarangan. Kakaknya tak mungkin bunuh diri mengingat ia akan segera naik tahta menggantikan ayahnya.
Adu mulut tak berarti itu membuat penjagaan polisi melemah. Esok harinya, Ratu Rebecca ditemukan meninggal karena kehabisan darah. Nadi di pergelangan tangannya putus akibat goresan pisau dapur. Kerajaan kembali berduka. Tangis pilu di sana-sini terdengar begitu menyayat hati.
"Sudah dua anggota kerajaan yang meninggal. Apa ini kutukan Raja Diaz?"
"Raja Diaz tak pernah mengutuk siapa pun. Kau tahu itu, Ferdinan."
"Yah kan siapa tau aja, secara tak sengaja ia pernah mengumpat."
"Kurasa pembunuhan ini masih terus berlanjut. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika seluruh anggota kerajaan terbunuh seperti kejadian 20 tahun yang lalu. De javu."
"Puteri Sylvia tak kan mati! Ia akan tetap hidup dan menjadi pendampingku!"
"Hah, yakin sekali kau. Aku tak mengerti isi otakmu."
***
"Dengar aku Sylvia, semua ini kulakukan karena kucinta kau!"
"Tidak! Menjauhlah kau psikopat!" teriak Sylvia sambil masih terisak.
"Aku ... aku ...."
"Tak perlu kau membela dirimu! Kau membunuh kakakku dan ibuku! Enyahlah kau psikopat!"
Senyum sedih terukir di bibir pucat lelaki yang masih memegang pisau itu.
"Aku hanya mengikuti jejak ayahmu."
"Apa maksudmu, Bangsat?!" Sebuah tamparan mengenai pipi lelaki di depan Sylvia.
"Ayahmulah yang membunuh kakekmu, Raja Diaz. Ia tak ingin ibumu merasa sedih karena pernikahan mereka. Ayahku, Diego, menceritakan semuanya padaku. Ayahku menjadi saksi mata atas kekejian yang dilakukan ayahmu. Sayang memang, ayahmu mengancam ayahku dan membuat ayahku lumpuh total.
"Ayahku bungkam. Ia menangis dan meratapi kepergian Belinda. Ia hampir gila akibat ulah ayahmu itu! Tapi untung saja masih ada perempuan yang berbaik hati mengurusnya. Dan akhirnya ayahku dan perempuan itu menikah, lalu lahirnya aku. Jadi sekarang, apa yang ingin kaukatakan?"
"Kau pembohong! Ayahku tak pernah seperti itu! Kau bangsat tak tau diri!" Sylvia mulai berteriak-teriak tak jelas.
"Kau ingin bukti? Baiklah. Akan kutunjukkan."
Lelaki itu menarik tangan Sylvia dan berjalan dengan cepat ke kamar Raja Pieter.
"Rebecca, mengapa kau pergi? Padahal aku akan memberikan kejutan pada hari ulang tahun pernikahan kita. Kau ... jangan pergi...." Pieter tampak seperti ingin meraih-raih sesuatu yang tak kasat mata. Ia tampak seperti orang yang telah kehilangan kewarasan.
"Apa yang kau lakukan pada ayahku?" Sylvia berlari ke arah ayahnya dan memeluknya.
"Aku hanya memberikan ekstrak Angel's Trumpet. Hahaha."
"Bedebah!"
Angel's Trumpet adalah tanaman yang terkenal sebagai halusinogen yang sangat kuat karena mengandung zat tropane alkaloids.
"Rebecca, lihatlah! Kita akan menjadi raja dan ratu. Kau bisa kembali tinggal di istana," ceracau Pieter.
"Ayah ... ayah, ibu tak di sini." Sylvia mulai terisak kembali.
"Rebecca, aku telah berusaha membuatmu bahagia. Aku yang membunuh keluargamu yang sangat menjijikkan itu. Kakakmu si pelacur, ayahmu si bajingan tak berotak, dan ibumu si pecandu obat-obatan terlarang itu telah kubunuh. Kubuat mereka merasakan bagaimana pedihnya hatiku ketika aku dihina-hina. Huaaaa!" Tiba-tiba Pieter menjerit histeris. Ia melompat dari tempat tidurnya dan menabrak benda-benda di sekitarnya.
"Kau lihat? Kau sudah mendengarnya sendiri, bukan?"
Ferdinan berjalan mendekat ke arah Sylvia yang masih menangis. Perlahan, dielusnya rambut Sylvia yang tergerai.
"Tenanglah, aku akan selalu bersamamu. Aku di sini untukmu."
Dengan cepat, Sylvia merebut pisau dari tangan Ferdinan dan menghujamkannya tepat ke jantung pria yang disayanginya itu. Seperti kesetanan, berkali-kali Sylvia menusukkan pisau tajam itu ke tubuh Ferdinan. Sylvia tak membiarkan satu detik pun terbuang. Dikerahkannya seluruh kekuatannya.
"Akh ...." Darah segar keluar dari mulut Ferdinan. Napasnya tinggal satu-satu.
"Aku lelah dengan semua ini, Ferdinan! Lebih baik kau dan aku mati!"
Sylvia menatap liar seisi kamar. Dilihatnya di sudut ruangan terdapat bunga Oleander. Dipetiknya beberapa buah lalu dipaksakannya ayahnya memakan habis bunga itu. Tak berapa lama, dilihatnya ayahnya mulai kehilangan kesadaran, tubuh bergetar, dan dari mulutnya keluar busa.
"Syl ... Sylvia ...." Sylvia berbalik dan terkejut kala melihat Ferdinan telah pergi dengan tersenyum.
"Hahaha." Sylvia tertawa seperti tak ada beban yang ditanggungnya. Setelah puas tertawa, ia mulai menggoreskan pisaunya ke pergelangan tangannya.
"Akh ... ini belum cukup dalam. Aku masih bisa melihat neraka," ucapnya tanpa sadar.
Sekali lagi digoreskannya pisau tajam itu ke pergelangan tangannya. Sylvia meringis, menikmati rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Terakhir, ditusukkannya pisau itu tepat ke jantungnya sendiri. Berakhirlah kisah cinta yang tragis ini.
-----
Powered by Telkomsel BlackBerry®