Minggu, 25 Mei 2014

TUMBAL TELAPAK TANGAN

Genre : Fiksi Horor
Bangunan berlantai tiga dengan warna biru yang terlihat telah memudar. Ada sedikit cat yang sudah mengelupas sehingga menampakkan warna asli bangunan itu, putih. Bangunan yang sebenarnya adalah tempat dijualnya obat herbal dan berbagai jenis jamu itu memang agak jauh dari bangunan-bangunan lain. Seorang gadis remaja memandangi bangunan tersebut dengan raut wajah ragu. "Toko Obat dan Jamu Laveindisc". Tulisan nama toko itu cukup besar dan jelas sehingga dari jarak yang cukup jauh dapat dibaca oleh remaja berambut lurus panjang yang masih berdiri tanpa bergeming.
Tiba-tiba Alikha melangkahkan kakinya menuju toko itu dan masuk dengan perlahan seperti ada kekuatan yang menariknya untuk memasuki toko itu dengan segera.. Matanya menyapu seisi toko di lantai satu, mencari karyawan di sana untuk bertanya. Herannya tidak ada satu orang pun yang terlihat. Hanya ada sofa tua, deretan lemari yang berisi obat-obat dan jamu, meja kecil yang di atasnya ada sebuah buku kecil lengkap dengan pena hitam dan ada televisi kecil di atas salah satu lemari obat yag tepat menghadap jendela. Suasana sangat sepi hanya detak jarum jam yang terdengar. Gadis remaja bernama Alikha itu merasakan suatu keganjalan.
"Assalamu'alaikum… Permisi, apakah ada orang? Saya Alikha, calon pegawai yang akan bekerja di toko ini," seru Alikha cukup keras berharap ada seseorang yang mendengar.
Belum ada juga tanda-tanda keberadaan seseorang di sini. Alikha memutuskan untuk duduk sebentar sambil menunggu. Sofa berwarna coklat gelap yang sekarang diduduki Alikha sudah dimakan usia. Kulitnya banyak yang sudah terkelupas dan sofa itu tidak cukup empuk lagi bagi Alikha. Alikha masih tetap menunggu. Ia berpikir mungkin pemilik toko ini sedang tidur siang di lantai dua atau lantai tiga karena di jam tangannya memang menunjukkan tepat pukul dua siang.
"Hoaaem…, jadi mengantuk juga," keluh Alikha sambil melemaskan tubuhnya mencari posisi yang enak untuk duduk di sofa tua ini. "Kok, seperti tidak ada pembeli ya? Sepi sekali," katanya dalam hati.
Alikha berdiri untuk melihat keadaan di luar toko. Dari kejauhan dilihatnya ada seorang gadis dengan selendang berwarna ungu. Alikha menduga usia gadis itu sekitar dua puluh satu seperti dirinya. Melihat ada orang lain selain dirinya di sini membuat Alikha cukup lega. Tiba-tiba gadis berselendang ungu tersebut sudah di depan pintu toko dan masuk menyapa Alikha.
"Permisi Mbak. Apakah di sini menjual telapak tangan?" tanya gadis itu serius dengan wajah dingin dan pucat.
"Maksudnya telapak tangan apa? Sarung tangan ya? Saya belum jadi pegawai di toko ini mbak, jadi belum tahu ada atau tidak. Pemilik tokonya entah ada di mana," jawab Alikha yang tiba-tiba merasakan tubuhnya merinding dan keheranan dengan gadis yang sangat misterius di hadapannya kini.
"Bukan sarung tangan, tapi telapak tangan untuk tangan saya," kata gadis misterius itu sambil mengangkat tangan kanannya dan ditunjukkannya tepat di depan wajah Alikha yang langsung pucat pasi memandangi tangan tanpa telapak tangan dan jari-jari. Tangan itu berlumuran darah dan menetes jatuh ke lantai. Tiba-tiba wajah gadis misterius yang pucat dan dingin tadi telah berubah menjadi wajah seram berwarna hitam dengan bola mata meloncat keluar. Rambutnya sudah sangat berantakan dan pakaian putihnya berlumur darah. Tangan kirinya dengan jari-jari berkuku tajam berusaha meraih wajah Alikha dan berusaha mencakarnya.
"Aaaaaarrrgghhh...," jeritan Alikha memenuhi seisi toko.
Dia begitu ketakutan. Tubuhnya gemetaran sehingga tidak dapat menggerakkan kaki untuk berlari. Dengan jelas Alikha melihat wajah gadis itu yang sekarang berubah menjadi hantu menakutkan yang begitu dipenuhi kedendaman. Seolah-olah hantu itu ingin membalaskan dendamnya pada Alikha. Alikha tidak dapat melakukan perlawanan apa-apa. Matanya hanya terpejam. Membaca surat-surat pendek yang dia hafal dan memasrahkan semuanya pada Allah apa yang akan terjadi padanya.
"Keluarlah secepatnya…. Keluar!" jerit lirih hantu wanita itu terdengar oleh Alikha.
Beberapa detik berlalu namun Alikha tidak merasakan wajahnya dicakar atau dilukai hantu itu. Perlahan Alikha membuka matanya. Hantu itu tidak ada. Hilang. Alikha terduduk lemas di lantai. Merasakan kelegaan yang begitu besar. Alikha memikirkan suara hantu tadi yang menyuruhnya keluar. Apa hantu itu tidak menyukai keberadaannya di sini ya, pikir Alikha. Dari lantai atas terdengar ada langkah kaki seseorang menuruni tangga. Alikha terperanjat dan membayangkan jika itu adalah hantu tadi yang masih ingin membunuhnya. Langkah itu semakin jelas karena sudah berada di lantai dua. Keringat dingin dengan derasnya kembali membanjiri tubuh Alikha yang lemas. Rasanya ia ingin menangis. Tapi tak berapa kemudian Alikha lega karena itu benar-benar orang.
"Siapa kamu? Kenapa menjerit-jerit sehingga membangunkan saya?" tanya bapak berkumis penuh selidik pada Alikha yang masih terduduk di lantai.
"Sa…saya Alikha, Pak. Calon pegawai di toko ini. Bapak kemarin menghubungi saya kan kalau saya diterima bekerja di sini," jelas Alikha gugup.
"Oh iya iya. Kenapa kamu menjerit dengan sangat keras?"
"Emm, tadi ada tikus yang menempel di sepatu saya, Pak." jawab Alikha berbohong. Dia belum mau menceritakan kejadian bertemu hantu barusan. Takut itu hanya halusinasinya saja walau ia yakin itu benar-benar terjadi.
"Oh tikus ya," Pak Amir dengan wajah yang terlihat sangar itu menanggapi pernyataan Alikha dengan nada seperti tahu sesuatu.
Setelah kurang lebih satu jam Pak Amir memberi penjelasan pada Alikha, dia lansung kembali ke lantai tiga untuk istirahat. Pak Amir menyuruh Alikha hari ini menginap saja. Mulai besok baru diperbolehkan untuk pulang pergi. Pak Amir berpesan agar Alikha bisa menempati kamar di lantai dua dan dilarang naik ke lantai tiga. Sebenarnya Alikha keberatan untuk menginap, karena dia sangat tak nyaman dengan kondisi di toko ini. Tapi mau bagaimana lagi, Alikha tidak mau kehilangan kesempatan untuk bekerja.
Pukul setengah enam sore sudah membuat langit cukup gelap. Alikha sedang duduk di dekat jendela kaca sambil memandangi langit di luar sana. Kamar ini cukup besar dan nyaman untuk Alikha. Tempat tidurnya empuk dan ada kamar mandi dengan keramik berwarna hijau, warna kesukaannya. Alikha belum memutuskan untuk tidur karena dirasanya tanggung, karena setengah jam lagi azan maghrib akan berkumandang. Sehabis shalat maghrib nanti dia baru akan memejamkan mata dan tidur di atas kasur empuk dengan seprai yang juga berwarna hijau.
Sehabis menunaikan kewajibannya shalat maghrib, Alikha ingin membaca Al Quran. Tapi ternyata Al Quran Alikha tidak ada di dalam tasnya. Mungkin tertinggal di rumah karena memang dia tadi pergi dengan terburu-buru. Alikha hanya berzikir dan berdoa meminta perlindungan pada Allah agar tidak terjadi apa-apa dengan dirinya di sini.
Tepat pukul dua belas malam, Alikha terbangun. Dia mendengar suara berisik di lantai tiga. Suara yang seperti tertahan. "Toloooong…!" Samar-samar Alikha dapat mendengar suara jeritan menahan kesakitan itu. Dengan keheranan Alikha bangun dari tidurnya. Rasanya ia ingin ke lantai tiga untuk mengetahui ada apa sebenarnya. Belum habis kebingungan Alikha, ada suara hentakan keras seperti suara kayu yang mengenai sesuatu. Jeritan meminta tolong semakin jelas. Alikha tidak bisa hanya duduk dan mendengarkan. Dia ingin tahu apa yang terjadi di atas. Tak peduli larangan dari Pak Amir yang tidak memperbolehkan dirinya menuju ke lantai tiga.
"Pasti tidak ada yang beres dengan sesuatu di lantai tiga," gumam Alikha.
Dengan langkah pelan Alikha menaiki tangga. Tubuhnya sedikit gemetar karena takut. Tapi niatnya untuk menolong orang yang berulang kali menjerit tadi membuat Alikha berani. Ternyata di lantai tiga hanya ada satu pintu yang tertutup rapat. Pasti itu pintu kamar Pak Amir. Alikha mendekatkan telinganya pada pintu. Benar, suara meminta tolong itu berasal dari dalam kamar tersebut. Reflek, tangan Alikha mengetuk pintu dengan keras.
"Pak Amir… Tolong bukakan pintu, ada apa di dalam? Saya mendengar suara orang meminta tolong," seru Alikha keras. Tiba-tiba suara itu berhenti. Sekarang hanyalah sunyi yang menguasai suasana.
"Dasar tidak sopan! Saya sudah melarang kamu naik ke sini. Masih saja dilakukan," marah Pak Amir pada Alikha. Pak Amir berdiri di dekat pintu kamar yang hanya dibukakannya sedikit.
"Maaf, Pak. Saya hanya ingin tahu apakah suara jeritan meminta pertolongan tadi benar-benar ada," ujar Alikha memandangi Pak Amir dari atas sampai bawah. Dia tercekat karena tangan Pak Amir berlumuran darah. Sadar kalau tangannya dilihat Alikha, cepat-cepat ditariknya ke belakang tubuhnya.
"Pak, saya ingin melihat isi kamar Bapak," kata Alikha yang kemudian mendorong pintu kamar dengan keras sekali sehingga terbuka seluruhnya.
Pemandangan di dalam kamar Pak Amir membuat jantung Alikha seakan meloncat keluar. Seorang wanita muda telah mati terkapar di atas kasur yang berseprai putih. Namun warna putihnya sudah berubah menjadi merah karena darah yang mengalir dari tangan kanan wanita itu yang tidak ada lagi telapak tangan dengan jarinya. Tepat di atas bantal, telapak tangan yang terpisah itu sudah di bungkus plastik bening.yang kotor oleh darah yang masih keluar sedikit demi sedikit.
Seketika Pak Amir menarik tangan kanan Alikha dengan sangat kuat. Diambilnya pisau besar dan tajam yang masih berlumuran darah segar dari atas meja kemudian mengarahkannya ke tangan Alikha, berusaha memotong tangan Alikha dengan kesetanan.
"Biadab kau, rasakan apa yang telah terjadi pada wanita itu juga wanita-wanita lainnya!" jerit Pak Amir yang sekarang telah berubah menjadi pembunuh yang begitu keji.
Alikha menendang tepat di bawah perut Pak Amir dan ia bisa terlepas dari cengkraman tangan manusia tak berhati tersebut. Cepat-cepat Alikha berlari menuruni tangga sampai ke lantai paling bawah. Pintu keluar dikunci. Alikha ketakutan, ia ingin segera keluar dari toko ini. Tapi semua pintu terkunci. Jendela kaca sudah dipecahkanya namun terali besi menghalanginya untuk bisa keluar. Dia menjerit-jerit meminta pertolongan, berharap ada orang lewat dan mendengar jeritannya. Tapi keadaan di luar sangat gelap dan sunyi. Alikha menangis membayangkan sebentar lagi Pak Amir akan memotong tangannya yang pasti akan mengenai urat nadinya dan pada akhirnya nasibnya akan sama seperti wanita yang tadi dilihatnya. Mati dengan tak layak.
Terdengar langkah Pak Amir menuruni tangga sambil memanggil-manggil namanya, "Alikha… Kamu tak akan bisa kabur dari sini. Tak ada yang bisa lolos dari saya. Telapak tanganmu yang halus dan cantik itu akan menjadi telapak tangan yang ke sepuluh untuk saya santap. Kemarikan tanganmu cantik, saya berjanji akan memotongnya dengan perlahan jika kamu tidak berontak."
"Dasar orang gila, mana ada orang yang rela memberikan tangannya pada iblis seperti kamu!" teriak Alikha marah.
Kini Pak Amir berada di hadapannya dan siap-siap mengayunkan pisau tajam ke arah tangan Alikha. Alikha berhasil mengelak, hanya lengannya sedikit tergores dan mengeluarkan darah segar. Alikha berlari menghindar ke arah belakang sambil menahan darah yang keluar dari lengannya dengan sapu tangan. Dia terus berdoa dan berdoa. Hanya Allah yang dapat menolongnya. Ia yakin itu. Jika memang harus mati, itu berarti sudah menjadi takdirnya.
Terdengar jeritan keras. Alikha menoleh ke belakang dan perlahan menuju ke depan. Pandangan menakutkan menghiasi penglihatannya. Sungguh tak dapat dipercaya namun ini nyata dilihat Alikha. Hantu wanita yang menakutinya siang tadi kini mencakar-cakar tubuh Pak Amir. Beberapa saat kemudian mulai bermunculan hantu-hantu wanita lainnya yang kesemuanya berpakaian putih penuh darah dan tangan kanan tanpa telapak dan jari. Salah satu dari mereka memotong dengan sadis kedua tangan Pak Amir. Pak Amir menghembuskan nafasnya yang terakhir seiring melemahnya jeritan kesakitannya.
Hantu-hantu itu menghilang dan pintu tiba-tiba terbuka. Alikha keluar dari toko itu sambil menjerit dan berteriak. Entah sampai ke mana ia akan lari, Alikha tak tahu. Di tengah jalan Alikha pingsan tak sadarkan diri.
***
Perlahan mata Alikha terbuka. Dia berada di ruangan serba putih dan berbau obat-obatan. Seorang suster tersenyum padanya. Alikha membalas senyum itu dan meringis ketika dirasakannya sakit di lengan tangan kanannya yang sekarang telah diperban.
"Tenang dulu ya Alikha. Istirahat saja karena kamu baru sadar dari pingsan semalaman." kata suster dengan lembut pada Alikha.
Papa dan mama Alikha yang juga berada di sana langsung memeluk anak mereka dengan tangis haru. Mereka sangat bersyukur karena Alikha berhasil selamat dari pembunuhan sadis oleh Pak Amir yang dulunya adalah dokter di rumah sakit ini. Ketika Pak Amir bertemu dengan seseorang yang mengajarkannya ilmu hitam Pak Amir berhenti menjadi dokter dan dia menghilang tanpa berita. Pak Amir membuka toko obat dan jamu yang tidak pernah mau melayani pembeli. Membangun toko itu hanyalah salah satu cara Pak Amir untuk mendapatkan tumbal tangan sepuluh orang wanita yang akan diambil sebatas pergelangan tangan saja guna membuatnya awet muda dan kaya tanpa usaha. Dia sengaja memasang iklan di koran tentang lowongan pekerjaan khusus wanita muda agar dengan mudah ia dapat menjebak para wanita itu.
Ajaran sesat yang di dapat Pak Amir dari seseorang yang sekarang entah ada di mana itu membuatnya kehilangan akal sehat dan berakhir tragis terhadap dirinya sendiri karena roh-roh sembilan wanita yang berhasil dibunuhnya itu ternyata membalas dendam. Saat Alikha pingsan di tengah jalan, ia ditemukan serombongan polisi yang baru pulang dari dinas. Polisi-polisi curiga karena lengan Alikha terluka cukup dalam dan masih mengeluarkan darah. Para polisi itu pun mengikuti jejak darah yang tercecer di jalanan dan sampailah di "Toko Obat dan Jamu Laveindisc".
Alikha mendengarkan penjelasan kedua orang tuanya yang masih memeluk erat dirinya. "Pagi ini toko itu sudah diamankan polisi, Sayang. Mayat wanita-wanita muda yang dibunuh itu akan segera di makamkan, begitu juga dengan mayat Pak Amir," kata ibu berbisik di telinga Alikha. Alikha menghela nafas lega.
"Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah Ya Tuhanku," ucapan syukur tak henti-hentinya keluar dari mulut Alikha. Kini dia semakin mengerti dan meyakini keagungan Tuhan Sang Maha Pencipta. Segala sesuatu yang mustahil sekali pun dapat terjadi jika Tuhan telah menghendaki.
***













8 DONGENG SUPER SADIS YANG TIDAK ANDA TAHU

Mungkin karena kesadisannya, kisah-kisah ini tak pernah sampai ke telinga kita. Semuanya dibumbui dengan mutilasi, kanibalisme, hingga pelecehan seksual. Berikut ini 8 dongeng asing yang supersadis yang diambil dari website listverse (jangan salahkan saya lho kalau kalian bermimpi buruk sehabis membacanya).

1. Biancabella

Ada Cinderella, ada juga Biancabella. Kisah dongeng yang satu ini mungkin versi sadis dari Cinderella sebab juga melibatkan ibu tiri dan dua saudrai tirinya yang jahat. Cerita dimulai dari seorang wanita yang tertidur di taman. Seekor ular menyelinap lewat "masuk" ke dalam rahim wanita itu (cuma ada satu jalan menuju rahim ... yap, yang itu). Wanita itu kemudian mengandung dan melahirkan anak perempuan yang diberi nama Biancabella. Saat lahir, terdapat seekor ular yang melingkar di lehernya yang segera melesat pergi sesaat setelah persalinan. Ular itu menampakkan diri pada Biancabella ketika ia sedang berjalan-jalan di taman pada saat berumur 10 tahun. Ular itu bernama Samaritana dan mengaku sebagai saudari kembar Biancabella dan memberinya kecantikan yang luar biasa (ular sakti ceritanya). Seorang raja kemudian tertarik dengan kecantikan Biancabella dan memperistrinya.

Saat diboyong ke istana, ibu tiri sang raja dan kedua putrinya tidak menyukai Biancabella dan menyuruh para bawahannya untuk membawanya ke hutan dan membunuhnya. Namun mereka tak bisa membunuh Biancabella. Sebagai gantinya, mereka memotong kedua tangannya dan mencungkil bola matanya untuk diberikan pada ratu. Di hutan, Biancabella hendak bunuh diri, namun dihentikan oleh ular tadi. Sang ular kemudian mengembalikan kondisi Biancabella seperti semula. Ketika raja mengetahui perbuatan jahat sang ratu dan membakar ibu tiri beserta kedua putrinya hidup-hidup di atas perapian. Dongeng ini dikumpulkan oleh Giovanni Fransesco Straparola dalam bukunya "The Facetious Nights of Staraparola" yang dimaksudkan menjadi buku cerita 1001 Malam ala Italia.

2. The Myrtle

Kisah diawali dengan seorang wanita yang sangat menginginkan anak, walaupun hanya sebatang tanaman myrtle (sejenis jambu). Keinginannya benar-benar terlaksana dan ia melahirkan sebatang tanaman myrtle yang kemudian dibeli oleh seorang pangeran. Tanaman myrtle ini ternyata ajaib dan mampu berubah menjadi peri yang kemudian bercinta dengan sang pangeran tiap malam. Suatu hari, ketujuh selir sang pangeran mengetahui hal ini dan cemburu. Mereka lalu memutilasi peri itu dan masing-masing dari mereka membawa potongan tubuh dari peri itu. Terkecuali selir termuda yang tak mau ikut campur dengan perbuatan jahat selir lainnya dan hanya membawa sehelai rambut emas milik sang peri.

Seorang pelayan menemukan sisa-sisa tubuh sang peri (gigi, darah, tangan, dan tulang) yang berceceran di tanah dan membersihkannya. Karena kasihan, ia lalu menguburkan di bawah sebatang pohon myrtle. Ajaibnya, peri itu kemudian menumbuhkan kembali bagian-bagian tubuhnya dan hidup kembali. Iapun mengadukan perbuatan para selir jahat kepada sang pangeran. Pangeran lalu mengubur hidup-hidup para selir di dalam selokan, terkecuali selir termuda yang baik hati yang diampuni dan kemudian menikah dengan pelayan yang menyelamatkan sang peri tadi.

3. Doralice

Alkisah Pangeran Tebaldo yang jahat ingin memperistri putrinya sendiri, Doralice (incest ceritanya). Namun Doralice menolak. Doralice yang takut diperkosa ayahnya kemudian diselamatkan oleh suster yang merawatnya sejak kecil. Doralice disuruh bersembunyi di dalam sebuah lemari kayu yang dijual ayahnya. Ajaibnya, Doralice selamat walaupun berada di dalam lemari itu selama berbulan-bulan berkat minuman ajaib yang diberikan suster itu. Lemari itu kemudian dibeli seorang raja yang terkejut melihat seorang wanita cantik di dalam lemari yang ia beli. Raja itupun kemudian menikahi Doralice.

Sayangnya, ayah Doralice akhirnya menemukan tempat persembunyian Doralice dan mendatanginya dengan menyamar. Doralice yang tak menyadari penyamaran ayahnya membiarkannya tidur sekamar dengan dua bayi yang baru dilahirkannya. Tebaldo dengan kejam membantai kedua cucunya sendiri dan memfitnah Doralice sebagai pelakunya. Sang raja yang terhasut kemudian menyuruh Doralice dikubur hidup-hidup. Namun sang suster yang mendengar kabar itu berani bersumpah pada sang raja bahwa Doralice bukan pelakunya. Beruntung, Doralice masih bisa diselamatkan. Kejahatan Tebaldo pun akhirnya terkuak. Sebagai balasannya, iapun disiksa dan dimutilasi hidup-hidup serta potongan-potongan tubuhnya diberikan pada anjing.

4. Sun, Moon, and Talia

Cerita ini diduga sebagai versi awal Putri Tidur karena kemiripannya. Dikisahkan karena kutukan, sang putri bernama Talia tertidur akibat tertusuk jarum. Seorang raja yang kebetulan lewat kemudian menemukan Putri Talia dan berusaha membangunkannya. Karena tidak berhasil, akhirnya sang raja memutuskan memperkosanya. Dalam keadaan tertidur, Talia mengandung dan melahirkan sepasang anak kembar. Salah satu anaknya yang kelaparan menghisap jari ibunya sehingga jarum yang membuat ibunya tertidur terlepas dan putri Talia pun bangun. Talia kemudian menamai anak kembarnya Sun dan Moon (Matahari dan Bulan).

Suatu hari sang raja datang kembali hendak memperkosa Talia lagi (padahal di sini ceritanya sang raja sudah punya istri), namun ia justru menemukan Talia yang sudah melahirkan kedua anaknya. Iapun memboyong Talia dan dua anaknya ke istana. Hal ini membuat permaisuri sang raja cemburu dan memerintahkan koki untuk membunuh dan memasak kedua anak Talia serta menghidangkannya pada sang raja. Namun sang koki tak tega dan menggantinya dengan daging domba. Merasa sudah membunuh kedua anak Talia, sang ratu kemudian hendak membakar hidup-hidup Talia. Namun sang raja mendengar teriakan Talia dan melemparkan permaisurinya ke dalam api sehingga ialah yang terbakar hidup-hidup. Sang raja, Talia, dan kedua anaknya pun hidup bahagia selamanya.

5. The Old Woman Who Was Skinned Alive

Terjemahannya adalah "Wanita Tua yang Dikuliti Hidup-Hidup". Alkisah karena fantasinya yang tinggi, seorang raja salah mengira dua orang wanita tua bersaudara yang hidup di balik tembok sebagai dua gadis muda yang cantik. Sang raja kemudian meminta salah satu nenek itu untuk bercinta dengannya. Nenek itu setuju dengan syarat "itu" dilakukan dalam kondisi gelap. Lebih aneh lagi, agar kulitnya kencang, ia kemudian menarik kulitnya ke belakang dengan benang. Namun sang raja mengetahui akal bulus sang nenek (sayangnya setelah mereka selesai ber-"ehem-ehem") dan melemparnya keluar jendela. Benang yang digunakan untuk menarik kulitnya menyangkut di pohon dan nenek itu tergantung di sana semalaman. Tujuh orang peri melihatnya dan menganggapnya lucu, sehingga mereka kemudian mengubahnya menjadi seorang wanita muda yang cantik. Sang raja yang keesokan harinya melihat seorang gadis cantik tergantung di pohon segera menikahinya.

Saudari si nenek menjadi iri dan meminta rahasia bagaimana ia bisa kembali muda. Sang nenek yang muda kembali tadi hanya mengatakan bahwa ia dikuliti hidup-hidup karena tak mau membagi rahasianya pada saudarinya. Saudarinya benar-benar mempercayainya dan meminta agar dikuliti. Iapun akhirnya mati akibat kehabisan darah, sementara nenek yang satu lagi hidup bahagia selamanya dangan sang raja. Benar-benar dongeng yang aneh.
Baik "Biancabella", "The Myrtle Tree", dan "Old Woman Who Was Skinned" merupakan dongeng yang dikumpulkan Gaimbattista Basile dalam bukunya "Entertainment for the Young" pada 1634. Dilihat dari judulnya, sepertinya dongeng-dongeng mengerikan ini dimaksudkan untuk dibaca anak-anak.

6. The Robbers Brigdegroom

Judul dongeng ini berarti "Mempelai Si Perampok" dan merupakan "Texas Chainsaw Massacre" ala Eropa kuno. Alkisah seorang tukang giling menikahkan anak gadisnya dengan seorang pria yang tampak terpelajar dan terpandang. Suatu hari sang gadis datang ke rumah calon suaminya, namun disana ia bertemu dengan wanita tua (pembantu) yang mengatakan bahwa calon suaminya dan teman-temannya adalah kanibal. Ia kemudian menyembunyikan sang gadis di dalam lemari saat calon suaminya pulang bersama teman-temannya.

Ternyata mereka pulang dalam keadaan mabuk dan membawa serta seorang gadis yang tampak ketakutan dan memohon agar dilepaskan. Namun pria-pria itu justru menelanjangi dan memutilasi gadis itu (disaksikan sang tokoh utama). Mereka kemudian memasak daging gadis malang itu dan memakannya rame-rame. Kebetulan, sepotong jari gadis itu (dimana terdapat sebuah cincin emas melingkar) terjatuh tepat di depan tempat persembunyian sang tokoh utama. Iapun memungutnya dan menyembunyikannya. Setelah para pria kanibal itu tertidur karena mabuk, gadis itu segera kabur dan memberitahukan ayahnya tentang hal mengerikan itu sambil membawa jari itu sebagai bukti. Akhirnya semua pria kanibal itu dihukum gantung. Yang lebih membuat kita shock, cerita ini dikumpulkan oleh Grimm bersaudara dalam buku mereka "Children's and Household Tales" pada 1812, artinya cerita ini dimaksudkan sebagai dongeng anak-anak.

7. The Elf of The Rose

Membaca dongeng sadis ini, kita takkan menyangka bahwa dongeng ini ditulis oleh Hans Christian Andersen yang terkenal dengan dongeng-dongeng anak-anaknya. Kisah ini bercerita tentang seorang pria yang dibunuh oleh saudaranya sendiri karena cinta segitiga. Lelaki jahat itu rupanya menginginkan gadis yang menjadi kekasih saudara yang ia bunuh itu. Ketika sedang mengubur saudaranya, setangkai daun kering jatuh di atas rambut pemuda itu. Ia tak sadar ada seorang peri yang bersembunyi di daun tersebut dan telah menyaksikan perbuatan jahat lelaki itu. Suatu malam, saat pemuda itu membungkuk ke arah kekasih saudaranya yang sedang tertidur, peri itu turun ke telinga gadis itu dan membisikkan bahwa kekasihnya telah dibunuh. Peri itu juga memberitahu dimana ia dikuburkan.

Sang gadis yang berduka kemudian menggali kuburan kekasihnya dan menemukan kepala kekasihnya yang terpenggal. Ia kemudian menciumnya dan membawanya pulang. Lebih aneh lagi, ia kemudian menyembunyikannya di dalam pot yang dtimbunnya dengan tanah dan menanaminya dengan sebatang tanaman melati di atasnya. Siang dan malam gadis itu terus menangis. Ketika bunga melati itu mekar, gadis itu terus menciuminya dan membuat saudara kekasihnya yang jahat cemburu.

Akhirnya sang gadis meninggal karena kesedihannya yang mendalam. Sebelum meninggal, sang peri membisikkan kata-kata indah untuk menenangkan jiwa gadis itu. Akhirnya gadis itu dan kekasihnya berkumpul kembali di surga. Sementara itu, sang saudara yang jahat membawa pot melati itu ke dalam kamarnya. Saat tertidur, sesosok roh muncul dari dalam bunga yang mekar dan membunuh saudara yang jahat itu.

8. The Juniper Tree

Lagi-lagi dongeng ini berasal dari buku "Children's and Household Tales" karya Grimm Bersaudara, namun tetap saja ceritanya tidak patut untuk didengar anak-anak (kecuali anaknya Sumanto mungkin). Alkisah seorang ibu tiri sangat membenci anak tirinya. Ia berencana membunuh anak tirinya itu agar warisan suaminya jatuh pada anak kandungnya, yaitu seorang anak perempuan bernama Marlene. Ibu tiri itu kemudian menipu anak tirinya dengan menyuruhnya mengambil sebuah apel dari dalam peti. Ketika anak itu menjulurkan kepalanya ke dalam peti, ibu tiri itu kemudian menutupnya dengan keras sehingga kepala anak itu terpenggal.

Untuk menyembunyikan perbuatannya, ibu tiri itu menyatukan kepala anak itu ke badannya dan menyembunyikan lukanya dengan sapu tangan. Ia kemudian menyuruh anak perempuannya, Marlene untuk memanggil saudara tirinya yang sudah mati itu. Ibunya berpesan agar Marlene memukul telinganya apabila ia tak menjawab. Marlene pun memanggilnya dan ketika ia tak menjawab (karena sudah mati), Marlene lalu memukul anak itu hingga kepalanya terjatuh. Marlene histeris karena menyangka ia sudah membunuh saudaranya. Ibunya pun menghibur anak itu dan mengatakan pada anaknya bahwa untuk menyembunyikan perbuatannya, ibunya akan menaruh memotong-motong anak itu kecil-kecil dan memasaknya di dalam kompor.

Yang lebih mengerikan lagi, sang ibu tiri menghidangkan daging anak itu pada suaminya yang kemudian memakannya dengan lahap. Tragisnya, sang ayah justru mengatakan bahwa itu adalah makanan terenak yang pernah ia makan. Marlene yang ngeri melihat kejadian itu mengumpulkan sisa-sisa tulang saudaranya dan menguburnya di bawah pohon juniper (sejenis pohon cemara). Dari pohon itu muncul seekor burung yang menyanyi "Ibuku membunuhku, ayahku memakanku." Pada akhirnya, sang ibu tiri itu mendapat hukuman dan terbunuh oleh burung itu.


***

Powered by Telkomsel BlackBerry®

ADOLESCENTULA M.A.T.I (Part 2)

Genre : Fiksi Horor
Penulis : Momo Angelina

Bangsal itu sangat sepi, kuperkirakan adegan hitam putih ini terjadi di malam hari. Suasananya begitu hening. Namun tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara jeritan di dalam kamarku – yang kini sudah berwarna hitam putih juga.

Seorang gadis kecil berpiyama bergerak dengan gerakan aneh di tempat tidurnya, berkelojotan dengan mata membelalak lebar dan mulutnya mengeluarkan busa. Seorang suster berusaha mati-matian menahan tubuh gadis itu agar tidak terlempar dari tempat tidur.

Sebagian tubuh gadis itu kuperhatikan lebih hitam dari bagian tubuh lainnya. Dokter yang menanganinya tampak panik.
"Sepertinya *carbamazepine-nya. *SJS, bagaimana ini Dok?"tanya suster dengan nada yang tak kalah panik.

Gadis kecil itu tak berhenti kejang-kejang, dan walau mukanya membengkak dan menghitam, aku tahu persis bahwa itu gadis yang pernah melihatku dari bawah pohon. Bola kuning yang selalu ia mainkan pun ada di kamar itu.
"Ambilkan *hidrokortison!"seru dokter itu cepat.

Suster itu berlari keluar melewatiku. Aku meringis ngeri melihat keadaan gadis mungil itu. Kejangnya perlahan reda, hanya kepala-nya yang sesekali tersentak kuat. Tapi tak lama kemudian lengannya yang sedari tapi mengepal kuat, kini terkulai lemah di pinggir tempat tidur.

Suster itu kembali dengan cepat sambil membawa nampan, namun ia berhenti ketika ia melihat dokter menutup wajah gadis kecil itu dengan selimut.

Semacam sengatan listrik terjadi lagi, dan pemandangan yang kulihat kembali berubah. Kasur tempat gadis kecil tadi tertidur kini sudah kosong dan bersih. Namun aku melihat sosok si dokter bersama seorang pria (yang tidak nampak seperti orang medis) sedang mendorong sebuah *blangkar keluar rumah sakit.

Dengan kepala pening seperti dibelah dua, aku berusaha mengejar kedua orang itu. Aku berjalan sempoyongan, berusaha mengatur napasku sambil terus meremas kerah piyamaku. Aku akhirnya bersandar di dinding rumah sakit, kehabisan tenaga dan napas. Mimpi tidak seharusnya senyata dan sesakit ini kan?

Lalu kurasakan sentuhan lembut di telapak tanganku. Gadis kecil pemilik bola kuning itu menempelkan pipinya ke punggung tanganku. Ia kemudian menengadah, melihatku dengan pandangan memelas.

Aku tahu. Aku tahu.

Kupaksakan dan kuseret kedua kakiku ke halaman rumah sakit. Pandanganku mulai mengabur, namun aku masih bisa melihat kedua orang itu menggali sesuatu di bawah pohon. Kuangkat tanganku seolah ingin meraih mereka, dan...

DEG!

Sebuah sentakan keras bertalu di dadaku. Aku hanya sempat mengambil sehela napas dan aku pun ambruk ke tanah.
***

Tetes-tetes dingin embun membasahi pipiku.

Kubuka mataku perlahan, dan segera kututup kembali karena mataku kelilipan ujung rumput yang basah.

Bau embun dan rumput segera memenuhi rongga hidungku. Sinar matahari memang belum sepenuhnya muncul, tapi suara burung yang berkicau sudah mulai terdengar. Hari sudah pagi, aku tersadar.

Dengan tenaga sepenuhnya pulih (yang aku juga bingung kok bisa. Aku begitu habis-habisan tadi malam dan seharusnya aku bahkan tak punya tenaga untuk mengunyah sekarang) dan bertopang dengan kedua tangan, aku berusaha untuk bangkit.

Lalu kurasakan kakiku tersangkut sesuatu, dan aku berbalik untuk melepaskan apapun yang tersangkut di kakiku.

Dan aku melihat jemari putih kurus yang sudah menjadi tulang belulang keluar dari dalam tanah, menggengam pergelangan kakiku dengan erat.

Tanpa sadar aku tersenyum dan mengelusnya.
"Ternyata kau di situ ya. Jangan khawatir, aku sudah menemukanmu. Istirahatlah dengan tenang."
***

Polisi segera mengamankan mayat Emi – nama gadis itu – dan memasang garis pengaman di sekitar pohon taman belakang. Aku lega bahwa dokter yang menangani Emi dulu sudah ditangkap dan kini sedang diperiksa. Ia mungkin akan dijadikan terdakwa dengan tuduhan malpraktek. Entahlah, aku tidak begitu mengerti hukum. Pokoknya selama dokter itu harus membayar apa yang ia lakukan, aku cukup puas.

Kini aku kembali berbaring dengan nyaman di tempat tidurku dengan perasaan lebih enak. Kejadian beberapa hari yang lalu serasa berlangsung berminggu-minggu dan menguras habis tenaga dan pikiranku.

Kabar bagusnya, dokter menyatakan bahwa kondisiku sudah lebih baik dan bisa meninggalkan rumah sakit dalam beberapa hari lagi. Ibu juga sudah mengambil cuti dan akan menghabiskan liburan denganku. Keadaan tak bisa lebih bagus lagi.

Aku mendengar suara pintu diketuk dan seorang suster bertumbuh agak gempal masuk ke dalam.
"Siang Yuki. Saya Suster Ana, yang dulu pernah menangani Emi."

Ah, aku akhirnya mengingatnya sebagai suster yang kulihat di memori hitam putih Emi. Tapi aku tidak akan menceritakannya pada suster ini bahwa aku pernah melihatnya, bisa-bisa aku ditahan lagi di rumah sakit untuk kasus yang berbeda.
"Siang. Ada apa ya?"tanyaku tanpa basa basi.

Suster Ana tersenyum dan menyeret kursi untuk duduk di sampingku.
"Saya cuma mau mengucapkan terima kasih karena sudah menemukan Emi. Anak itu baik sekali. Waktu dia meninggal saya sedih. Dokter Henry bilang kalau mayatnya sudah dikembalikan dan dimakamkan oleh panti asuhannya, dan saya disuruh tutup mulut tentang kesalahan pengobatan yang dia perbuat. Kalau saya berani macam-macam, saya diancam akan diberhentikan dari sini, padahal saya sedang butuh uang waktu itu. Tapi saya mengaku salah juga. Saya terima kalau harus dihukum"

Aku mulai tertarik pada cerita Suster Ana. "Suster, Emi dari panti asuhan?"

Suster Ana mengangguk antusias. "Emi itu anak yatim piatu yang dirawat di sini karena epilepsinya sudah parah. Anaknya baik sekali, dia suka bermain dengan pasien sini."

Aku mengangguk.
"Syukurlah" lanjut Suster Ana "kalau sudah ketemu begini, Ema juga mungkin akan tenang ya."

Dahiku mengernyit. "Ema, Sus?"
"Ema itu kakak kembar Emi. Dia meninggal duluan karena penyakit yang sama namun terlambat ditangani. Dia juga anak baik, dia suka menyanyi Twinkle Twinkle Little Star, membuat kami tertawa karena dia begitu manis. Rasanya aku punya foto mereka berdua. Mana ya?"

Aku tak mendengar perkataan Suster Ana. Ataupun tertarik untuk melihat foto si kembar.

Yang kurasakan hanya punggungku mendingin. Dan kurasakan rambutku ditarik lagi dari belakang.

Samar, kudengar suara berbisik yang sudah kukenal di telingaku, menyanyikan lagu yang kini sudah bisa kutebak judulnya.
Twinkle twinkle little star...
How I wonder what you are...

Aku tak berani menengok ke belakang.
***
__________________________________________________________________________
Keterangan:

*Carbamazepine: Salah satu jenis obat untuk menangani epilepsi
*SJS (Sindrom Stevens-Johnson): Kelainan serius pada kulit dan selaput lendir akibat reaksi dari obat atau adanya infeksi. Tanda dan gejala dari SJS biasanya meliputi pembengkakan di muka, lidah membengkak, sakit pada kulit, ruam kulit berwarna merah atau ungu yang menyebar dalam hitungan jam atau hari, melepuh pada kulit dan selaput lendir terutama di mulut, hidung dan mata serta kulit yang mengelupas. Bisa menyebabkan kematian jika terlambat ditangani
*Hidrokortison: Salah satu jenis obat untuk anti alergi. Digunakan untuk kasus alergi akut.
*Blangkar: Tempat tidur dorong di rumah sakit (biasa kan momo suka bgt baca ilmu kedokteran :D)

The End


***
Powered by Telkomsel BlackBerry®

ADOLESCENTULA M.A.T.I (Part 1)

Genre : Fiksi Horor
Penulis : Momo Angelina

Aku menatap tulisan di jendela yang kutulis dari uap panas mulutku. Titik-titik hujan di luar yang menetes ke jendela seolah memberi latar yang suram untuk tulisan itu. Menambah suram suasana hatiku.

Aku menatap ruang putih yang mengurungku selama seminggu terakhir ini. Dinding-dindingnya pucat, hanya berhias jam besar dari besi yang mengeluarkan satu-satunya bunyi di ruangan ini dan TV yang jarang kunyalakan. Beberapa sofa di simpan di dekat pintu masuk, yang berukuran sedang cukup besar untuk seorang dewasa tidur.

Aku menoleh, dan menatap tirai berwarna hijau muda yang mengelilingiku, kadang ditutup kalau sudah malam dan dibuka pada pagi hari. Tak terlalu berpengaruh menurutku, karena toh tak ada yang ingin kulihat, atau kudengar. Di hadapanku berdiri tegak sebuah pintu menuju kamar mandi. Untuk alasan yang aku sendiri tak mengerti, aku tak menyukai keberadaan pintu itu. Apalagi letaknya tepat di depan tempat tidurku. Kurasa kau mengerti maksudku.

Intinya tempat ini hanyalah sebuah ruang kosong yang bersih, terlalu bersih sampai nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Kecuali aku, kalau aku masih hidup beberapa hari lagi.

Suara pintu diketuk membuyarkan lamunanku. Dengan cepat kuhapus tulisan suram di jendela tadi, dan dengan enggan menatap wanita berbaju putih yang kini memasuki kamarku sambil tersenyum.
"Selamat pagi Yuki. Bagaimana keadaanmu hari ini?"tanyanya sambil meletakkan baki abu-abu kecil yang sedari tadi ia bawa

Aku memaksakan diriku untuk tersenyum, "Baik" jawabku singkat.

Sebenarnya aku tidak baik-baik saja. Napasku agak sesak ketika bangun tadi, dan kepalaku pening sekali. Tapi aku tahu, kalau aku mengakui itu, mungkin hari ini akan aku habiskan dengan selang-selang dan sekian tes lagi.

Pandanganku beralih ke piring putih mini yang berisi pil dan tablet berwarna- warni di atas baki abu-abu tadi. "Masih belum berkurang ya?"tanyaku sambil mengernyit.

Suster itu tersenyum pahit. "Kan biar cepat sembuh".

Setelah sarapan pagi yang luar biasa hambar tadi, rasanya sepasukan obat-obatan ini bisa kuanggap sebagai pencuci mulut. Setidaknya obat yang berwarna merah itu rasanya mirip-mirip stroberi. Atau aku ingin menganggapnya begitu.

Aku adalah seorang pengidap jantung koroner. Sejak kecil aku memang sudah terbiasa bolak balik rumah sakit untuk perawatan, dan sampai sekarang aku belum menemukan donor yang tepat. Jadi beginilah nasibku, istirahat di rumah kalau aku berbohong tentang sesak yang semakin sering aku rasakan, dan kembali masuk rumah sakit kalau aku bahkan sudah tak sanggup lagi berbicara.

Setelah memastikan aku menegak semua obat yang diberikan, suster itu membuka tirai hijauku lalu membuka jendela. Katanya cuaca sedang bagus, dan aku perlu menghirup udara segar. Sebenarnya aku lebih suka menghirup udara rumah sakit yang bau alkohol. Tapi setelah udara berbau pinus dan air hujan itu menghambur masuk kamarku, kurasa aku akan membiarkannya sebentar lagi.

Tak lama kemudian suster itu memeriksa temperaturku, dan akhirnya keluar dari kamar setelah untuk keseribu kalinya mengingatkanku untuk menekan tombol darurat kalau aku merasa ada yang salah. Iya, ada yang salah dengan TV-nya. Tidak ada saluran TV kabel. Dan koki rumah sakit ini jelas bermasalah dengan indra pengecapnya. Apa mereka mau membereskan itu?

Aku menegakkan sandaran dudukku dan mengambil novel fantasi yang kemarin diberikan oleh temanku yang sudah keluar dari rumah sakit. Dengan bosan kuperhatikan sampul plastiknya yang masih mengkilap dan judulnya yang dicetak besar dengan huruf menonjol: Eventyr.

Aku menarik napas dan mulai membuka halaman pertama ketika sesuatu menggelinding masuk ke dalam kamarku, bergulir ke dekat tempat tidur.

Benda itu adalah sebuah bola pastik berukuran sedang berwarna kuning cerah dan bergambar matahari yang tersenyum.

Aku melihat ke arah pintu kamarku yang ternyata terbuka sedikit, menunggu seseorang untuk masuk dan mengambil bola itu.

Benar saja. Ujung sepatu berwarna putih muncul di sudut pintu yang tertutup tak lama kemudian. Dilihat dari modelnya, itu sepatu milik anak perempuan.

Sepertinya anak ini anak yang pemalu. Aku menunduk sedikit untuk mengambil bola itu dan memanggilnya.
"Ini bolamu kan?" panggilku. Tak ada jawaban. "Ambillah, nanti kau tak punya mainan lagi".

Sepatu itu masih tetap berada di tempatnya, di sudut bawah pintu yang tertutup. Aku memutar bola mataku. Sungguh aku sedang malas beramah tamah dan meladeni siapapun untuk bermain apapun.

Dengan tidak sabar ku lempar bola itu ke luar ruangan, dan seketika itu pula sepatu itu menghilang.

Aku mendengus kesal dan kembali membaca novelku. Lain kali akan kuminta susternya untuk menutup pintu rapat-rapat.
***

Aku membuka mataku perlahan dan berusaha melihat jarum jam di hadapanku yang kini masih berbayang. Aku menyipitkan mataku agar bisa lebih fokus, dan akhirnya berhasil melihat waktu saat ini: jam 11 lewat 15 menit. Aku membuka tirai jendelaku dan melihat langit yang sudah gelap. Aku baru tersadar kalau aku sudah tertidur selama 7 jam. Nanti malam mungkin aku akan terjaga sampai lewat tengah malam.

Aku menguap lebar dan tiba-tiba merasa lapar. Kuambil biskuit yang tadi sore dibawakan Ibu. Ia begitu terburu-buru sehingga hanya sempat setengah jam menjengukku dan membawakan beberapa kantong makanan. Aku sih sudah terbiasa, tapi mau tak mau aku merasa kasihan juga padanya. Sejak bercerai dengan Ayah, ia harus berjuang habis-habisan untuk menghidupi keluarga. Aku tahu persis itu, karenanya aku tak pernah protes kalau waktu beliau untukku harus dibatasi porsinya.

Remah-remah biskuit bertaburan di bajuku. Kutepuk-tepuk pelan agar remah-remah itu jatuh dengan sendirinya, ketika lagi-lagi sesuatu menggelinding ke dekat tempat tidurku.

Bola kuning cerah yang sama dengan yang tadi siang kulihat.

Jengkel, kulihat ke arah pintu, dan kudapati pintu itu tertutup dengan rapat. Dahiku mengerut. Darimana datangnya bola itu kalau begitu?

Dengan mengerahkan sisa energi yang bisa kukumpulkan, aku berusaha memanjangkan lenganku untuk mengambil bola kuning cerah yang kini berhenti menggelinding tepat di sebelah kananku.

Tanganku akhirnya berhasil menggapai bola itu (walau dengan sedikit gemetar). Rasanya dingin dan lentur, tekstur khas bola plastik.

Tiba-tiba aku melihat sekelebat bayangan, dan sesosok tangan mungil putih pucat keluar dari bawah tempat tidur dan mengenggam pergelangan tanganku.

Aku menjerit keras dan menarik tanganku secepatnya.

Lalu kembali membuka mataku.
Mimpi.
Mimpi?
Mimpimimpimimpi.

Mataku masih terbelalak lebar, dan aku buru-buru melihat tanganku. Tak ada bekas apapun disana. Kuedarkan pandanganku ke sekelilingku, dan aku tak menemukan bola itu di manapun.

Aku tak boleh panik. Aku tak boleh panik. Aku tak boleh panik. Itu tadi hanya mimpi. Bunga tidur.

Aku mencoba menarik napas pelan-pelan. Bisa gawat kalau tiba-tiba aku mendapat serangan saat ini. Kuminum air putih yang disimpan di meja sampingku dengan sedikit terburu-buru. Setelah itu kupejamkan mataku, berusaha keras untuk tidur tanpa berani melirik bagiah bawah tempat tidurku.
***

Aku meminta suster jaga untuk selalu menutup kamarku setiap ada yang keluar ataupun masuk, keesokan harinya. Entah bagaimana, aku merasa kalau penyebab mimpi burukku kemarin adalah anak iseng yang melemparkan bola plastiknya. Padahal aku tak punya phobia apapun yang berhubungan dengan bola, plastik ataupun warna kuning.

Menurut dokter yang memeriksaku hari ini, dalam beberapa hari seharusnya aku sudah boleh pulang. Asalkan aku terus meminum obatku, terangnya. Yang betul saja. Kalau aku harus meminum obat-obat itu seminggu lagi, aku curiga dokter itu pembunuh bayaran yang disewa seseorang yang membenciku. Jumlah obat-obat itu tidak manusiawi!

Kusenderkan bahuku seperti biasa, dan kulihat pemandangan di luar. Aku beruntung mendapatkan kamar dengan pemandangan taman belakang rumah sakit. Setidaknya, aku bisa melihat kegiatan menyenangkan yang dilakukan orang-orang dengan keluarga atau teman-teman mereka. Kalau kamarku yang dulu, aku mendapat pemandangan bagian depan rumah sakit, dimana aku bisa melihat orang-orang putus asa yang harus menghadapi vonis penyakit mereka, atau karena harus membayar biasa operasi yang mahal.

Mungkin itu sebabnya aku harus dirawat sampai 2 bulan lamanya.

Selagi memperhatikan orang yang sedang latihan berjalan, perhatianku tiba-tiba teralihkan oleh seorang gadis kecil manis yang memandangku dari bawah pohon rindang tepat di sebelah kamarku. Matanya menatapku sedih. Tangannya disimpan ke belakang punggung dan ia menggigit bibirnya, seolah tak berani mengatakan sesuatu padaku.

Lalu aku memperhatikan sepatu yang ia pakai. Persis dengan sepatu yang kemarin kulihat di depan pintu kamarku; berwana putih dengan ujung bulat. Dan itu dia, aku bisa melihat dia menggenggam bola kuning yang menciptakan mimpi buruk bagiku itu.

Dialah pemilik si bola kuning.

Tanpa sadar tubuhku condong ke depan, dan aku merasa beberapa helai rambutku tertarik ke belakang, entah tersangkut apa.

Sayup-sayup aku mendengar suara nyanyian yang sangat pelan, nyaris seperti berbisik. Agak samar dan tak jelas, seperti jenis suara yang kau dengar dari kaset lama yang diputar di radio kuno. Tapi aku mengenal nada ini. Aku sering mendengarnya.
...star.
How I...
what...are

Bulu kudukku mendadak berdiri. Rambutku tertarik lagi, tapi kali ini aku dalam posisi diam, dan rambutku ditarik oleh sesuatu di belakangku. Sesuatu di dinding yang kusenderi.
Above
...high..
.diamond...

Suara nyanyian itu kini terdengar jelas berbisik di telingaku. Kurasakan hawa dingin mengaliri punggungku.
"Yuki, kau sudah bangun?"

Suara Ibuku yang baru masuk ke kamarku membuatku tersentak kaget. Aku segera membalik dan tak melihat apapun di dinding. Dinding itu putih pucat seperti biasa, dengan bekas jamur samar.

Dengan cepat aku mencari gadis kecil pemilik bola tadi. Ia sudah tak berada di bawah pohon. Juga tak ada di bangku taman. Ia tak ada dimana-mana. Ia sudah menghilang.

Aku ingin pindah kamar sekarang juga.
***

Dan ternyata aku tak bisa pindah kamar. Ada bencana alam terjadi di dekat sini, dan rumah sakit sedang penuh sekali. Beberapa dari mereka bahkan dengan terpaksa harus dirawat di bangsal untuk sementara.

Aku bisa saja bersikeras untuk pindah dan memaksa salah satu pasien yang tidak punya penyakit jantung untuk bertukar kamar denganku. Tapi apa yang harus kukatakan sebagai alasannya? Ada hantu gadis kecil dengan bola plastik kuning yang suka menggangguku?

Beruntung, malam ini Ibu akan menginap untuk menjagaku. Sebenarnya aku malu untuk mengakui ini, karena aku tak mau disangka penakut. Tapi aku lega karena setidaknya ada orang lain bersamaku malam ini.

Jarum jam menunjukkan pukul 10 malam. Ibu dengan kacamata bertengger di wajahnya, menatap layar laptop-nya dengan mimik serius. Sepuluh jarinya berkletak-kletik tanpa henti seolah ingin menghancurkan keyboard malang itu dalam hitungan menit.

Rupanya Ibu sadar kalau aku memperhatikannya. Ia mendongakkan wajahnya, dan tersenyum lelah.
"Belum tidur?" tanyanya dengan suara merdu yang kurindukan.
"Belum ngantuk" jawabku.
"Mau Ibu belikan apa? Makanan? Buku lagi?"
"Gak usah, Bu. Ibu lanjutin aja kerjaan Ibu. Aku cuma mau ngeliat Ibu."

Ibu tersenyum kembali, kali ini ada rasa bersalah di raut wajahnya. Untungnya dia cukup mengenalku, tahu persis bahwa aku akan marah kalau ia minta maaf dan mengelus-elus kepalaku seperti anak kecil. Jemarinya kembali mengahajar tuts keyboard tanpa ampun dan pandangannya fokus ke layar.

Penyakitku ini turunan dari keluarga Ibu, bukan karena aku suka merokok atau karena aku kebanyakan makan makanan siap saji. Makanya ia suka merasa bersalah, karena anak laki-laki normal seumurku seharusnya belum pulang ke rumah jam segini, sedang bermain di game centre dengan teman-temannya, atau sedang kencan dengan gadis yang diincarnya di klub pemandu sorak.

Tapi tidak, aku harus terbaring di rumah sakit karena ada yang menyumbat pembuluh darah koronerku.

Seharusnya anak lelaki seumurku bahkan tidak tahu apa itu koroner.

Pelan-pelan, mataku terasa berat. Memperhatikan ibu bekerja memang bukan kegiatan yang paling menyenangkan di seluruh dunia. Maka tak heran kalau tak lama kemudian aku menyerah pada kantuk dan aku pun larut dalam tidur.
***

TIK TAK TIK TAK

Aku selalu menganggap bunyi jam itu sangat berisik, terutama kalau tak ada bunyi lain di sekelilingmu.

Dengan pandangan kabur, aku membuka mataku. Jam menunjukkan pukul 2 pagi. Aku mengerjapkan mataku, berusaha membuatnya fokus.

Pintu kamar mandi terbuka, dan seseorang keluar dari dalamnya. Seseorang berupa sesosok bayangan hitam kabur yang berjalan mendekatiku.
"Ibu?" tanyaku dengan suara parau.

Alih alih menjawab, sosok itu berhenti tepat di depanku dan mendesis pelan berusaha menenangkan.

"Ssst"

Ibu aneh. Kalau memang ingin menenangkanku kan tak perlu mendesis seperti pencuri begitu. Tinggal jawab pertanyaanku saja apa susahnya.

Aku tak habis pikir, dan mencoba kembali tidur ketika kurasakan beban seseorang menaiki tempat tidurku, dan menimpaku. Ibu mau ngapain sih? Membetulkan lampu?
"Ibu? Ibu ngap..."

Kata-kataku terhenti ketika kudengar dengkuran halus di sebelahku. Dengan ngeri kutatap Ibu yang tertidur di sofa dekat pintu masuk, masih dengan kacamata menempel di wajahnya.

Jantungku berdetak keras, sampai sakit rasanya. Orang – atau mungkin sekarang lebih tepat kusebut sebagai sesuatu – itu masih menimpaku, aku bisa merasakan bebannya dia kakiku.

Kemudian, suara samar tadi kembali terdengar. Suara bisikan yang terdengar dari kaset tua itu menyenandungkan lagu yang sama dengan tadi siang.
Little...wonder...
are...

Kurasakan beban itu merangkak, bergerak di atas tubuhku, mendekat ke wajahku. Suara nyanyian itu terdengar semakin dekat.
"AAAAHHH!"

Dengan panik kusibakkan selimut itu dan kuhempaskan ke lantai. Sambil terengah-engah, kuberanikan diri untuk melihat entah apa yang menimpaku tadi.

Selimut yang kulempar teronggok begitu saja di lantai. Tak ada tanda-tanda sesuatu yang bergerak di dalamnya, entah itu cicak atau sesuatu yang lebih besar.

Kurasakan sesak mulai menyerang dadaku. Setengah megap-megap, aku mengambil pil kecil putih yang selalu kuminum kalau tiba-tiba jantungku kumat. Kusandarkan diriku ke dinding sambil menutup mata. Kuambil napas pelan-pelan sambil mencoba mengaturnya.

Ada yang salah di sini. Tak mungkin gadis kecil itu terus menggangguku kalau tidak ada maksudnya. Entah karena aku mengusiknya (walau pada kenyataannya aku nyaris tak pernah meninggalkan tempat tidurku), atau karena...

Lamunanku buyar ketika aku mendengar suara pintu yang terbuka perlahan. Mengerahkan semua keberanian yang kupunya sambil tetap mengatur napas, kubuka kedua mataku perlahan.

Pintu kamarku terbuka pelan. Dan sebuah bola plastik kuning memantul masuk.

Keringat dingin menetes dari dahiku. Setiap lambungan bola rasanya setara dengan satu detak jantungku. Akhirnya bola itu berhenti memantul dan berhenti di dekat kolong tempat tidurku. Aku menelan ludah, menunggu pemilik bola itu muncul.

Dan itu dia, kaki bersepatu putih itu kembali muncul di sudut pintu. Namun kali ini, jemari mungil pucat ikut menemaninya, memegang daun pintu seolah pemiliknya akan mengintip ke dalam.

Tanpa pikir panjang aku bergegas menuju pintu untuk melihat gadis kecil misterius itu dan yang kudapatkan di ambang pintu adalah rasa sakit yang luar biasa di kepalaku. Rasanya ada yang menusuk-nusuk mata dan tengkukku dengan jarum-jarum besar.

Aku meremas kerah piyamaku dengan keras, seolah-olah dengan cara itu rasa sakit kepala keparat ini bisa lenyap. Aku nyaris muntah, ketika aku berhasil membuka mata dan melihat pemandangan yang aku yakin bukan pemandangan yang seharusnya aku lihat.

Bagaikan menonton film dengan layar raksasa, bangsal rumah sakit yang biasanya bernuansa hijau, kini berwarna hitam putih. Kadang bangsal itu berkerak dan berkeretak, persis seperti ketika menonton film tahun 1920'an.

Bangsal itu sangat sepi, kuperkirakan adegan hitam putih ini terjadi di malam hari. Suasananya begitu hening.


***
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 21 Mei 2014

~Si Butut Berulah~

Oleh : Dee Opah

*****
BRUUM... BRUM... BRUM...

Udin sibuk manasin mesin motornya. Rencananya ntar malam ntu motor mau di pake nonton dangdutan di kampung sebelah. Dia bersama ketiga rekannya, Parman, Jono dan Kribo dapet undangan dari Tohir. Semangatlah mereka, apalagi denger2 artis dangdutnya pada kece2 abis. Si butut, motor kesayangan Udin yang akan mengantar mereka ke acara itu. Cukuplah untuk boncengan bertiga. Udin, Parman dan Jono.

Lah trus Kribo?

Udin udah nyiapin kardus buat maketin si Kribo ke kampung sebelah. Ahihihiii...

Malam yang di nanti pun menjelang. Semua sudah bersiap dengan penampilan kerennya masing2. Udin make kemeja motif kembang2 di padukan dengan celana cut bray warna pink. Parman mengenakan kaos berkrah warna biru, dengan celana jeans monyet jadul tapi belel. Tak ketinggalan Jono. Dia memadukan atasan merah jambu dengan bawahan warna ungu. Sama sekali nggak kece... ahihihi...

"bang... kog make setelan merah ama ungu? Kaga maching banget " protes Parman setengah manyun.

"iya nih abang, norak. Liat kita berdua! Kerenkan? " Udin berputar gemulai, mirip penari balet kelilit karet. Nah!

Sementara yang di protes langsung mendelik kurang senang.

"lah trus? Gue mesti make warna apa untuk celananya? "

"ijo lumut"

Gubrak...

Jelas sama noraknya kan?! Ahihihi...

*****
"Cepetan naik!"

Udin bersiap dengan si butut yang menderu deru. Jono dan Parman segera melompat keatas motor.

Huupp...

"Din... perasaan ada yang gk beres ama roda si butut?" Jono celingukan ke bawah merhatiin roda belakang si butut.

"Ahh.. perasaan abang aja kali"

"Beneran man. Sewaktu gue lompat tadi, roda belakang si butut Kayaknya rada goyang"

"Itu tandanya kita musti cepet2 ke acara dangdutan bang" timpal Parman.

Jono melongo...

"Kagak nyambung man"

"Nyambung bang... buktinya roda si butut goyang duluan, padahal belon ada musiknya"

Plaaaakkk... tun mbokmu...

*****
Brruuuummmm... ngeeennnggg... Si butut pamer suara. Parman cs bersorak sorak senang sembari nyanyiin lagu dangdut sepanjang perjalanan.

Namanya juga pecinta dangdut dadakan. Fals banget mereka nyanyinya. Ancur kaga keru keruan.

Seperti biasanya, si butut melaju dengan kalemnya. Cuman suaranya doang yang kenceng meraung-raung. Membelah jalanan yang saat itu nampak sepi. Hanya beberapa hewan malam yang terlihat malu malu kucing menampakkan batang ekornya. Sengaja Udin memilih jalan pintas agar cepat sampai ke kampung sebelah. Udin lupa bahwa jalan yang mereka lalui terkenal angker.

Ketika motor mereka melewati depan sebuah makam yang panjangnya hampir separuh perjalanan ke kampung sebelah, nyanyian Parman dan Jono tiba tiba terhenti. Meninggalkan suara Udin yang sember melolong sendirian. Jelas aja lagu yang semula bener antara nada dan syairnya tiba tiba berubah haluan jadi irama keroncong tempo dulu. Miris banget.

Lalu kenapa Parman dan Jono brenti nyanyi? Bukan karena kaga bisa lagunya, tapi semata karena kedua Preman itu ngelihat cewe cantik berjalan gemulai sendirian di tepi jalan.

"Ada cewe bang" Parman nowel bahu Jono yang saat itu memang duduk di tengah jok si butut.

"Lu liat juga man?"

"Ho'oh" Parman mengangguk.

"Jangan jangan hantu kemalaman" Jono keder sendiri.

"Dimana mana hantu kemalaman bang... kalo hantu kesiangan ntu yang aneh"

Parman ngerutin kening, baru nyadar kalo tempat yang mereka lewatin memang angker.

"Lu ingat bang? Di tempat ini kan pernah ada tukang sate yang terbirit birit gegara satenya di borong kuntilanak" Parman menyentuh tengkuknya. Bulu kuduknya berdiri jamaah.

"Masa' sih Man?"

"Si tukang sate nyangka tuh cewe manusia biasa bang, kaga taunya Kunti. Besoknya tukang sate balik lewat jalan ini lagi, berharap kejadian semalam kaga terulang lagi"

"Lah trus? Kaga terulang kan?" Jono penasaran.

"Siapa bilang? Tukang sate sampai kejungkel jungkel masuk selokan"

Parman berhenti bicara beberapa saat, lalu kembali melanjutkan ceritanya setelah menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat kuat...

"Hingga hari ini, tukang sate kapok kaga jualan lagi, bang"

"Berarti dia udah kaga di takut-takutin lagi?" Jono makin penasaran. Bagi Jono, cerita Parman amat menarik. Ternyata bukan hanya Trio Preman aja yang identik dengan pocong saropah, tapi sekelas tukang sate juga pernah ngeliat hantu gentayangan. Ahihihi...

"Kaga ditakutin bijimane bang?"

"Yach... pan kaga jualan lagi"

Parman melengos...

"Besoknya nih bang, Hape tukang sate berdering... begitu diangkat, terdengar suara dari sebrang... suara cewe bang"

"Trus trus... tuh suara bilang apa'an?" body Jono mulai mengerut, tapi dia masih penasaran dengan cerita Parman.

"Tuh suara nanya begini bang..."

"Baaanngg, kog kaga jualan sate lagi? Gue laper baaannngg... ahihihihiiii"

"Gyyyyaaaahhhhh..."

Belum selesai Parman nerusin ceritanya, suara cewe tau tau ikut nimbrung. Kontan saja membuat Udin tereak kenceng.

Kenapa bisa Udin?

Karena tuh cewe tiba tiba nongkrong diatas stang motor si butut, sementara Udin yang kebagian ngejoki.

Kemunculan kuntilanak tersebut membuat Udin lepas kendali. Setir motornya oleng. Di iringi jeritan histerisnya.

"Seettt... seeeettt.... setttt..."

Udin tiba tiba gagap.

Laju si butut tak terkendali. Meliuk liuk nyruduk sana, nyruduk sini. Si butut membabi buta nabrakin apa saja yang ada di depannya. Tiang listrik, po'on pete, pembatas jalan dan lain lain. Cuman jamban umum aja yang lolos dari serudukan si butut, karena tuh motor ogah nyium bau eek. Ahihihi...

Sementara si Kunti tak henti hentinya mengikik. Makin paniklah mereka.

"Kiri kiri diiiinnn... kirrriiiii..."

Parman heboh ngasih aba aba Udin yang sudah seperti kesetanan. padahal logikanya tuh setan masih asyik nangkring di atas stang, bukan masuk ke badan Udin... ahihihiii...

"Kanaaannn diiiinnn... kanan guobloookkk... " Jono tak kalah hebohnya.

Udin yang kebingungan karena aba aba yang berbeda dari Parman dan Jono makin kaga keru keruan nyetirnya. Si karung beras nyadar kalo usul keduanya memang ada benarnya. Dia musti belokin stang kekanan dan kekiri. Karena kalo lurus, udah di pastiin dia bakalan pelotot pelototan ama ntu Kunti. Dan Udin kaga mau ambil resiko itu. Ngeri... hiiii...

"Kencengin diiinn... Kencengin si butuuuuttt" Jono masih saja heboh.

"Apa Baaanngg?? Di kencingiin??"

Bletaaakk...

Jitakan Jono nyasar ke jidat Parman yang nyembul dari balik bahunya. Mustinya ntu jitakan mampir ke pitak Udin. Tapi entahlah kenapa kali ini si bos preman bisa salah target. Ahihihiii...

Rupanya deru angin yang berhembus kencang, membuat pendengaran Udin rada kurang jelas.

Saat itu juga Udin kencing tanpa menghentikan laju motornya. Jelas saja si Kunti yang masih nangkring di stang si butut ikut juga merasakan rembesan pipis Udin. Kunti langsung teriak teriak protes sembari ngibas ngibasin daster putih kumelnya...

"Udiiiinnn peeeaaakkk... daster gue, elu pipisiiiiinnn..."

Kepanikan bertambah. Si butut jalannya makin oleng. Teriakan ketakutan 3 Preman cs berbaur dengan jeritan protes si Kunti.

"Seeett... seeettt... seeettt..."

"Kiiirrriiii... kirriiii"

"Kanaaaannn diiiinnnn..."

"Daster guuuueeeeee peaaaakkk..."

Suara mereka udah bener bener berisik. Heboh banget. Jeritan malam itu semakin kenceng tatkala roda belakang si butut tiba tiba menggelinding lepas mendahului laju si butut.

Weeerrrr... glundung... glunduunnggg... jegluk... jeglukkk...

"Iittt... iiittuuu rodaaaa... " telunjuk Parman mengarah ke roda yang piknik sendirian.

"Atatatatatataaaaa... rodanyaaaa..."

Semua mata memandang kearah roda yang melaju lurus, tak terkecuali mata si Kunti. Bola matanya melotot saat tau roda si butut yang lepas dan menggelinding tak lagi mau menengok ke belakang. Kepanikan Kunti makin menjadi jadi...

"Turuniiiinn guuuee peeaaakkk..."

Nah!!

Parman bengong
Jono bengong
Udin nyerong....

Ohong hong hongg...

"Pliss deh turunin gue" Kunti menghiba.

Terlambat, si butut terlanjur galak. Mati matian Udin ngerem, tapi gagal.

Jegluk... jegluk... gedebluk...

Kiri jamban
Kanan kuburan

Pilihan di jatuhkan. Si butut diarahkan lurus ke depan. Ternyata sia sia Sodara, karena sepertinya motor ntu berontak, ambil keputusan sendiri.

Bbrrruuuummmm... brruummm... bbrruuaakkk... gedebuuk... bbluuukk... tin... tin... tiiinnn...

Si butut nemplok jamban.
Udin mencelat nyium lantainya
Parman di atas Udin
Jono di atas Parman
Ketiganya numpuk tumpang tindih

"Mana si Kunti??..." Jono nanya bego.

"Diatap kaga ada" Parman nyaut.

"Di lubang pembuangan juga kaga keliatan..." Udin megap megap.

Hening sejenak...

"Gue di siniiii..." Kunti melambaikan sobekan dasternya tanda menyerah.

Naas baginya, karena musti kejepit di sela sela ketek Udin yang baunya mirip jamban. Sementara di kejauhan, sayup sayup terdengar suara meriah Music dangdut Bukak Sitik Jooss... ahihihihiiii...
Powered by Telkomsel BlackBerry®