-----
Namaku Haru, hanya Haru, tak ada tambahan Haru, dan tak ada Haru yang lain.
Aku bukan kebanggaan, bukan kesenangan, bukan kebahagiaan.
Hanya kesedihan, kegalauan, penderitaan saja.
Orang tuaku, Pak Senang, dan Bu Suka bahkan tak mau mengakui diriku.
"Apa yang bisa kami harapkan darimu? Bisanya hanya menangis saja!" bentak Pak Senang.
"Apa pula yang bisa kau berikan untuk kami? Air mata? Setetes? Sebotol? Segalon? Seberapa banyak pun tak berguna!" sentak Bu Suka.
Yah, seperti itulah kiranya jawaban yang selalu kudengar dari mereka saat aku bertanya tentang eksistensiku.
"Lihat kakakmu, Riang! Lihat adikmu, Gembira! Lihat dirimu, Haru! Cuih! Bahkan aku tak ingin melihatmu!" kompak mereka berdua mencercaku.
"Ini salah kalian memberiku nama Haru!" Tak terbendung air mataku mengalir.
"Berani kau membantah, Haru?! Pergi kau dari kami!" kakek Bahagia bahkan mengusirku.
Haruku semakin menjadi. Air mata yang semula rinai, berubah menganak sungai, tak berapa lama lagi mungkin menggeser posisi danau Toba.
Aku merana, melangkah menyusuri jalanan berpedang. Hitam dan biru tak berbeda. Hanya berjalan dan terus berjalan.
Mendekati persimpangan, aku menemukan sesuatu yang unik.
'Dia' bernama Aib. Aku katakan unik, karena bentuk tubuhnya yang fleksibel. Aib bisa sangat kecil lebih kecil dari butiran debu hingga tak terlihat. Atau sebaliknya, bisa membesar sangat besar melampau batas jarak pandang. Mungkin dia sejenis pahlawan super dalam dongeng Ramayana.
Hanya saja ada yang aneh darinya. Pakaiannya tidak pernah sesuai dengan keadaan. Terkadang dia mengenakan burdah dan gamis hingga menutupi seluruh tubuhnya; berjalan; bergaul dengan orang-orang yang telanjang; menebar pesona agar terlihat terpandang.
Terkadang dia bertelanjang dada; memamerkan bokongnya yang seksi; berkumpul diantara orang-orang berdasi tanpa rasa canggung sedikitpun.
Bahkan aku pernah melihatnya bugil tanpa busana; meliuk-liuk di atas panggung; diiringi riuh dua kubu besar dari Tawa dan Tangis; memadu padankan gaun Bibir antara senyuman dan cibiran.
Aib memang artis. Pasti dia bangga dengan dirinya yang fleksibel.
"Aku bukan kebanggaan atau sesuatu yang bisa dibanggakan. Seharusnya mereka menutupiku; mengunci mati aku dalam brankas besi berlapis tujuh, hingga tak ada seorang pun yang tau siapa aku," bantahnya saat aku menanyakan eksistensinya.
"Orang-orang disekitarku memang aneh. Mereka memandangku sebagai sesuatu yang wajib dilihat; memakaikan gaun-gaun yang indah lalu menelanjangiku. Hanya agar bibir mereka tidak datar saja. Lucu sekali bukan? Saat mereka begitu antusias padaku demi sekedar tertawa, mencibir, mencemooh, dan segala macam model fashion Bibir."
Haruku kembali menganak sungai, nyaris menggeser posisi Kapuas. Aku memeluknya erat merasakan hasrat merana penuh kerinduan. Rindu pada asal.
"Tapi aku bangga, karena berhasil mengalahkan saudaraku, Malu."
Cukup! Aku sangat mengerti tentang dirimu. Haruku kini bahkan melampaui Musi.
Sesaat kami melebur. Bersenggama layaknya Sahabat pada Ingkar; Suami pada Selingkuh; Remaja pada Perawan, dimana kamera lensa dunia siap merekam dan mengabarkan polah kami pada Angin.
Berkat Aib, aku sadar satu hal. Sekalipun aku bukan kebanggaan atau sesuatu yang bisa dibanggakan, aku bangga pada diriku sendiri.
Air mata, ya air matalah kebanggaanku.
Tiada sesiapapun di dunia ini yang tak merinai; meleleh; menganak; bahkan membanjir air matanya saat bertemu denganku.
Cukup Aib saja yang mampu meneguhkan langkahku untuk kembali pada keluargaku. Keluarga kakek Bahagia, yang meliputi Pak Senang, Bu Suka, kak Riang, adik Gembira, Paman Duka, Bibi Pilu, dan sepupu Tangis.
Aku bangga berdiri diantara mereka. Sekalipun eksistensiku diragukan, tapi aku ada.
NAD, 19 Agustus 2014
***
Powered by Telkomsel BlackBerry®
0 komentar:
Posting Komentar