Parade Horor Duet
The Last Name For Our Story
Oleh Alya Annisaa dan Ecco Prasetyo
-----
"Kalau kau yakin begitu...," kata Ibu.
"Aku yakin," Rhea bersikeras. "Aku tidak keberatan menghabiskan tahun terakhirku di SMA itu. Dan karena kita telah sepakat sebelumnya, berarti aku harus tetap bersekolah disana."
Rhea tidak menunggu jawaban dan ia segera menuju ke kamar tidurnya. Ia bermaksud mengambil perlengkapan mandi, tapi akhirnya duduk di kaki tempat tidurnya.
"Ini... menyebalkan," gumamnya.
***
Rhea ingin memburu kenyataan dibalik segala rumor, untuk memilah yang mana api dan mana yang sekadar asap. Ia tahu bagaimana cara mengali segala macam catatan dan perpustakaan sejarah kota sangat lengkap, jadi ia berharap tidak akan menemui banyak masalah.
Hal pertama yang didapatkannya adalah beberapa blueprint yang memperlihatkan perubahan yang dialami sekolahnya selama bertahun-tahun. Tak ada yang tampak berhubungan dengan kerangka dalam dinding, selain fakta yang ditemukan Rhea bahwa tak ada yang dilakukan pada dinding perpustakaan tempat ditemukannya jasad-jasad itu sejak 1980-an, saat pemolesan ulang dilakukan karena api yang membakar penutup dinding.
"Hei apa yang kau lakukan disini?"
"Hei Faraz, aku hanya mencari beberapa catatan mengenai sekolah kita," ucap Rhea seraya tersenyum.
"Kau tak tahu kalau sekolah kita dulunya adalah rumah pemakaman?"
"Bagaimana kau mengetahui itu?"
"Ah, kau tak pernah mendengarnya ya? Sungguh? Cerita tentang sekolah-sekolah menyeramkan yang selalu dikaitkan dengan rumah pemakaman?"
"Ha?"
"Orang-orang malang itu. Aku yakin mereka akan bergentayangan di dalam sekolah. Bisakah kaubayangkan bagaimana rasanya dibuang keluar dari dalam peti mati milikmu sendiri? Oh! Aku yakin aku akan sangat marah dan ingin menghantui sekolah itu jika mayatku dilempat keluar dari peti mati, ya kan?"
Rhea tertawa. "Faraz, jika seseorang melempar mayatku dari peti mati, aku tak akan peduli karena aku sudah mati. Teman-teman dan keluargakulah yang akan marah. Dan aku tidak percaya kalau kita akan tetap berkeliaran setelah mati."
"Apa kau ateis?" kata Faraz tampak terkejut.
"Tidak, aku percaya akan Tuhan dan kehidupan setelah kematian. Itu maksudku. Kita akan berada di surga... Atau entah dimanapun itu saat kita mati. Kita tak akan terikat lagi dengan tubuh kita. Jadi, jika memang aku dilempar keluar dari dalam peti mati, aku ragu bahwa aku akan tahu, dan jika memang aku tahu, aku rasa aku tak akan peduli. Maksudku, tubuh kita ini benda organik, akan segera membusuk. Jadi kurasa aku tak akan penasaran dan menghantui siapa pun itu, begitulah."
"Hmmm, jadi kau tidak percaya hantu, Rhe?" Faraz menghela nafas panjang.
"Kau tau, Rhe. Orang yang meninggal secara tragis atau tidak wajar, biasanya arwahnya tidak tenang dan ingin menuntut balas atas kematiannya."
"Apa kau mencoba menakutiku?"
"Terserah kau saja," jawab Faraz seraya berjalan meninggalkan Rhea.
***
Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi. Semua murid segera meninggalkan ruang kelas, kecuali Rhea. Hari ini ia akan tinggal lebih lama di sekolah untuk membaca artikel yang dipinjamnya kemarin. Ketika tengah asyik membaca, tak sengaja ia melihat sosok anak laki-laki yang duduk memandang gedung sekolah.
"Siapa dia? Sepertinya ini kali pertama aku melihatnya. Apa dia anak baru?" batin Rhea.
Rhea berjalan perlahan mendekati laki-laki itu. Dengan sedikit ragu, Rhea memperhatikan sosok itu.
"Hei, apa yang kau lakukan? Kenapa tidak pulang?" tanya Rhea dengan sedikit gugup.
"Eh. Emm, aku masih ingin memandang sekolah ini," jawabnya sambil tersenyum manis.
"Kau sendiri, kenapa belum pulang?"
"Anu... A-aku hanya sedang membaca artikel dan yang kubutuhkan hanyalah ketenangan." Rhea gugup karena sendari tadi dia memperhatikan wajah laki-laki itu.
"Namaku Ryan. Kau?"
"Aku Rhea."
"Menurutmu bagaimana sekolah ini?"
Rhea tampak terkejut mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Ryan. Tapi mau tak mau, ia tetap harus menjawabnya.
"Tua, eksotis, dan bersejarah. Begitulah."
"Huh! Bagiku tempat ini hanyalah rumah pemakaman yang tak terurus."
"Ba-bagaimana kau bisa berkesimpulan seperti itu?" Ucap Rhea gemetaran.
"Kau tak mendengar tentang kerangka manusia yang ditemukan di perpustakaan?"
"Ya, tentu aku mengetahuinya. Ta-tapi..."
Belum sempat Rhea melanjutkan perkataannya, lelaki itu sudah beranjak pergi.
"Hei! Tunggu!"
Tanpa menghiraukan seruan Rhea, Ryan terus berjalan. Dengan senyum yang terkulum, ia mengangkat tangan kanannya sambil berkata, "Senang berkenalan denganmu. Sampai jumpa."
Rhea hanya bisa mematung ditempatnya berdiri.
"Aneh...," ucap Rhea sambil menyipitkan matanya.
***
Aroma kematian menusuk indera penciuman gadis itu. Ia sedang berjalan di sebuah kuburan yang gelap pekat oleh malam, tidak mendengar apa-apa selain gemerisik daun dan embusan angin di cabang-cabang pohon, dan ia adalah orang bodoh yang pernah berpikir bahwa ini akan menjadi petualangan yang menarik.
"Di sini, kita berada di luar tanah suci. Dinding ini adalah tanda batas luar tempat mereka menguburkan para rakyat yang sangat miskin dan... mereka yang tidak disucikan."
Gadis itu terlihat menegang sesaat akibat perkataan nenek tua yang merupakan pemilik rumah pemakaman di dekat kuburan tersebut.
"Er... Sarah, haruskah aku meminumnya sekarang?"
"Ya, lakukanlah."
Ramuan itu manis, tidak terasa buruk, tapi membawa rasa panas yang menjalar melalui pembuluh darahnya.
Tiba-tiba kegelapan menyelimuti, membuat pemakaman itu terlihat yang sangat gelap, dan membuat cahaya bulan terlihat bagai bola api.
Suara batin gadis itu menjerit menyuruhnya lari, tapi sudah terlambat.
Ia melihat apa yang kemudian bangkit. Dan teriakan menggema melalui tenggorokannya, tapi ia tidak bisa bergerak dan tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Ia masih bisa melihat Sarah, berdiri dengan senyum puas. Ia tahu bahwa ia hanyalah sekadar anak tangga bagi nenek tua ini, sebuah batu loncatan menuju kekuasaan atas kegelapan. Dia melihat semuanya dengan jelas sekarang.
Dan kemudian ia melihat apa yang merayap naik dari tanah.
Melihat bahwa semua janji-janji Sarah tidak lebih dari tipu muslihat untuk membawanya ke sini.
Kengerian menghampirinya, berbahaya, jahat, dan ia tidak bisa bergerak. Ia tahu bahwa apa pun yang di dalam minuman hitam itu telah melumpuhkannya, baru sekarang ia menyadari bahwa semuanya sudah terlambat untuk mengetahui dan memahami bahwa semua ini tidak ada hubungannya dengan keajaiban, fantasi, dan sihir.
Ia merasakan bau iblis, mendengar serak napas yang berbau busuk, berbau daging, darah, tulang, dan bau tanah ketika nasibnya semakin mendekat, menarik kesenangan dari ketakutannya dan pemahaman yang baru saja ia sadari....
Ia tidak datang untuk membuat pengorbanan. Ia datang untuk menjadi korban.
***
Kembali sore ini Rhea melihat lelaki itu duduk di taman sekolah. Suasana benar-benar telah sepi, namun hal itu sepertinya tidak mengusik Ryan untuk terus memandangi gedung sekolah itu.
"Kau tak perlu bersembunyi untuk melihatku, Rhea. Keluarlah dan duduk di dekatku."
Rhea terkejut dan merasa sedikit malu mendengar perkataan Ryan. Dengan pipi merona, ia berjalan mendekati Ryan lalu duduk disebelahnya.
"Apa yang kau pandangi?"
"Gedung itu. Tempat semuanya bermula."
Rhea melirik gedung yang ditunjuk oleh Ryan. Itu gedung kesenian, gedung yang bersebelahan dengan perpustakaan.
"Sepertinya kerangka di perpustakaan telah diangkut semuanya oleh polisi. Aku tak melihat mereka lagi sejak pagi ini."
"Ya sepertinya begitu. Polisi mungkin akan kembali dan mencoba merusak dinding sekolah untuk mengetahui apakah masih ada kerangka yang tersembunyi di sini."
"Kau ingin membantuku?"
"Em... Baiklah. Apa yang ingin kaulakukan?"
"Bawalah artikel yang baca kemarin dan datanglah ke sekolah pada malam hari. Jangan beritahu siapapun. Aku akan datang jam 8. Sebaiknya kau jangan melewati gerbang depan, aku yakin penjaga sekolah akan memergoki kita jika kau lewat di sana."
"Lalu kau menginginkanku masuk dari mana?"
"Panjatlah pagar di sebelah perpustakaan itu dan tunggulah aku di sana."
"Oh, oke. Tapi kita akan melakukan apa di sekolah pada malam hari? Aku tak ingin mencuri atau melakukan kejahatan kriminal apapun."
"Tenang saja. Aku hanya ingin kau membuka tabir yang tertutup debu."
"Apa?"
Saat Rhea masih bermain dengan pikirannya, ia tersentak ketika dilihatnya lelaki itu telah berjalan pergi meninggalkannya sendiri di bawah Pohon Oak ini.
"Sampai jumpa!" Ryan mengucapkannya sambil melambaikan tangan.
Rhea merungut kemudian menyipitkan matanya.
"Ya, sampai jumpa kembali," ucapnya pelan.
***
Dengan bermandikan cahaya bulan, Rhea berjalan mengendap-endap di sekitar perpustakaan. Setelah memastikan keadaan telah aman, ia menyandarkan punggungnya ke dinding sambil menutup mata sejenak. Ia terlonjak terkejut ketika seseorang menyentuh bahunya.
"Hei! Akhirnya kau datang juga."
"E-eh, ya. Sudah lama menungguku?" Rhea mencoba mencairkan rasa terkejutnya dengan tersenyum.
"Belum lama kok. Okay, sekarang kita langsung saja ke ruang kesenian."
"Baiklah."
Mereka berdua berjalan tanpa bersuara. Bulan kembali bersembunyi di balik awan dan membuat keadaan semakin gelap mencekam.
"Kalau kau takut, tidak usah dilanjutkan lagi," kata Ryan tiba-tiba.
"Well, tentu saja aku takut." Rhea ingin berteriak. Ia tidak pernah takut sebelumnya. Ini seperti permainan.
Karena terlalu ketakutan, Rhea tak sadar bahwa ia telah berada di ruangan yang diterangi oleh lilin yang tersusun dengan pola.
Ryan berhenti berjalan dan memandangi sebuah foto tua yang tergantung di dinding.
"Dia kekasihku. Aku tak ingin dia meninggalkanku. Aku akan melakukan apapun demi membangkitkannya."
"A-apa maksudmu?"
Ryan berbalik dan menatap Rhea dengan tajam.
"Di tahun terakhir masa SMA, aku terbunuh oleh tembakan seorang sniper ketika melindungi kekasihku yang dituduh sebagai seorang penyihir. Peluru dengan tepat menembus otakku."
Tiba-tiba dari telinga, mata, dan hidung Ryan keluar darah dan nanah yang teramat busuk.
"Kau... Kau... Akhh...."
Dengan cepat Ryan menggoreskan luka dengan pisaunya pada tubuh Rhea. Baju Rhea tercabik-cabik dan berlumuran darah.
Dengan sisa kekuatannya, Rhea melihat Ryan mengambil pisau yang lebih besar dari balik bajunya. Seringai aneh dan menyeramkan terbit di bibir lelaki itu.
"Matilah! Dan jadilah nama terakhir untuk kebangkitan kekasihku!"
Ryan menggorok leher Rhea dengan sekali tebas. Seketika itu juga tubuh Rhea tumbang dan kepalanya terpental ke depan pintu ruang kesenian. Senyum puas tercetak di wajah lelaki yang sangat mencintai Sarah--perempuan yang telah membangkitkannya dari kematian.
Tanpa rasa jijik sedikitpun, Ryan mengambil kepala Rhea lalu mencongkel ke dua matanya. Ryan memasukkan mata itu ke dalam sebuah wadah yang telah berisi cairan kental berwarna merah. Mulutnya komat-kamit merapalkan matera.
Tiba-tiba angin puyuh datang dan sesosok arwah yang dipenuhi aura kebencian tersenyum penuh kemenangan.
"Terima kasih, Sayang"
***
Powered by Telkomsel BlackBerry®