Senin, 21 Juli 2014

Watch Your Step!!!

Source : Creepy Shit
Retold : #‎ScarySoul‬
Editor : Alya Annisaa

-----

Aku sedang duduk sendirian di kamarku, menunggu orangtuaku kembali dari rumah sakit. Tidak, bukan orangtuaku yang sakit. Mereka pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan kakak laki-lakiku, Danny.

Mereka pergi begitu saja setelah mendapat telfon dari pihak kepolisian. Aku ingin ikut, tapi mereka melarangku. Jadi aku hanya bisa menunggu mereka pulang.

Terakhir kali aku melihat kakakku tadi pagi. Ya, lagi-lagi kakakku berkelahi dengan orang tuaku. Bukan berkelahi secara fisik. Namun secara verbal. Kakakku terus mengumpat kata-kata kotor. Setelah itu, ia pergi begitu saja mengendarai motornya.

Meskipun kakakku sudah membentak dan mencaci maki kedua orangtuaku, namun mereka tetap saja cemas akan keadaan kakakku. Sampai malam tadi, mereka ditelfon pihak kepolisian yang mengabarkan bahwa kakakku kecelakaan.

Aku sudah menunggu orangtuaku terlalu lama. Sekarang sudah tengah malam dan mereka masih belum juga pulang. Bahkan mereka belum menelfonku untuk memberi kabar.

Waktu terus berjalan ... dan bagus!!! Sudah jam 2 dini hari. Kenapa mereka masih belum pulang?

Kemudian kudengar bel rumahku berbunyi.

"Itu pasti mereka," pikirku.

Aku berlari keluar kamarku, menuruni tangga ... dan aku sempat terjatuh. Namun tidak sakit sama sekali. Aku lanjut berlari lalu mengintip lewat jendela.

Dan, yah, kulihat orangtuaku pulang bersama kakakku.

Kubuka pintu dan ... entah mengapa mereka terlihat agak aneh.

"Ayah, ibu. Apa kalian baik-baik saja?"

Mereka hanya diam.

"Danny, apa kau baik baik saja?"

"Ya, aku baik baik saja, Sarah," jawab Danny sambil tersenyum

"Ayah, dimana kau bertemu dengan Danny?"

"Kami menemukan dia di trotoar, Sayang."

"A-ayah, i-ibu ... kenapa kalian terlihat berbeda?"

"Tidak, Sarah. Kami datang untuk menjemputmu. Jadi keluarga kita dapat bersatu lagi. Bukankah kau sudah menunggu kami?" jawab ibu sambil tersenyum.

"A-a-apa maksudnya semua ini?"

Tiba-tiba tv di ruang tamu menyala sendiri, masuk dalam siaran berita.

"Kecelakaan lalu lintas kembali terjadi. Menewaskan sepasang suami-istri bernama Henry Robertson dan Catherine Robertson. Tampaknya mereka adalah keluarga dari korban kecelakaan lalu lintas tadi pagi yang bernama Danny Robertson."

"Ja-ja-jadi ... kalian sudah meninggal? Tapi aku tidak mau ikut dengan kalian. Aku belum mau mati. Aku masih ingin hidup."

"Sarah, kami tidak akan menjemputmu jika kau belum mati."

Ibu menunjuk ke arah tangga, aku pun sontak melihat ke arah yang ditunjukkannya.

Di sana ... aku melihat diriku sendiri. Terbujur kaku dengan darah mengucur dari kepala serta leher patah.

"Sudah berapa kali ibu bilang padamu, perhatikan langkahmu!"

-----
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 11 Juli 2014

Pertalian Darah

Parade Horor Duet

Pertalian Darah
Oleh Alya Annisaa dan Hikmawan Ali Nova

-----

Aku Tita. Umurku 10 tahun. Semenjak tinggal di desa ini, kehidupan keluargaku berangsur-angsur membaik. Ya benar! Kami selalu berpindah-pindah. Semacam nomaden begitulah.

Setiap tiga hari sekali aku berkeliling desa membagi-bagikan buah hasil kebun orang tuaku. Karena itulah aku cepat hapal nama-nama tetangga kami. Sangat menyenangkan sekali bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Aku harap selamanya bisa terus begini. Diselimuti kebahagiaan, maksudku.

Pagi ini truk pengangkut barang untuk pindahan melewati rumah kami. Sepertinya kami mendapatkan tetangga baru. Mungkin aku harus pergi menyapanya dan membantunya memindahkan barang-barang sore nanti.

***

"Selamat sore, Nek. Saya Tita, penduduk desa ini. Mungkin saya bisa membantu memindahkan barang-barang bawaan nenek."

"Selamat sore, Nak. Oh, kau sangat baik sekali. Apakah kau bisa membawakan barang-barang yang kecil dan ringan itu? Orang-orang pengangkut barang hanya menurunkannya tanpa membantuku membawanya masuk kedalam rumah."

"Tentu saja, Nek. Dengan senang hati," kata gadis muda itu sambil tersenyum simpul.

Tak banyak barang bawaan nenek tersebut. Hanya beberapa koper, pecah belah, kotak-kotak yang entah berisi apa, dan lemari kecil. 'Tak seperti orang pindahan biasanya,' pikir Tita. Tapi gadis muda itu tetap dengan semangatnya yang membuncah membantu nenek tua yang baru datang ke desa mereka.

Setelah selesai membantu membereskan barang, Tita berpamitan. Namun nenek tak mengizinkannya.

"Duduklah dan temani aku sebentar. Tak inginkah kau mencicipi beberapa potong kue lezat ini?"

Mata Tita membulat melihat brownies cokelat terpampang di depan hidungnya. Dengan tak sabar, kemudian ia mengambil potongan yang paling besar. Nenek hanya bisa tersenyum geli melihatnya.

"Datanglah kapanpun kau mau. Aku akan memanggang scone dan beberapa kue lainnya untukmu. Kau mungkin juga akan mencoba teh hijau -yang kubawa ini- yang sangat baik untuk tubuhmu."

Dengan mulut yang penuh, Tita mengangguk. Ia senang sekali. Tak perlu banyak pertimbangan, ia pasti akan datang lagi berkunjung ke rumah tua bercat kuning gading tersebut.

***

Setiap beberapa hari sekali Tita berkunjung ke rumah nenek itu. Rumah bergaya klasik tua itu seakan telah menjadi rumah ke 2 nya. Tapi ia tak sadar semakin ia merasa nyaman dengan hangatnya sambutan dari nenek itu, sesuatu yang buruk semakin dekat menyelimutinya.

***

Pada malam ini bulan baru akan muncul. Seperti yang kita ketahui, banyak sekali orang yang melakukan ritual penyembahan setan pada saat seperti ini. Sang Penguasa Kegelapan yang haus darah akan kembali menyergap siapapun yang datang kepadanya.

Seperti biasa Tita mengunjungi nenek itu. Namun sebelum pergi, Ibu Tita sempat tak mengizinkan Tita pulang terlalu malam. Tapi Tita bersikeras dan bergegas pergi ke rumah nenek.

Tak terasa mentari hampir tenggelam di ufuk barat, tapi nenek tetap tak membiarkan Tita pulang. Tita tak menaruh curiga pada nenek karena nenek sangat baik padanya.

"Tambahlah tehmu dan tinggallah untuk beberapa saat lagi," ucap nenek dengan lembut.

Dengan senang hati Tita menuangkan teh dari teko ke cangkirnya lalu meminumnya. Tak beberapa saat kemudian kepala Tita terasa pusing dan akhirnya ia pun pingsan.

***

Tak banyak yang Tita ingat sebelum ia pingsan. Terakhir yang ia lihat nenek tersenyum pahit sambil menatapnya. Kini yang ia tahu ia berada di dalam kegelapan. Ya, tangannya juga terikat pada sesuatu. Tita mencoba berteriak namun tak bisa. Mulutnya tersumpal.

Ditengah kegelisahannya itu, Tita melihat seseorang masuk ke ruangan tempat Tita berada. Seseorang itu menyalakan lilin yang sudah terpasang disekeliling Tita. Tita sangat terkejut ketika mengetahui bahwa seseorang itu adalah sang nenek yang biasa ia kunjungi. Ia sangat bingung dan tidak mengerti. Namun perasaan itu hanya datang sesaat karena Tita melihat nenek membakar ujung pisau dapur.

"Maafkan aku. Seharusnya kau tak perlu menjadi tumbal. Aku sangat menyayangimu. Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Aku terbelenggu janji pada Sang Penguasa Kegelapan. Janji yang harus kulaksanakan adalah membunuh seorang anak perempuan yang lahir di saat gerhana bulan terjadi. Sekali lagi, maafkan aku," ucap nenek lirih.

Tita sangat ketakutan. Nenek berjalan mengelilingi Tita dengan membawa pisau yang ujungnya memancarkan warna merah dan sambil membacakan matera. Pelan tapi pasti, akhirnya nenek mendekat ke arah Tita dengan tangan yang gemetar menggenggam pisau.

Tita bisa merasakan pisau itu telah berada dikulitnya, ia pasrah dgn apa yang akan terjadi selanjutnya. Tiba-tiba pintu terhempas. Seorang wanita telah menerjang pintu itu.

"Hentikan! Ini ritual bodoh yang tak seharusnya kau lakukan, apalagi dia cucumu! Aku tak menyangka kau akan menemukan kami dan tetap melakukan ritual ini, Ibu."

Tenggorokan Tita tercekat. Ia tak menyangka sosok renta yang ingin membunuhnya itu adalah neneknya sendiri.

"Kau tak perlu ikut campur, Nia! Pergilah dan relakan anakmu!"

"Aku tak pernah menyakiti Tita. Tapi kau ingin membunuhnya. Sebagai orang yang masih waras, aku takkan membiarkan itu terjadi, Ibu!"

Perkelahian terjadi. Hingga akhirnya ibu Tita menancapkan pisau yang telah dipanaskan tadi tepat ke jantung sang nenek.

"Arghhhhh..."

"Aku... Aku hanya ingin menyelamatkan puteriku , Ibu. Maafkan aku." Air mata dengan derasnya mengalir menuruni pipi wanita dewasa itu.

"Kau tau, Nia. Desa tempat kelahiranmu itu terkutuk! Aku... Uhuk uhuk... Bersumpah atas nama Penguasa Kege... la... pan." Nenek tak bergerak lagi.

Nia melepaskan ikatan tali yang melilit tubuh Tita kemudian memeluk erat puterinya itu.

"Tita, maafkanlah nenekmu. Ia hanya... Dengar, sepuluh tahun yang lalu desa tempat kelahiran ibu mengalami musim penceklik. Kemarau yang panjang membuat banyak warga desa yang meninggal. Pada saat itulah, nenekmu sebagai ketua suku mengucap sumpah akan membunuh seorang anak perempuan yang lahir pada saat gerhana bulan ketika waktu telah genap 10 tahun dan pada saat bulan baru muncul. Sang Penguasa Kegelapan menerima sumpah tersebut dan sebagai gantinya ia menurunkan hujan yang sangat lebat di desa itu,

"Namun sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Kau lahir pada saat gerhana bulan muncul. Karena ketakutan, ibu dan ayah membawamu kabur dari kampung dan hidup berpindah-pindah tempat dengan harapan nenekmu tak dapat menemukan kita. Tapi dengan bantuan Sang Penguasa Kegelapan, nenek berhasil melacak keberadaan kita dan hampir membunuhmu."

Tita tertegun mendengar perkataan ibunya.

"Bu, itu adalah cerita terburuk yang pernah kudengar," kata Tita sambil tersenyum sedih. Tapi ia tahu itu adalah cerita yang paling tragis yang pernah terjadi dalam hidupnya. Tita berjanji dalam hati ia takkan pernah akan dilupakannya.

***
Pekanbaru, 2 Juli 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®

The Real Banci

Parade Horor Komedi Duet

The Real Banci
Oleh Alya Annisaa dan Rifqi Hauzan

Tak banyak yang bisa menyaksikan pemandangan ganjil itu. Suatu kengerian yang tak dapat terlukiskan. Hanya orang-orang terpilihlah yang dapat menikmatinya. Tapi percayalah, kalian semua takkan ingin melihatnya.

Di malam yang sunyi ketika semua orang tertidur dengan pulas, mereka keluar dengan tenang. Merekalah makhluk yang menyatu dengan semua elemen. Tersanjung dengan kemaksiatan, bangkit dengan dendam, kembali dengan sombong. Beberapa dari kalian mungkin telah menebak dengan benar makhluk apakah mereka.

Tapi tidak semua dari mereka menjadi makhluk yang menyeramkan. Beberapa melintasi tali yang tak dikodratkan untuk mereka.

Manoharon Kosmonov alias Iyem adalah bos para hantu banci di Taman Jiwa yang Tersakiti, Panchake. Sebagai sosok kuntilanak ia tak pernah sedih menghadapi banci-banci. Bahkan ia pernah disegel di Markas Perbaikan Jiwa karena tak berhenti tertawa.

Sesosok makhluk menyeramkan lainnya, berjalan mendekat pada pintu ruangan Iyem yang berukuran 4×4+6-7÷7 meter.

"Tok... Tok... Tok..."

"Masuk!!!" Teriak Iyem sambil kipas-kipas pake sepatu hak.

"Hai Tante Iyem, makin cantik aja nih," sapa Gendis, si banci genderuwo.

"Hai, Cyinnn... Ih ada banciii," Teriak Salpir si vampir banci asal Depok.

"Lo juga banci keless," gerutu Gendis sambil menggetok pala vampir Depok.

"Udah jangan berantem. Gendis, kapan lo balikin kutang gue???" tanya Iyem.

"Kutang yang mana ya? Eyke kaga ingat cyin."

"Itu loh, kutang yang warna abu-abu monyet dan ada gambar Julia Perez-nya" jawab Iyem.

"A-anu, kutangnya ehmm..." Belom sempat Gendis melanjutkan perkataannya, Salpir sudah memotongnya.

"Oh, kutang yang itu ya cyiin? Itu dijual ke Paijo buat biaya fitnes si Gendis, Cyiin. Mpok kan tau kalo Gendis siang-siang hobi nya fitnes mulu,hihihihi...," balas Salpir dengan polos nya.

Iyem tak bisa menyembunyikan amarah nya, ia segera melempar sepatu haknya ke arah Gendis namun memantul dan mengenai kepalanya sendiri.

"Omg... Heloo... Itu kutang mahal banget, harganya 20000 itu, trus itu kutang beli di Pocin. Pokoknya gue nggak mau tau itu kutang harus kembali, kalo nggak, lo akan gue bunuh!" Teriak Iyem sambil memegangi kepalanya yang benjol.

Petir menggelegar hebat tanda kemarahan si kunti alay, tiba-tiba tercium bau yang sangat busuk didalam ruangan. Bau itu hampir membuat Iyem dan Gendis pingsan.

"Maaf mpok, eyke kentut, hihihi...," kata Salpir sambil senyum-senyum kaya tante girang.

Pletak...

"Wadoowww..."

"Lo kalo ketawa jangan mirip kuntilanak dong! Ciptain kek trade mark sendiri," geram Iyem.

"Ih... Kalian-kalian lucu deh... Eyke jadi gemes...," seru Gendis sambil memainkan bulu keteknya.

Iyem dan Salpir hanya bisa bergidik ngeri melihat senyum Gendis yang membuat mual dan gejala 5L.

***

"Poy, lo yakin disini tempatnye?"

"Sttt! Diem! Menurut keterangan dari Mbah Jo yang punya Indra Brugman, eh maap, maksud gue indra ke enam, di pekuburan ini nih banyak orang ngelakuin pesugihaaaaaaachyuu...."

"Ih ingus lo kemana-mana tuh. Mana muka ganteng gue kena pula."

Poy memandang jijik ke arah teman seperjuangannya, Ramzi. Muka gosong dengan dihiasi jerawat sana sini, membuat Poy tak habis pikir. Apa lagi dengan panu yang berseliweran di sekitar tubuh Ramzi akibat mandi seminggu sekali. Dari sisi mana Ramzi bisa mengatakan dirinya ganteng? DARI SISI MANA?!

"Lo kalo mau bernarsis ria, noh ke sono aje. Tempat bences-bences doyan nongkrong."

"Eh... Eh... Eh... Itu ada yang cakep mirip Juleha." Senyum menggoda terbit di bibir Ramzi. Dengan pedenya ia mendekat ke arah para bences yang tengah asyik berdandan.

"Eh cyiiin. Liat tuh, ada manusia ndeket. Eyke mesti dandan dulu nich. Hihihi..."
Secepat kilat Salpir memakai bedak yang tebalnya 5 cm. Ketika Salpir sedang memakai lipstick, tak sengaja Gendis menyenggolnya dan membuat mukanya tercoreng. Kontan Iyem dan Gendis tertawa sampe kejedot po'on yang disebelah mereka.

"Apdet status dulu ah... Hihihihi... Baru ketemu vampir bences yang mukanye kayak babon kecipratan aer got nich... Hihihi...."

Salpir benar-benar marah! Dia mendekat ke arah kunti alay alias Iyem, lalu mengambil paksa handphonenya dan membantingnya! Menginjak-injaknya! Serasa masih kurang, dimakannya handphone itu!

Tiba-tiba hening. Ramzi yang melihat hal itu terdiam. Iyem dan Gendis terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Salpir tenggelam dalam lautan luka dalam. Poy tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Aku tanpamu butiran debu...

Plok... Plok... Plok...

"Hai cewek. Jangan marah-marah dong. Nanti cakepnya ilang," goda Ramzi.

"Aahhh jiah, genderuwo bencong! Gue pikir cewek..."

"Gue bilang juga apa, itu tempat nongkrong bences! Makanya kuping tuh dipasang!" Umpat Poy kesal.

"Yuhu... Siapa kalian yach? Kenapach pada kemari, Cyin? Jalan-jalan? Eyke boleh ikutan?" Sambut Salpir sambil mengibas-ngibaskan rambutnya.

"E... E... Enggak. Ka... Kami nyasar dan ke... Kebetulan lewat sini, Bang," ucap Ramzi ketakutan.

"Owwh, begitchu... Bukan kebetulan kali... Kita ini jodoh. Hihihihi...."

Gubrakk...

Poy pingsan dengan posisi sangat memalukan--posisi nungging. Iyem cuma bisa melongo.

"Kenalin eyke Gendis. Iniihh... Teman eyke, biasanya dipanggil Salpir. Itu tuh -sambil nunjung Iyem- bos eyke, kunti alay. Hihihi.. Ih rempong deh! Tapi ya sutralah, yey yey pada terserah mau manggil kami apa. Hihihi...."

Tanpa aba-aba, Ramzi ikutan pingsan.

***

Apakah Ramzi dan Poy akan kembali sadar dan pergi tanpa gangguan Trio Banci?

Insert coin to continue...
5...
4...
3...
2...
1...

GAME OVER....

***


Powered by Telkomsel BlackBerry®

The Last Name For Our Story

Parade Horor Duet

The Last Name For Our Story
Oleh Alya Annisaa dan Ecco Prasetyo

-----

"Kalau kau yakin begitu...," kata Ibu.

"Aku yakin," Rhea bersikeras. "Aku tidak keberatan menghabiskan tahun terakhirku di SMA itu. Dan karena kita telah sepakat sebelumnya, berarti aku harus tetap bersekolah disana."

Rhea tidak menunggu jawaban dan ia segera menuju ke kamar tidurnya. Ia bermaksud mengambil perlengkapan mandi, tapi akhirnya duduk di kaki tempat tidurnya.

"Ini... menyebalkan," gumamnya.

***

Rhea ingin memburu kenyataan dibalik segala rumor, untuk memilah yang mana api dan mana yang sekadar asap. Ia tahu bagaimana cara mengali segala macam catatan dan perpustakaan sejarah kota sangat lengkap, jadi ia berharap tidak akan menemui banyak masalah.

Hal pertama yang didapatkannya adalah beberapa blueprint yang memperlihatkan perubahan yang dialami sekolahnya selama bertahun-tahun. Tak ada yang tampak berhubungan dengan kerangka dalam dinding, selain fakta yang ditemukan Rhea bahwa tak ada yang dilakukan pada dinding perpustakaan tempat ditemukannya jasad-jasad itu sejak 1980-an, saat pemolesan ulang dilakukan karena api yang membakar penutup dinding.

"Hei apa yang kau lakukan disini?"

"Hei Faraz, aku hanya mencari beberapa catatan mengenai sekolah kita," ucap Rhea seraya tersenyum.

"Kau tak tahu kalau sekolah kita dulunya adalah rumah pemakaman?"

"Bagaimana kau mengetahui itu?"

"Ah, kau tak pernah mendengarnya ya? Sungguh? Cerita tentang sekolah-sekolah menyeramkan yang selalu dikaitkan dengan rumah pemakaman?"

"Ha?"

"Orang-orang malang itu. Aku yakin mereka akan bergentayangan di dalam sekolah. Bisakah kaubayangkan bagaimana rasanya dibuang keluar dari dalam peti mati milikmu sendiri? Oh! Aku yakin aku akan sangat marah dan ingin menghantui sekolah itu jika mayatku dilempat keluar dari peti mati, ya kan?"

Rhea tertawa. "Faraz, jika seseorang melempar mayatku dari peti mati, aku tak akan peduli karena aku sudah mati. Teman-teman dan keluargakulah yang akan marah. Dan aku tidak percaya kalau kita akan tetap berkeliaran setelah mati."

"Apa kau ateis?" kata Faraz tampak terkejut.

"Tidak, aku percaya akan Tuhan dan kehidupan setelah kematian. Itu maksudku. Kita akan berada di surga... Atau entah dimanapun itu saat kita mati. Kita tak akan terikat lagi dengan tubuh kita. Jadi, jika memang aku dilempar keluar dari dalam peti mati, aku ragu bahwa aku akan tahu, dan jika memang aku tahu, aku rasa aku tak akan peduli. Maksudku, tubuh kita ini benda organik, akan segera membusuk. Jadi kurasa aku tak akan penasaran dan menghantui siapa pun itu, begitulah."

"Hmmm, jadi kau tidak percaya hantu, Rhe?" Faraz menghela nafas panjang.

"Kau tau, Rhe. Orang yang meninggal secara tragis atau tidak wajar, biasanya arwahnya tidak tenang dan ingin menuntut balas atas kematiannya."

"Apa kau mencoba menakutiku?"

"Terserah kau saja," jawab Faraz seraya berjalan meninggalkan Rhea.

***

Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi. Semua murid segera meninggalkan ruang kelas, kecuali Rhea. Hari ini ia akan tinggal lebih lama di sekolah untuk membaca artikel yang dipinjamnya kemarin. Ketika tengah asyik membaca, tak sengaja ia melihat sosok anak laki-laki yang duduk memandang gedung sekolah.

"Siapa dia? Sepertinya ini kali pertama aku melihatnya. Apa dia anak baru?" batin Rhea.

Rhea berjalan perlahan mendekati laki-laki itu. Dengan sedikit ragu, Rhea memperhatikan sosok itu.

"Hei, apa yang kau lakukan? Kenapa tidak pulang?" tanya Rhea dengan sedikit gugup.

"Eh. Emm, aku masih ingin memandang sekolah ini," jawabnya sambil tersenyum manis.

"Kau sendiri, kenapa belum pulang?"

"Anu... A-aku hanya sedang membaca artikel dan yang kubutuhkan hanyalah ketenangan." Rhea gugup karena sendari tadi dia memperhatikan wajah laki-laki itu.

"Namaku Ryan. Kau?"

"Aku Rhea."

"Menurutmu bagaimana sekolah ini?"

Rhea tampak terkejut mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Ryan. Tapi mau tak mau, ia tetap harus menjawabnya.

"Tua, eksotis, dan bersejarah. Begitulah."

"Huh! Bagiku tempat ini hanyalah rumah pemakaman yang tak terurus."

"Ba-bagaimana kau bisa berkesimpulan seperti itu?" Ucap Rhea gemetaran.

"Kau tak mendengar tentang kerangka manusia yang ditemukan di perpustakaan?"

"Ya, tentu aku mengetahuinya. Ta-tapi..."
Belum sempat Rhea melanjutkan perkataannya, lelaki itu sudah beranjak pergi.

"Hei! Tunggu!"

Tanpa menghiraukan seruan Rhea, Ryan terus berjalan. Dengan senyum yang terkulum, ia mengangkat tangan kanannya sambil berkata, "Senang berkenalan denganmu. Sampai jumpa."

Rhea hanya bisa mematung ditempatnya berdiri.

"Aneh...," ucap Rhea sambil menyipitkan matanya.

***

Aroma kematian menusuk indera penciuman gadis itu. Ia sedang berjalan di sebuah kuburan yang gelap pekat oleh malam, tidak mendengar apa-apa selain gemerisik daun dan embusan angin di cabang-cabang pohon, dan ia adalah orang bodoh yang pernah berpikir bahwa ini akan menjadi petualangan yang menarik.

"Di sini, kita berada di luar tanah suci. Dinding ini adalah tanda batas luar tempat mereka menguburkan para rakyat yang sangat miskin dan... mereka yang tidak disucikan."

Gadis itu terlihat menegang sesaat akibat perkataan nenek tua yang merupakan pemilik rumah pemakaman di dekat kuburan tersebut.

"Er... Sarah, haruskah aku meminumnya sekarang?"

"Ya, lakukanlah."

Ramuan itu manis, tidak terasa buruk, tapi membawa rasa panas yang menjalar melalui pembuluh darahnya.

Tiba-tiba kegelapan menyelimuti, membuat pemakaman itu terlihat yang sangat gelap, dan membuat cahaya bulan terlihat bagai bola api.

Suara batin gadis itu menjerit menyuruhnya lari, tapi sudah terlambat.

Ia melihat apa yang kemudian bangkit. Dan teriakan menggema melalui tenggorokannya, tapi ia tidak bisa bergerak dan tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Ia masih bisa melihat Sarah, berdiri dengan senyum puas. Ia tahu bahwa ia hanyalah sekadar anak tangga bagi nenek tua ini, sebuah batu loncatan menuju kekuasaan atas kegelapan. Dia melihat semuanya dengan jelas sekarang.

Dan kemudian ia melihat apa yang merayap naik dari tanah.

Melihat bahwa semua janji-janji Sarah tidak lebih dari tipu muslihat untuk membawanya ke sini.

Kengerian menghampirinya, berbahaya, jahat, dan ia tidak bisa bergerak. Ia tahu bahwa apa pun yang di dalam minuman hitam itu telah melumpuhkannya, baru sekarang ia menyadari bahwa semuanya sudah terlambat untuk mengetahui dan memahami bahwa semua ini tidak ada hubungannya dengan keajaiban, fantasi, dan sihir.

Ia merasakan bau iblis, mendengar serak napas yang berbau busuk, berbau daging, darah, tulang, dan bau tanah ketika nasibnya semakin mendekat, menarik kesenangan dari ketakutannya dan pemahaman yang baru saja ia sadari....

Ia tidak datang untuk membuat pengorbanan. Ia datang untuk menjadi korban.

***

Kembali sore ini Rhea melihat lelaki itu duduk di taman sekolah. Suasana benar-benar telah sepi, namun hal itu sepertinya tidak mengusik Ryan untuk terus memandangi gedung sekolah itu.

"Kau tak perlu bersembunyi untuk melihatku, Rhea. Keluarlah dan duduk di dekatku."

Rhea terkejut dan merasa sedikit malu mendengar perkataan Ryan. Dengan pipi merona, ia berjalan mendekati Ryan lalu duduk disebelahnya.

"Apa yang kau pandangi?"

"Gedung itu. Tempat semuanya bermula."

Rhea melirik gedung yang ditunjuk oleh Ryan. Itu gedung kesenian, gedung yang bersebelahan dengan perpustakaan.

"Sepertinya kerangka di perpustakaan telah diangkut semuanya oleh polisi. Aku tak melihat mereka lagi sejak pagi ini."

"Ya sepertinya begitu. Polisi mungkin akan kembali dan mencoba merusak dinding sekolah untuk mengetahui apakah masih ada kerangka yang tersembunyi di sini."

"Kau ingin membantuku?"

"Em... Baiklah. Apa yang ingin kaulakukan?"

"Bawalah artikel yang baca kemarin dan datanglah ke sekolah pada malam hari. Jangan beritahu siapapun. Aku akan datang jam 8. Sebaiknya kau jangan melewati gerbang depan, aku yakin penjaga sekolah akan memergoki kita jika kau lewat di sana."

"Lalu kau menginginkanku masuk dari mana?"

"Panjatlah pagar di sebelah perpustakaan itu dan tunggulah aku di sana."

"Oh, oke. Tapi kita akan melakukan apa di sekolah pada malam hari? Aku tak ingin mencuri atau melakukan kejahatan kriminal apapun."

"Tenang saja. Aku hanya ingin kau membuka tabir yang tertutup debu."

"Apa?"

Saat Rhea masih bermain dengan pikirannya, ia tersentak ketika dilihatnya lelaki itu telah berjalan pergi meninggalkannya sendiri di bawah Pohon Oak ini.

"Sampai jumpa!" Ryan mengucapkannya sambil melambaikan tangan.

Rhea merungut kemudian menyipitkan matanya.

"Ya, sampai jumpa kembali," ucapnya pelan.

***

Dengan bermandikan cahaya bulan, Rhea berjalan mengendap-endap di sekitar perpustakaan. Setelah memastikan keadaan telah aman, ia menyandarkan punggungnya ke dinding sambil menutup mata sejenak. Ia terlonjak terkejut ketika seseorang menyentuh bahunya.

"Hei! Akhirnya kau datang juga."

"E-eh, ya. Sudah lama menungguku?" Rhea mencoba mencairkan rasa terkejutnya dengan tersenyum.

"Belum lama kok. Okay, sekarang kita langsung saja ke ruang kesenian."

"Baiklah."

Mereka berdua berjalan tanpa bersuara. Bulan kembali bersembunyi di balik awan dan membuat keadaan semakin gelap mencekam.

"Kalau kau takut, tidak usah dilanjutkan lagi," kata Ryan tiba-tiba.

"Well, tentu saja aku takut." Rhea ingin berteriak. Ia tidak pernah takut sebelumnya. Ini seperti permainan.

Karena terlalu ketakutan, Rhea tak sadar bahwa ia telah berada di ruangan yang diterangi oleh lilin yang tersusun dengan pola.

Ryan berhenti berjalan dan memandangi sebuah foto tua yang tergantung di dinding.

"Dia kekasihku. Aku tak ingin dia meninggalkanku. Aku akan melakukan apapun demi membangkitkannya."

"A-apa maksudmu?"

Ryan berbalik dan menatap Rhea dengan tajam.

"Di tahun terakhir masa SMA, aku terbunuh oleh tembakan seorang sniper ketika melindungi kekasihku yang dituduh sebagai seorang penyihir. Peluru dengan tepat menembus otakku."

Tiba-tiba dari telinga, mata, dan hidung Ryan keluar darah dan nanah yang teramat busuk.

"Kau... Kau... Akhh...."

Dengan cepat Ryan menggoreskan luka dengan pisaunya pada tubuh Rhea. Baju Rhea tercabik-cabik dan berlumuran darah.

Dengan sisa kekuatannya, Rhea melihat Ryan mengambil pisau yang lebih besar dari balik bajunya. Seringai aneh dan menyeramkan terbit di bibir lelaki itu.

"Matilah! Dan jadilah nama terakhir untuk kebangkitan kekasihku!"

Ryan menggorok leher Rhea dengan sekali tebas. Seketika itu juga tubuh Rhea tumbang dan kepalanya terpental ke depan pintu ruang kesenian. Senyum puas tercetak di wajah lelaki yang sangat mencintai Sarah--perempuan yang telah membangkitkannya dari kematian.

Tanpa rasa jijik sedikitpun, Ryan mengambil kepala Rhea lalu mencongkel ke dua matanya. Ryan memasukkan mata itu ke dalam sebuah wadah yang telah berisi cairan kental berwarna merah. Mulutnya komat-kamit merapalkan matera.

Tiba-tiba angin puyuh datang dan sesosok arwah yang dipenuhi aura kebencian tersenyum penuh kemenangan.

"Terima kasih, Sayang"

*** 
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 02 Juli 2014

Belenggu Adat

Parade Duet Horor

Belenggu Adat
Oleh Nia dan Alya Annisaa

"Lo yakin, May?" tanya Lugas sembari membolak-balik tumpukan kertas dihadapannya.

"Yakin, Gas! Ini berita menarik!" Maya tersenyum mantap.

"Ok. Kita berangkat besok." Maya mengangguk.

* * *

Perlahan matahari merangkak naik, pancaran cahayanya merebak kepenjuru dunia.

Dengan penuh semangat Maya beranjak, diraih handuk yang tersampir ditempat duduknya dan bergegas ia menuju kamar mandi. Setelah persiapannya dirasa cukup, ia buru-buru keluar dari apartemen, menghampiri Lugas yang sedari tadi menunggunya.

"Siap nona?" tanya Lugas seraya membukakan pintu mobil, mempersilahkan Maya untuk masuk.

Maya tersenyum simpul. "Gue udah dapet informasinya cuma belum jelas, nih!" ucap Maya menyerahkan lipatan kertas pada Lugas.

* * *

Desa Kajang, itulah tempat tujuan mereka. Sebagai seorang wartawan, Maya dan Lugas merinci pekerjaannya untuk bertugas mencari berita, serta karena ditugaskan sebagai pewarta foto, maka Maya dan Lugas mencari berita menggunakan kamera untuk menghasilkan foto berita. Karena profesinya Maya dan Lugas termasuk kedalam profesi yang menggeluti media rekam (foto,televisi, dsb) maka ketika meliput sebuah peristiwa dan membutuhkan foto dari kejadian tersebut, Maya dan Lugas harus mendatangi lokasi. Berbeda dengan wartawan tulis, mereka bisa mendapatkan informasi melalui wawancara jarak jauh, seperti telepon, memantau release, atau dewasa ini sering kali menggunakan jejaring sosial yang menjadi rujukan.

Perjalanan yang Maya dan Lugas lalui hampir tanpa halangan dan rintangan. Tapi ketika mulai memasuki hutan, mobil yang mereka kendarai mogok dan terpaksa harus mereka tinggalkan begitu saja. Perjalanan masih jauh. Masih 3 kilometer lagi untuk sampai ke tempat tujuan.

Di ufuk barat, terlihat matahari akan kembali ke paraduannya. Melihat hal itu Maya menjadi sedikit cemas.

"Gas, masih jauh?"

"Enggak tau, seharusnya kita udah sampe dari tadi. Apa jangan-jangan kita tersesat?"

"Ih, masa' baca peta aja gak bisa sih lo? Sini!" Maya mengamati peta dengan saksama. Betul kata Lugas, seharusnya mereka telah sampai di Desa Kajang.

"Sekarang kita dimana, Gas? Gue... Gue takut," ucap Maya perlahan.

"Ah udah diem. Mending kita lanjutin perjalanan daripada ntar keburu gelap," ajak Lugas.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dalam diam. Setelah hampir setengah jam, Lugas menyadari sesuatu yang ganjil. Tak ada ocehan dari si cerewet Maya. Maya menghilang!

Dengan panik Lugas mencoba menghidupkan senter yang dibawanya.

"Alah! Ini senter mana gak mau hidup lagi. Sial!" umpat Lugas.

"Maya! Lo dimana? Maya!!!"

Sekelebat bayangan bergerak dibalik rimbunnya semak belukar di belakang Lugas.

"May! Ini gak lucu! Kalo lo gak mau keluar, gue tinggalin!" ancam Lugas. Tapi tak ada sahutan. Hanya gemerisik dedaunan tertiup angin yang terdengar.

Udara malam berhembus kencang menerpa wajah Lugas. Ia merapatkan jaketnya kemudian bersandar pada pohon besar. Keadaan yang gelap gulita tidak memungkinkan untuk dirinya masuk lebih jauh lagi kedalam hutan.

"Moga aja dia balik ke mobil, nggak bener-bener ngilang. Stres gue May!" cerocos Lugas. Tanpa ia sadari, dibalik semak belukar ada berpuluh-puluh mata sedang mengawasinya.

Mata Lugas terpejam beberapa saat, hingga sebuah tepukan membuatnya terjaga.

"Gas," Maya tersenyum, sebelah tangannya menggenggam sebuah senter.

Mata Lugas berbinar. Langsung ia peluk tubuh Maya.

"Lo buat gue panik," bisik Lugas lirih.

"Sorry. Gue balik ke mobil ambil ini," ucap Maya seraya menunjukan kompas dan beberapa makanan ringan yang ditentengnya.

"Abisnya lo ngloyor aja ninggal gue. Gimana mau ngasih tau."

* * *

Cahaya matahari bersinar terik, menerobos rerimbunan daun yang membentuk kenopi-kenopi diujung batangnya.

Maya menarik tubuh Lugas yang tengah berbaring, "Come on. Gas! Udah siang."

Dengan malas Lugas beranjak, mengekor Maya yang sudah lima langkah didepannya.

Jalanan terjal berbatu, juga ranting-ranting tajam yang sesekali menggores lengan Maya, tidak menyurutkan langkahnya untuk sampai ke Desa Kajang. Pandangannya teralihkan pada sesuatu didepannya.

"Aha ... Lo liat deh, itu pasti desa mereka!" Maya menunjuk deretan rumah panggung yang berjejer rapi menyerupai rumah panggung suku Bugis-Makassar.

Maya mengajak Lugas masuk ke dalam rumah yang terlihat lebih sederhana dibandingkan lainnya.

"Tau beru, cera' assi'pa'," ucap Maya yang dijawab senyum dan anggukan laki-laki didepan mereka; Maya pamit.

"Lo ngomong apa sih tadi?" tanya Lugas.

"Itu tetua desa. Biasa dipanggil Ammatowa. Gue minta ijin meliput berita disini."

"Oo," jawab Lugas sambil memamerkan snack yang baru saja masuk ke mulutnya.

***

Kedatangan Maya dan Lugas disambut hangat oleh penduduk desa. Meskipun mereka lebih banyak diam dan hanya menyunggingkan seulas senyum ketika berpapasan.

Sudah tiga malam mereka menginap di Desa Kajang--perkampungan yang terkenal dengan hukum adatnya yang
sangat kental.

Malam ini merupakan malam purnama. Dari balik jendela, Maya tersenyum menatap bulan yang bersinar terang. Ia merasakan kesejukan menjalari seluruh tubuhnya.

"May, gue ke kamar duluan ya." Lugas mengucek matanya yang memerah karena kantuk yang menyerangnya. Perlahan matanya mulai terpejam, mengantarkannya pada alam mimpi.

* * *

Upacara akan segera di mulai, penduduk berkumpul membentuk lingkaran. Di bawah sinar purnama seorang gadis mulai menari. Seiring mantra yang dirapalkan penduduk, ia berputar mengitari pria yang terbujur lemah dengan tubuh terikat.

Tidak menunggu lama, Ammatowa menancapkan tombaknya tepat di dada pria itu.

"Akh ... " jeritan pilu melengking, membuat miris siapa saja yang mendengarnya.

"Tidakkk ..." gadis itu melangkah mendekati
tubuh yang telah bermandikan darah. Air mata mengucur deras dari pelupuk matanya.

Sekali lagi Ammatowa menancapkan tombaknya. Kali ini tepat di jantung pria tersebut, membuat pria tersebut merasakan tajamnya ujung tombak yang terbuat dari batu obsidian itu.

Mereka--penduduk desa mulai mendekat, berebut mendapatkan jatah masing-masing.

"Maafin gue, Gas! Gue harus ngelakuin ini demi keabadian, demi kampung gue." Maya tersungkur.

"Lo harus tau, bukan cuma lo aja yang pernah kesini lalu mati menjadi santapan kami. Banyak, Gas! Banyak! Selama berpuluh-puluh tahun kami tetap melaksanakan ritual ini. Ritual sadis dengan membunuh manusia yang bukan termasuk kelompok kami. Semua salah mereka!" Mata Maya menerawang jauh. Terbersit penyesalan pada dirinya. Namun belenggu adat memaksanya melakukan hal keji itu demi keabadian Desa Kajang, kampung halamannya.

"Mereka orang-orang bodoh berkulit putih yang singgah di desa kami. Awalnya kami menerima mereka dengan tangan terbuka. Namun ketika mereka mulai mencampuri adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur kami, kami tidak terima! Kami memberontak! Kami harus tetap mempertahankan apa yang telah diajarkan oleh nenek moyang kami!

"Tapi kami tak sadar salah satu dari mereka adalah seorang ahli ilmu hitam. Kami memburunya. Dan sebelum meninggal ia mengutuk kami! Mengutuk kami, Gas! Mengutuk kami menjadi makhluk menjijikkan yang tak bisa terkena sinar matahari. Tentu saja kami sadar kami tak akan bertahan lama jika keadaannya tetap begitu.

"Lalu Ammatowa memohon pada Sang Penguasa Kegelapan untuk membantu kami. Akhirnya kami dapat kembali keluar rumah pada siang hari. Tapi setiap Purnama Agung muncul, kami harus makan daging manusia! Harus! Agar kami tetap dapat hidup dan melanjutkan kehidupan kami," jelas Maya panjang lebar. Lugas yang sedang diambang maut masih sempat mendengarkannya, namun tak bisa berkata apa-apa.

Tiba-tiba lengkingan tawa yang ganjil dan pahit terdengar, membuat para binatang hutan terbangun dari tidurnya. Mereka sadar, suatu hal yang buruk telah terjadi di sudut malam yang lain.

Angin bertiup kencang, sesekali terdengar lolongan serigala di berbagai penjuru.

Dengan sigap mereka mulai mencabik-cabik
tubuh Lugas --menggigit dan mengunyah bagian yang mereka
dapatkan.

Maya menggenggam jantung yang sudah tak berdetak itu. Menjilat dan melahapnya dengan buas.

***

Seminggu kemudian berita tentang
hilangnya 2 orang wartawan muncul di surat kabar. Pria yang tengah membaca berita itu hanya bisa menggelengkan kepala--prihatin.

"Ada apa, Dim?"

"Dua orang wartawan hilang di pedalaman
Makassar," ucap Dimas masih fokus dengan koran yang digenggamannya.

"Nasib mereka buruk sekali. Kasihan."

"Sepertinya aku ingin memastikan apa mereka benar menghilang atau hanya tersesat," ucap detektif muda yang juga kekasih wanita yang duduk disebelahnya.

Wanita itu menyeringai licik.

***

Pekanbaru, 2 Juli 2014.
Powered by Telkomsel BlackBerry®