Sabtu, 01 November 2014

Cermin Dua Wajah



Oleh Alya Annisaa

6.05.'06 Seorang lelaki. Lelaki muda. Menghanyutkanku. Menggerogoti perasaan. Aku semakin tenggelam di balik api yang merah menyala. Apakah aku bersalah?

7.05.'06 Hari ini aku melihatnya. Ia tampak begitu bahagia. Aku turut bersukacita untuknya. Tapi kemudian hal yang tak terduga menerpa. Menghampirinya, membuatnya terombang-ambing dalam ketidakpastian perkara. Ia menangis di depanku--seseorang yang tak tampak oleh mata biasa.

8.05.'06 Pagi yang aneh. Seperti biasa aku menyapanya dengan ramah. Namun ia malah menatapku dengan mata yang memancarkan kemarahan. Ia memakiku.

10.06.'06 Berikan aku kekuatan untuk menyelesaikan lagu kematian ini. Aku harus segera mengakhirinya.

13.05.'06 Kulihat awan mendung. Kukira akan turun hujan. Lalu angin dan petir menghadang. Mereka mengusirku dengan paksa. Bukan hujan yang turun, tapi aku yang menangis.

15.05.'06 Ia mengabaikanku. Mataku mulai gerah. Aku butuh ketenangan. Sekali lagi ia mengabaikanku, namun kali ini terasa begitu menyakitkan. Di balik bayangan tempatku bersembunyi, perlahan aku mengoyak cahaya.

18.05.'06 Aku menunggunya. Hatiku yang rapuh masih tetap setia bersabar untuknya. Tangisku bagaikan serpihan kecil semacam debu dan tak berharga. Temanku, aktor sudut malam, meraihku dan meyakinkanku, membuatku tetap tenang. Kembali mereka mengikis pertahananku. Kejam sekali dunia. Aku mengadu pada senja. Ia menghiburku dengan mengatakan bahwa gelap itu tak pernah ada, yang ada hanya kekurangan cahaya.

21.05.'06 Mereka memanggilku dengan sebutan anak bawang. Aku tak mengerti tentang kesalahan yang kuperbuat pada mereka. Mereka menggunjingkanku. Menyangkut-pautkan semua kemalangan yang terjadi. Menimpakan pertanggungjawaban atas warna kegelapan padaku. Menyoraki kehancuranku. Menggenapi retak pondasi yang kupertahankan dengan susah payah.

22.05.'06 Aku mencakar langit pagi. Awan hitam datang dan menyiramiku dengan rasa dingin. Aku gemetar hebat. Persendianku menolak perintah. Ototku memberontak. Sial!

28.05.'06 Gerak-gerikmu mengusik pikiranku. Aku kembali bersembunyi di balik bayangan. Melihatmu dari jauh, sudah cukup bagiku. Mendengar suara baritonmu, melegakan rasa haus akan hangatnya dirimu. Lalu perempuan itu datang. Senyumnya menggoda. Bibir merahnya mengecup pipimu. Tidak!

1.06.'06 Aku merangkak dalam keterpurukan. Bidadari itu menggantikanku. Posisiku. Tak cukupkah air mataku membanjiri cermin dua wajah?

4.06.'06 Malam ini tak ada jangkrik yang bernyanyi untukku. Air mata membanjiri kehidupan yang mengharuskan aku berhadapan dengannya. Dia. Dia merenggut anganku. Aku mengerti, aku tahu, aku menyadarinya. Aku hanyalah seonggok roh tanpa raga.

6.06.'06 Saat magma mulai mendesak untuk dimuntahkan, api panas keluar menyiram duniamu. Kembalikan! Pergi! Kau membangkitkan kemarahan terpendam. Biarkan aku kembali menyaksikan kejatuhanmu. Berakhirlah lagu cermin kematian abadi lucifer.