Oleh: Deri Harfan Drajat
Jauh sebelum surya tersenyum di ufuk timur, Halimah sudah terjaga. Bukan karena hawa dingin sang fajar telah mengusik serta menembus tulangnya, tetapi karena naluri keibuannya telah memanggilnya; merenggut jiwanya dari alam mimpi dan mengempaskannya ke alam nyata yang penuh beban, tugas serta kewajiban.
Pukul empat pagi, di saat kebanyakan manusia masih tersesat di alam mimpinya, saat para istri tengah terlelap dalam dekapan suaminya nan hangat, Halimah telah terbangun demi menyiapkan keperluannya berikhtiar memenuhi kebutuhan hidup ibu dan tiga anaknya.
Pagi-pagi benar ia sudah membuat adonan kue serabi. Bertarung melawan hawa dingin yang merasuk sumsum tulang serta rasa kantuk yang memberati kelopak mata. Ia tidak mengindahkan godaan dari sudut gelap hatinya yang menyuruhnya untuk tetap terlelap, berselimut, dan melanjutkan merenda mimpi.
Mungkin nasib para bekas istri kedua memang harus seperti ini, gumamnya di dalam hati menekuri penderitaan yang ia alami.
Perempuan-perempuan seperti Halimah memang seakan menanggung kutukan dari para istri pertama. Karena itulah hidup mereka sarat akan derita. Teramat berat beban yang harus mereka tanggung. Bahkan sejak masih berstatus istri kedua pun beban itu telah tersunggi di atas kepala mereka. Stigma buruk harus mereka terima, dan anggapan miring harus mereka kecap. Belum lagi, tak ada kejelasan perdata mengenai status serta hak anak-anak mereka.
Perempuan rendah, jalang, tidak laku, tidak tahu malu, perebut suami orang, ataupun materialistis, adalah umpatan-umpatan yang sering dilontarkan orang-orang kepada Halimah dan perempuan-perempuan sepertinya. Padahal, apa salahnya menerima pinangan lelaki? Toh mereka pun sama seperti perempuan lain; ingin dan butuh kasih sayang dari seorang lelaki. Haya saja, kebetulan lelaki yang memberi mereka asa adalah lelaki yang merupakan suami dari perempuan lain. Lagi pula, tidak semua perempuan seperti Halimah tahu sejak awal bahwa suaminya itu telah beristri. Bukankah lelaki memang makhluk yang sangat pintar berbohong, merayu, dan menyanjung? Entah sudah berapa banyak perempuan yang luluh hatinya setelah dirayu oleh lelaki.
Azan subuh telah berkumandang. Segelintir orang berjalan menembus pekatnya fajar, menyambangi surau demi menunaikan seruan Ilahi. Sementara, Halimah masih saja sibuk dengan pekerjaannya; membawa ember berisi adonan ke pekarangan rumah, mempersiapkan tungku kecil, menyalakan kayu bakar, dan sebagainya.
Sinis tatapan orang-orang melihat Halimah sibuk dengan pekerjaannya sementara mereka pergi menuju pesujudan. Berani mereka memberikan penilaian serta kesan terhadap Halimah, padahal Tuhanlah yang lebih tahu tentang amalan mana yang lebih utama antara berjamaah salat subuh dan bekerja mencukupi kebutuhan keluarga.
Seandainya mereka tahu, bukan keinginan Halimah berkutat dengan pekerjaan sementara panggilan Tuhan ia tangguhkan. Sebenarnya ia pun sangat malu kepada Tuhan. Jauh di dalam hatinya, ia pun ingin khusyuk mengabdi dan mengutamakan titah Tuhannya. Namun keadaan telah memaksanya untuk tetap bekerja demi memenuhi hajat keluarganya. Sebab kalau tidak demikian, bagaimana dengan ibu dan anak-anaknya? Mau makan apa mereka hari ini?
Kalau saja ia masih punya suami, barangkali ia tidak harus sesibuk ini. Mungkin tidurnya akan cukup dan ibadahnya akan khusyuk. Namun, asanya terenggut setelah istri pertama suaminya yang cerewet itu datang menghardiknya tiga tahun lalu.
"Heh, Perempuan Jalang, bercerailah dengan Mas Iwan kalau kamu dan keluargamu ingin hidup tenang!" damprat istri pertama suaminya kala itu.
Anak bungsunya yang saat itu tengah dipangkunya, menangis mendengar hardikan tersebut. Diayun-ayun dan ditepuk-tepuk bokong anaknya itu demi menghentikan tangisannya sambil memandangi ibu dan anak-anaknya secara bergantian.
"Baiklah, aku akan meminta cerai kepada Mas Iwan," sahutnya berat.
Terpaksa ia menyanggupi keinginan istri pertama suaminya karena tidak tega melihat ibunya yang sudah renta dan anak-anaknya yang masih kecil itu harus hidup dalam ketidaktenangan akibat perbuatannya. Tetapi, benarkah akibat perbuatannya? Bukan akibat perbuatan suaminya yang telah berpoligami?
Maka, sejak saat itu ia menjadi seorang janda. Dan praktis ia harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Setiap pagi ia berjualan kue serabi, sementara siangnya ia berjualan sayur-mayur dan jajanan-jajanan anak di warung kecil di depan rumahnya.
Sungguh kasihan ia. Masih muda, cantik, namun harus menjadi seorang janda akibat nafsu lelaki yang tak terpelihara. Kecantikan yang dulu terpancar di wajahnya perlahan-lahan pudar terhapus penderitaan. Lantas, siapakah yang patut disalahkan atas keadaannya itu? Apakah ia sendiri yang ingin bersuami seperti perempuan lain? Apakah mantan suaminya yang telah berpoligami? Istri pertama suaminya yang enggan dimadu? Ataukah agama yang telah mengizinkan poligami? Tetapi, sungguh, agama tidak pernah salah.
Waktu terus menapak. Kini anak sulungnya telah berusia sepuluh tahun dan duduk di kelas empat SD. Anak keduanya kelas dua SD, sementara si bungsu telah masuk TK. Ia sadar, semakin besar anak-anaknya, akan semakin besar pula biaya hidup keluarganya. Apalagi di negeri ini harga-harga kebutuhan pokok selalu merangkak naik tanpa kompromi terlebih dahulu dengan orang-orang miskin; termasuk biaya pendidikan. Kendati dulu ia tidak bersekolah tinggi, namun sebagai seorang ibu, ia ingin anak-anaknya bersekolah tinggi agar tidak bodoh dan tidak menderita seperti dirinya. Dan untuk hal tersebut, ia sadar bahwa ia harus bekerja ekstra giat.
Seandainya saja para lelaki mampu mengendalikan hawa nafsunya, mungkin perempuan-perempuan seperti Halimah tidak akan ada. Mereka akan hidup sesuai dengan kodratnya; mengurus rumah, melayani suami, memasak, merawat serta mendidik anak-anaknya. Namun kebanyakan lelaki tak mampu mengendalikan hawa nafsunya, sehingga para perempuan menjadi korban.
Dengan mudahnya mereka berdalih mengikuti sunah Rasul manakala dikritisi soal poligami yang dijalaninya. Padahal masih banyak sunah lain yang lebih utama dan mulia di mata Tuhan ketimbang poligami. Mereka lupa, lebih tepatnya sengaja melupakan, bahwa rasul tidak pernah menganjurkan untuk berpoligami seumpama tidak mampu berbuat adil atau menciptakan keadilan. Secara matematik mungkin mudah membagi uang sepuluh ribu rupiah menjadi dua. Tetapi rumah tangga bukanlah matematika. Di sana ada ego, emosi, dan kepentingan istri tua serta istri muda yang harus sama-sama dipenuhi.
----
Powered by Telkomsel BlackBerry®