Minggu, 12 Oktober 2014

Elegi Bekas Istri Siri

Pernah dimuat di harian Radar Cirebon, Maret 2013

Oleh: Deri Harfan Drajat

Jauh sebelum surya tersenyum di ufuk timur, Halimah sudah terjaga. Bukan karena hawa dingin sang fajar telah mengusik serta menembus tulangnya, tetapi karena naluri keibuannya telah memanggilnya; merenggut jiwanya dari alam mimpi dan mengempaskannya ke alam nyata yang penuh beban, tugas serta kewajiban.

Pukul empat pagi, di saat kebanyakan manusia masih tersesat di alam mimpinya, saat para istri tengah terlelap dalam dekapan suaminya nan hangat, Halimah telah terbangun demi menyiapkan keperluannya berikhtiar memenuhi kebutuhan hidup ibu dan tiga anaknya.

Pagi-pagi benar ia sudah membuat adonan kue serabi. Bertarung melawan hawa dingin yang merasuk sumsum tulang serta rasa kantuk yang memberati kelopak mata. Ia tidak mengindahkan godaan dari sudut gelap hatinya yang menyuruhnya untuk tetap terlelap, berselimut, dan melanjutkan merenda mimpi.

Mungkin nasib para bekas istri kedua memang harus seperti ini, gumamnya di dalam hati menekuri penderitaan yang ia alami.

Perempuan-perempuan seperti Halimah memang seakan menanggung kutukan dari para istri pertama. Karena itulah hidup mereka sarat akan derita. Teramat berat beban yang harus mereka tanggung. Bahkan sejak masih berstatus istri kedua pun beban itu telah tersunggi di atas kepala mereka. Stigma buruk harus mereka terima, dan anggapan miring harus mereka kecap. Belum lagi, tak ada kejelasan perdata mengenai status serta hak anak-anak mereka.

Perempuan rendah, jalang, tidak laku, tidak tahu malu, perebut suami orang, ataupun materialistis, adalah umpatan-umpatan yang sering dilontarkan orang-orang kepada Halimah dan perempuan-perempuan sepertinya. Padahal, apa salahnya menerima pinangan lelaki? Toh mereka pun sama seperti perempuan lain; ingin dan butuh kasih sayang dari seorang lelaki. Haya saja, kebetulan lelaki yang memberi mereka asa adalah lelaki yang merupakan suami dari perempuan lain. Lagi pula, tidak semua perempuan seperti Halimah tahu sejak awal bahwa suaminya itu telah beristri. Bukankah lelaki memang makhluk yang sangat pintar berbohong, merayu, dan menyanjung? Entah sudah berapa banyak perempuan yang luluh hatinya setelah dirayu oleh lelaki.

Azan subuh telah berkumandang. Segelintir orang berjalan menembus pekatnya fajar, menyambangi surau demi menunaikan seruan Ilahi. Sementara, Halimah masih saja sibuk dengan pekerjaannya; membawa ember berisi adonan ke pekarangan rumah, mempersiapkan tungku kecil, menyalakan kayu bakar, dan sebagainya.

Sinis tatapan orang-orang melihat Halimah sibuk dengan pekerjaannya sementara mereka pergi menuju pesujudan. Berani mereka memberikan penilaian serta kesan terhadap Halimah, padahal Tuhanlah yang lebih tahu tentang amalan mana yang lebih utama antara berjamaah salat subuh dan bekerja mencukupi kebutuhan keluarga.

Seandainya mereka tahu, bukan keinginan Halimah berkutat dengan pekerjaan sementara panggilan Tuhan ia tangguhkan. Sebenarnya ia pun sangat malu kepada Tuhan. Jauh di dalam hatinya, ia pun ingin khusyuk mengabdi dan mengutamakan titah Tuhannya. Namun keadaan telah memaksanya untuk tetap bekerja demi memenuhi hajat keluarganya. Sebab kalau tidak demikian, bagaimana dengan ibu dan anak-anaknya? Mau makan apa mereka hari ini?

Kalau saja ia masih punya suami, barangkali ia tidak harus sesibuk ini. Mungkin tidurnya akan cukup dan ibadahnya akan khusyuk. Namun, asanya terenggut setelah istri pertama suaminya yang cerewet itu datang menghardiknya tiga tahun lalu.

"Heh, Perempuan Jalang, bercerailah dengan Mas Iwan kalau kamu dan keluargamu ingin hidup tenang!" damprat istri pertama suaminya kala itu.

Anak bungsunya yang saat itu tengah dipangkunya, menangis mendengar hardikan tersebut. Diayun-ayun dan ditepuk-tepuk bokong anaknya itu demi menghentikan tangisannya sambil memandangi ibu dan anak-anaknya secara bergantian.

"Baiklah, aku akan meminta cerai kepada Mas Iwan," sahutnya berat.

Terpaksa ia menyanggupi keinginan istri pertama suaminya karena tidak tega melihat ibunya yang sudah renta dan anak-anaknya yang masih kecil itu harus hidup dalam ketidaktenangan akibat perbuatannya. Tetapi, benarkah akibat perbuatannya? Bukan akibat perbuatan suaminya yang telah berpoligami?

Maka, sejak saat itu ia menjadi seorang janda. Dan praktis ia harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Setiap pagi ia berjualan kue serabi, sementara siangnya ia berjualan sayur-mayur dan jajanan-jajanan anak di warung kecil di depan rumahnya.

Sungguh kasihan ia. Masih muda, cantik, namun harus menjadi seorang janda akibat nafsu lelaki yang tak terpelihara. Kecantikan yang dulu terpancar di wajahnya perlahan-lahan pudar terhapus penderitaan. Lantas, siapakah yang patut disalahkan atas keadaannya itu? Apakah ia sendiri yang ingin bersuami seperti perempuan lain? Apakah mantan suaminya yang telah berpoligami? Istri pertama suaminya yang enggan dimadu? Ataukah agama yang telah mengizinkan poligami? Tetapi, sungguh, agama tidak pernah salah.

Waktu terus menapak. Kini anak sulungnya telah berusia sepuluh tahun dan duduk di kelas empat SD. Anak keduanya kelas dua SD, sementara si bungsu telah masuk TK. Ia sadar, semakin besar anak-anaknya, akan semakin besar pula biaya hidup keluarganya. Apalagi di negeri ini harga-harga kebutuhan pokok selalu merangkak naik tanpa kompromi terlebih dahulu dengan orang-orang miskin; termasuk biaya pendidikan. Kendati dulu ia tidak bersekolah tinggi, namun sebagai seorang ibu, ia ingin anak-anaknya bersekolah tinggi agar tidak bodoh dan tidak menderita seperti dirinya. Dan untuk hal tersebut, ia sadar bahwa ia harus bekerja ekstra giat.

Seandainya saja para lelaki mampu mengendalikan hawa nafsunya, mungkin perempuan-perempuan seperti Halimah tidak akan ada. Mereka akan hidup sesuai dengan kodratnya; mengurus rumah, melayani suami, memasak, merawat serta mendidik anak-anaknya. Namun kebanyakan lelaki tak mampu mengendalikan hawa nafsunya, sehingga para perempuan menjadi korban.

Dengan mudahnya mereka berdalih mengikuti sunah Rasul manakala dikritisi soal poligami yang dijalaninya. Padahal masih banyak sunah lain yang lebih utama dan mulia di mata Tuhan ketimbang poligami. Mereka lupa, lebih tepatnya sengaja melupakan, bahwa rasul tidak pernah menganjurkan untuk berpoligami seumpama tidak mampu berbuat adil atau menciptakan keadilan. Secara matematik mungkin mudah membagi uang sepuluh ribu rupiah menjadi dua. Tetapi rumah tangga bukanlah matematika. Di sana ada ego, emosi, dan kepentingan istri tua serta istri muda yang harus sama-sama dipenuhi.

----


Powered by Telkomsel BlackBerry®

It Hurts A Bit

Sumber: YouTube
Diterjemahkan oleh: Zerstörer

Aku tak begitu ingat apa yang terjadi sebelum semuanya berubah menjadi gelap. Kalau tak salah, aku sedang berada di mobil? Satu-satunya yang bisa kuingat hanyalah mendengar suara keras, seperti besi dan besi saling berbenturan, dan kemudian hening. Aku terbangun di tempat yang bunyi bip—sepertinya bunyi suatu mesin—terus menerus menggema. Aku sendiri tak yakin di mana aku berada, karena sepertinya aku tidak bisa membuka mataku. Konyol, bukan? Aku bisa merasakan selimut menutupi tubuhku, dan bunyi bip-bip-bip di sampingku, tapi aku tidak bisa membuka mataku, atau berbicara, atau bergerak.

Orang-orang terus berdatangan untuk mencolekku, dan aku selalu berusaha untuk berbicara kepada mereka.

"Bisakah seseorang memberitahuku apa yang terjadi kepada mataku? Aku tidak bisa membukanya." Aku mencoba bertanya, namun sepertinya pita suaraku tak mau bekerja sama, jadi kurasa aku hanya akan menunggu. Orang-orang ini sepertinya tahu apa yang mereka lakukan; mereka selalu mencolekku di tempat yang sama, kadang menggunakan jari mereka, kadang memakai suatu benda-tajam-tanpa-nama. Orang-orang itu tidak berkata banyak. Hanya datang, mencolekku, menghela nafas, lalu pergi.

Seseorang membuka mataku hari ini dan menyinarinya dengan senter. Rasanya sakit, tapi aku tak bisa meminta mereka untuk berhenti. Tapi gerakkan dari mataku terasa nyaman. Apakah kau tahu, bahwa kalau kau tidak membuka matamu untuk waktu yang lama, matamu bisa menempel dengan kelopak matamu? Aku sebelumnya tak tahu. Tapi itu terjadi sekarang. Jujur saja, rasanya tidak sakit, tapi rasanya sangat nyaman ketika mataku akhirnya terbuka.

Seseorang tengah memegangi tanganku dan membacakanku buku, yaitu bab 7 dari Harry Potter dan Kamar Rahasia. Aku ingin memberitahunya bahwa aku sudah pernah membaca buku itu, tapi aku tidak bisa. Dia menggenggam tanganku terkadang, dan hanya duduk bersamaku. Jadi di ruangan itu hanya ada aku, dia, dan suara bip-bip-bip. Kurasa orang itu ibuku.

Ibu menangis hari ini. Aku ingin membuatnya bahagia, bukan sedih, tapi ada yang salah dengan tanganku karena aku tidak bisa menggerakkannya untuk memeluk ibu. Aku harus memberitahunya nanti kalau aku ingin membantunya.

Beberapa orang masuk ke dalam ruangan ketika ibu sedang menangis, dan berkata, "dia sebaiknya pergi", bahwa "dia sebaiknya tidak berada di sini untuk ini". Tapi aku tak mengenali suara itu, dan aku tidak ingin ibu pergi. Aku takut. Ibu menangis lebih keras, menjerit, "tidak, dia masih di sana!" Dan aku ingin berteriak, "tentu saja, memangnya aku mau pergi ke mana?" Dan semua orang meninggalkan ruangan.

Ibu kembali ke dalam ruangan tak lama kemudian, terisak. Beliau duduk, dan mulai menangis cukup keras, dan mengeras, sampai beliau hampir berteriak. Dan kemudian, dia memukulku, tepat di wajah. Aku tak tahu apa kesalahan yang kulakukan, tapi dia memukulku lagi, lagi, dan lagi, dan aku tidak dapat berkata maaf, atau menangis, atau menghentikannya, hanya duduk di sana sampai beberapa pria datang dan membawa ibu pergi. Dua pria masih tinggal di ruangan, dan mereka mengobrol, tapi aku tidak dapat menangkap apa yang mereka katakan sampai aku menangkap satu kata, "koma".

Aku ingin menjerit, berteriak, melompat, dan menampar pria itu tepat di mulutnya.

Tapi aku tidak bisa. Aku tak bisa mengatakan "hentikan". Tidak bisa berkata "hei, aku di sini, aku bisa mendengar kalian, tolong jangan lakukan ini padaku." Aku tak bisa melakukannya. Aku hanya bisa diam ketika mereka mencolekku dengan benda-tajam-tanpa-nama. Sepertinya itu jarum suntik. Bunyi bip-bip-bip terdengar semakin cepat dan tak beraturan, dan tubuhku terasa semakin lelah. Aku ingin bertanya apa yang mereka lakukan. Apa yang mereka kira akan membantuku, tapi aku tidak bisa.

Aku menjerit sekeras mungkin, tapi aku sama sekali tak bergerak. Aku masih ingin hidup. Aku tidak ingin pergi.

...Aku harus memeluk ibu, memberitahunya bahwa semuanya baik-baik saja, memberitahunya bahwa aku di sini dan aku baik-baik saja.

Tapi kurasa aku tak memiliki kesempatan itu lagi sekarang.

Bip.

Bip...

----


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 04 Oktober 2014

BRIAN THE NGENES

Oleh Damn Mizuki
#‎EventNgawur‬

Hai, nama gue Brian. Orang-orang selalu menyebut gue Brian The Ngenes. Entah kenapa gue disebut Brian The Ngenes. Mungkin karena banyak masalah diluar nalar manusia yang menimpa gue. Hampir setiap hari "ngenes" mendatangi gue. Ya sudahlah gue bisa apa? Gue ini cuma manusia biasa yang tak luput dari kata ngenes. Memang hidup tak semulus paha para model yang semlohek. Kadang juga kasar seperti aspal. Tapi dijalani saja karena hidup untuk dijalani bukan untuk dilarii.
Pernah suatu ketika gue nonton tv sama mama gue. Eh, remotenya ilang diumpetin maling. Remote ketemu, tv nya hilang diumpetin. Tv ketemu antenanya hilang ditiup angin. Remote, tv, antena ketemu mama gue HILANG!. Mama gue ketemu udah bawa remote, tv sama antena. Giliran ketiganya yang udah ketemu, mati listrik! Woy PLN tahu gak sih kalau ini keburu hilang lagi barang gue! Oke listrik nyala. Giliran listrik nyala alarm listrik bunyi tut tut tut kayak telepon gak diangkat. Eh ternyata pulsa listriknya habis. Pulsa listrik udah diisi, tv rusak! Ngepul keluar asap kayak orang lagi marah di anime-anime. Hidup gue itu ya kayak udah jatuh ketimpa tangga. Habis ketimpa tangga mau bangun digigit anjing. Mau kabur diserempet becak. Mau marahin becaknya gue udah keburu salto gara-gara ditabrak tukang roti. Mau berobat dokternya meninggal. Gue pulang, dokternya yang baru datang. Sampai rumah, mama gue ilang lagi. Udah ilang bawa dokter lagi. Sudahlah ya, gue lelah menghadapi cerita ngenes hidup gue ini. Tapi kalau gue mati siapa yang bakalan jadi orang yang bikin semua orang ngakak disini? Ya udah mendingan gue jalani aja meskipun hidup gue ini banyak batu kayak aspal. Oke sekian cerita Brian The Ngenes. Gue harap kejadian ngenes yang nimpa gue gak terjadi ke kalian. Dan jangan putus asa jalani hidup kalian meskipun sakitnya tuh disini. Di hati sama di badan! Karena ada sesuatu yang tak pernah terduga dibalik itu semua. Bisa aja kan lo dapat emas sekarung cuma gara-gara ngenes? Nasib orang gak ada yang tahu bro. So keep posthink and see you latter!
Salam ngenes,

-BRIAN THE NGENES-

-------


Powered by Telkomsel BlackBerry®

#‎ApanyaAdaSalah‬?

Oleh Dekik

Sudah capek-capek menulis, eh ... tahunya cuma dikomen, "Basi!", "Lebay!", "Banyak dosa!", "Hambar tanpa ruh!"

Dari posting yang disematkan Senpai, aku mengoreksi diri.

1. Masa populer ceritaku habis. Masa iya zaman BBM-an, aku cerita main pager. <== Ketepatan setting waktu, tempat, dan trand, tidak sesuai dengan waktu share. Jadi jika memiliki ide yang sedang 'ngepop' jangan ditunda untuk dishare atau dikirim ke media.

2. Ketepatan gaya penyajianku kurang pas. Istilah Senpai melebar kiri-kanan, atas-bawah. Yang seharusnya tidak ada diadakan agar panjang karakternya. Bahasa kerennya plotku belepotan.

3. Penulisanku berlebay cuaca, berlebay suana, berlebay pengkarakteran. Jadilah sepanjang paragraf hanya mengulas senja atau rona pagi, atau menjelaskan baju dengan manik-manik yang tidak menyebabkan sebuah kejadian. Kembali istilahnya mendetailkan yang tidak-tidak. Pokoknya tidak sesuai porsi cerita.

4. Susunan kalimatku payah. Yang 'mata melihat ubun senja dan kaki melangkah pergi' dan lain sebagainya. Bahkan terkadang terbolak balik. Bahasa Senpai kurang efektif atau tidak memberikan informasi yang tepat sasaran.

5. Biasanya aku memikirkan nanti-nanti untuk memulai konflik, akhirnya sampai akhir pun lupa puncak konfliknya mana? Padahal orang umum itu suka 'ketegangan', suka 'keterkejutan', suka 'terpingkal-pingkal' dan suka 'tipuan' yang menyembabkan dia berkata, "Kok gitu, ye? Gue ulang ah!"

6. Terakhir sepertinya spasiku belepotan. Dempet tidak jelas mana dialog, mana aksi, mana narasi dan baru mau dibaca saja 'kliyeng-kliyeng'.

Akhirnya ... aku memilih silent reader saja, ah ... malu! Takut dan enggan dikomen si Jav, "Payah!"

Apa yang salah, ya?

-----
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mahasiswa versus Dosen

KBM Academy (Level 6)

Penulis : Firdaus ILo
Asal : Medan

Mahasiswa. Berasal dari kata maha dan siswa. Maha menurut bahasa arab berarti lebih, sedangkan siswa menurut bahasa indonesia artinya peserta didik. Jadi, secara bahasa indo-arab, mahasiswa artinya lebih peserta didik, peserta didik lebih, lebih didik peserta, peserta lebih didik?

Ah ... pria itu tampak bingung memikirkan arti dari kata "Mahasiswa". Sejenak ia tampak tersenyum kemudian berteriak "Mahasiswa! Siswa yang mempunyai kelebihan! Great!"

Mempunyai kelebihan? Maksudnya? Indera keenam kah?

***

Sebut saja namanya Aldo, seorang pria kelahiran Jawa tengah.
Jawa? Aldo? Sepertinya nama itu tidak cocok.

Oke. Panggil ia Tarno! Pria berkulit manggis hitam, rambut ikal, dengan spasi bulu mata dua per tiga centimeter. Ya, ini adalah tahun pertama ia menginjakkan kakinya di kampus nomor satu di negeri ini, Indonesia.

"Langkah pertama!" ucapnya gembira, "Mas?" lanjutnya memanggil seorang mahasiswa yang tengah lewat di area sekitar tempat Tarno berdiri. Berhubung wajahnya mirip James Bond. Panggil ia si 07.

"Ya?"

"Please, help me! Tolong fotoin gue dong. Mau gue kirim sama Emak di kampung," ucap pria berkacamata itu penuh harap.

Si 07 tersenyum. Ia mengangguk indah dengan membentuk sudut istimewa antara leher dengan dagu sebesar 43 derajat. Sepertinya ia setuju. Tarno bergegas merogoh saku celananya guna mengambil ponsel titisan Emak. Ponsel dengan merk ternama serta keluaran terbaru itu tampak bersinar dibawah teriknya cahaya mentari.

"Jangan senyum dulu, Bro. Kering tuh nanti gigi. Kanan dikit. Gelap nih, terhalang cahaya. Ya! Geser kanan dikit lagi, Bro. Mundur dua langkah! Eh ... stop! Pas!" Dengan senang hati Tarno maju-mundur mengikuti rujukan si 07.

Dalam benaknya, Tarno terbayang wajah bahagia Emak saat melihat fotonya kelak.

"Ok ... satu ... dua ..." Dengan sigap Tarno berpose ria. Tangan kanan sengaja ia selipkan di pinggang untuk menunjang penampilan. Tidak hanya itu, kaki kiri ia angkat, badan sedikit membungkuk dengan dada yang membusung beberapa centimeter ke depan. Perfect!

Terakhir, senyum khas dengan gigi yang tampak malu-malu menunjukkan keemasannya serta pandangan pura-pura tak melihat ke arah kamera. Gaya favorit Emak, pikir Tarno.

"Ya ... tiga!"

"Udah, Mas?" Tanya Tarno mendesis. Sangat sedikit sekali pergerakan pada bibir berwarna kopi ginseng itu. Pria itu tampak takut untuk menggerakan bibirnya. Takut menghancurkan pose!

Lima menit kemudian ...

"Mas?" Tarno melirik ke arah si 07. Seketika ekspresi wajah Tarno berubah.

"Woi ... Mas!" Tarno berteriak sekuat tenaga. Sementara itu Si 07 tersenyum bangga melirik ke arah Tarno seraya berlari menjauh kemudian menghilang.

Tarno tak mampu berbuat banyak. Berteriak, melompat, dan melempar sudah ia lakukan. Berulang kali ia memanggil si 07. Bukannya berbalik arah, pria berparas James Bond itu malah mempercepat laju larinya.

Tarno yang berasal dari desa, bingung melihat sikap si 07. Sombong pisan euy! Dipanggil kok gak datang, dah hp gue dibawa lagi, huft ... gerutu Tarno. Bener kata Pak Boni, tetangga Tarno di desa, "Orang kota itu sombong-sombong, No. Ngomong aja gak ada tata kramanya. Melenceng. Bilang "kau" itu "elu" bilang "aku" itu "gue". Babeh dipanggil bokap, Emak itu nyokap! Jangan terlalu dekat dengan mereka deh!" Titah Pak Boni mengiringi kepergian Tarno.

Dengan alasan itu pula, semenjak menapaki kaki di kota Jakarta, Tarno menyesuaikan logat berbicaranya dengan cara berbicara orang kota. Meski awalnya lidah terasa ngilu, tapi sejak sering menonton sinetron, lama kelamaan Tarno mulai biasa dengan kosa kata yang terdengar aneh di telinganya sendiri.

Ah ... biarlah, nanti pasti dia bakal nyari gue kok. Hp gue kan sama dia, pikir Tarno. Ia pun melanjutkan langkahnya menuju fakultas MIPA.

Pemuda berkulit hitam manggis itu tak menyadari ia telah menjadi korban keganasan dunia. Ya, korban pencurian! Namun, berkat pengajaran sikap dan karakter yang ditanamkan emak sejak ia kecil dahulu, membuat Tarno selalu berpikir positif tentang orang disekitarnya. Tak pernah sedikitpun pria berbibir kopi ginseng itu menaruh curiga.

Dengan santai ia berjalan memasuki wilayah fakultas MIPA. Mengedarkan pandangan ke tiap sudut kampus. Ah ... cantik pisan euy! Seorang mahasiswi berkacamata, berkerudung warna merah dengan sebuah laptop di paha tampak sibuk dengan aktifitasnya. "Kenalan ah," bisik Tarno.

Tiba-tiba, wajah Emak di kampung melintas tanpa ijin dalam benak Tarno. Dengan petuah-petuah bijaknya mengelilingi memori yang terus berputar itu, "Nak, ingat tujuan awal kamu ke kota. Demi keluarga ini. Baik-baik kamu di sana, dan sadar diri dengan keadaan kita." Tarno menghentikan langkahnya secara sepihak. Ia berputar arah, berpaling dari gadis yang ia anggap bidadari tak bersayap, namun berhijab. Beautiful!

Ditengah perjalanan guna mengitari area fakultas MIPA. Tiba-tiba telinga Tarno bergerak ke kanan dan kiri. Suara apa itu?

Tarno mengintip ke dalam sebuah ruangan. Tampak seorang mahasiswi tengah menangis. Itukah yang namanya dosen? Pikir Tarno menganalisa.

"Apa ini? Sudah mahasiswa kok buat makalah begini. Apaan ini!" bentak pria berpakaian rapih itu, "Bagaimana mungkin saya akan meluluskan mahasiswa seperti kamu?"

Mahasiswi itu diam tanpa kata. Tiba-tiba seorang mahasiswa lain mengacungkan tangannya, "Pak," ucapnya.

"Hum ...!" Mata dosen itu mendelik.

"Permisi keluar, Pak."

"Kemana?"

"Kentut, Pak."

"Tahan!" Mahasiswa itu pun cemberut bebek. Gue gak tanggung jawab loh! Gerutunya.

"Mulai besok dan seterusnya. Kamu gak usah masuk di kelas saya! Percuma! Nilaimu E."

Mahasiswi itu menangis, tertunduk lesu. Kemudian bersujud memohon agar dosen itu menarik ucapannya kembali. Namun apa daya, alih-alih mengabulkan permohonannya. Mahasiswi itu malah diusir saat itu juga. Sadis!

"Pak?" Geram akan prilaku dosen yang semena-mena. Mahasiswi itu memberanikan diri untuk membuka mulut.

"Huh!" Kepulan gas dari mulut ia hembuskan tepat ke wajah dosen itu, "kau yang pergi! Enyahlah," bentak mahasiswi tersebut. Meski tangan sedikit gemetaran, mahasiswi itu berusaha tenang mengendalikan diri.

Teman-teman sekelasnya saling pandang satu sama lain. Mereka seakan tak percaya sekaligus bingung. Bisa-bisanya teman mereka itu berkata seperti itu.

Bukan kepalang kagetnya dosen itu mendapatkan titah dari seorang mahasiswi. Mengiringi embusan angin tanpa rintangan. Sebuah tamparan mendarat sukses pada pipi kanan mahasiswi malang tersebut. Seluruh mahasiswa di dalam ruangan empat kali enam itu mendadak diam tanpa kata. Takut!

Berbeda dengan Tarno yang ingin rasanya menonjok pria yang ia anggap dosen itu. Beraninya kok sama cewek. Huh!

Beberapa detik kemudian, mahasiswa lain dipaksa untuk lebih kaget lagi.
Ya, mahasiswi itu menampar balik dosen berambut dua helai itu.

Wuih ... buset! Berani juga tuh cewek, pikir Tarno.

"DO!" bentak dosen itu.

"Atas dasar apa?"

"Adab!"

"Bagaimana denganmu?" Mahasiswi itu balik membentak tak mau kalah.
Suaranya kini malah lebih tinggi dari dosen itu.

"Maksudmu?"

"Adabmu!"
Sejenak dosen itu terdiam, kemudian pergi berlalu meninggalkan kelas.

"Dasar dosen abal-abal. Semenana-mena dengan mahasiswa. Memberi tugas seenak memakai kaus kaki hangat. Tanpa ia tahu beban tugas kami dari mata kuliah lain telah menumpuk! Dasar dosen pembunuh! Ya, kalian adalah pembunuh imajinasi pemuda," gerutu mahasiswi itu tak tentu, " bebaskan pikiran kami. Mengkritisi makalah kami? Mencampakkan makalah kami. Sadar gak sih? Buku yang kau buat sebagai panduan belajar mahasiswa yang kau sebut diktat itu tak lebih buruk dari makalah kami," lanjutnya.

Tiba-tiba dosen itu kembali. "Apa kamu bilang?" sepertinya dosen itu mulai kehilangan kesabarannya, "dasar mahasiswa tak beretika," lanjutnya.

"Sadar atau tidak. Saya begini karena didikan, Bapak," jawab mahasiswi itu penuh dengan ketegasan, "anda yang tak beretika!" lanjutnya.

Dosen itu makin geram. Buku dengan tebal hampir lima centimeter ia hempaskan tepat ke arah kepala mahasiswi itu. Mahasiswi itu tampak ketakutan, kemudian menutup kepalanya dengan kedua tangan.

Jiwa empati Tarno keluar. Sebelum buku itu mendarat di kepala mahasiswi itu. Dengan sigap Tarno berteriak, "Hentikan!"
Seluruh mahasiswa memandang ke arah Tarno tak terkecuali dosen itu.

"Stop! Apa-apan ini? Inikah yang namanya dosen dan mahasiswa? Sungguh memalukan," ucap Tarno perlahan menghampiri dosen dan mahasiswi itu.

Para mahasiswa dalam ruangan itu memandang heran kepada Tarno.

"apa-apaan sih manusia satu ini?" gerutu seorang mahasiswa.

"Dari planet mana sih ini makhluk? Jelek banget!"

Mendadak beberapa mahasiswa menutup hidungnya. Kemudian perlahan mahasiswa lain mengikuti. Hah? Sebau itukah gue? Pikir Tarno menerka-terka.

"Iiih ... loe kentut ye?" selidik salah satu dari mereka. Yang ditunjuk malah senyum-senyum aneh.

Cut!

Sebuah suara menghentikan aktifitas mereka. Memandang ke arah sumber suara, kemudian secara serentak seisi ruangan tepuk tangan. Suasana ruangan menjadi ramai. Tarno kebingungan. Hah? Ada apa ini? Pikirnya.

Betapa konyolnya tingkah Tarno setelah mengetahui bahwa adegan tadi hanyalah sebuah acting atau drama semata. Dengan polosnya ia bertanya, "kalian artis? Kok gak pernah gue lihat di tipi?"

Seorang mahasiswa tertawa mendengar pertanyaan Tarno, "Aduh, Bang. Kami ini mahasiswa jurusan bahasa indonesia yang sedang ujian."
"Bahasa Indonesia? Emang di MIPA ada jurusan bahasa indonesia?"
"Ini fakultas bahasa dan seni, Bang. MIPA mah di sono!" Mereka pun kembali tertawa.

Tarno pun terpaksa tersenyum guna menanggung malu. Kemudian secara perlahan mundur. dan bergegas lari. "gue pamit!" teriaknya.
Ah ... Om Alim mana sih? Gue kan bingung jadinya. Mau telpon, hp gue di pinjem orang yang tak di kenal, gerutunya. Gue udah di MIPA ini loh. Keluarlah Om Alim.

"Tarno!"

Tarno melirik ke arah sumber suara. Om Alim, pikirnya. Tarno pun bergegas menghampiri. Lelaki paruh baya itu.

"Kapan sampai?"

"Dah dari tadi, Om. Dah sampai nyasar-nyasar pun," ucap Tarno kesal.

"Kenapa gak telpon? Oh iya, yuk ke bascamp untuk mengambil peralatan kerjamu."

Mereka pun pergi menuju sebuah ruangan kecil di sudut kanan tangga kampus. Tarno mengikuti Om Alim dari belakang, "oh iya, No. Nanti, bagian kamu di sana ya. Setiap sepuluh menit kamu sapu tuh lantai, kalau becek segera di pel. Agar kebersihannya selalu terjaga," ucap Om Alim seraya menunjuk ke arah tempat lahan Tarno bekerja kelak, "Dan selamat datang di clinic servise universitas tercinta ini, No," lanjutnya.

Tarno tersenyum. Gaji bulan pertama terbayang sudah.
_______________


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 03 Oktober 2014

PACARAN!

Oleh Arief Siddiq Razaan

Ini cerita cuma khayalan. Sebab gue belum pernah pacaran. Bukan karena gue tak suka perawan. Tetapi gue hanya ingin menjaga iman. Jadi ceritanya ada sepasang muda-mudi lagi pacaran. Tiap malam berkirim pesan untuk mesra-mesraan. Rayuan gombal diumbar seperti orasi para calon anggota dewan. Segala janji manis juga terus diujarkan.

Mulai dari rumah megah hingga mobil sedan. Dari sekedar rekreasi hingga uang belanja bulanan. Setelah si cewek takluk pada pemuda tampan. Mula-mula minta pegang-pegangan. Setelah itu minta raba-rabaan. Berlanjut cium-ciuman. Setelah cium minta gigit-gigitan. Setelah mengigit malah minta kuda-kudaan.

Kalau sudah begitu yang rugi ialah sang perempuan. Belum nikah tapi statusnya sudah tidak perawan. Giliran cowoknya selingkuh karena bosan. Cewek itu lapor ke kepolisian. Dengan dalil melakukan hubungan intim karena unsur paksaan. Lalu sang cowok masuk tahanan. Sang cewek stress karena hidupnya jadi berantakan. Keluarga malunya tak ketulungan.

Esok harinya sang cewek ditemukan sudah terbujur kaku di tiang gantungan. Dipikir kalau mati selesai urusan. Padahal di neraka jahanam masih akan hidup abadi dengan siksa yang sangat menyakitkan. Itulah dampak buruk pacaran. Jadi putusin pacarmu sekarang sebelum kisah itu jadi kenyataan. Setidaknya gue tidak lagi jomblo sendirian.

Gubrak! Maaf kalau saran gue kelewatan. Kalau suka silahkan saja diwujudkan. Bagi yang menolak jangan pula marah-marah sampai kesurupan. Kalau mau lempar sendal gue terima sebagai bentuk sumbangan. Kalau lempar duit gue ikhlas untuk biaya makan. Okeh, cukup sekian. Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.

02.10.2014

----


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Qurban

Oleh Arief Siddiq Razaan

Aku kaget, ada nomor baru mampir ke handphone. Kirain cuma miskol, tapi tenyata sampai lebih lima kali. Akhirnya dengan berbesar jiwa dan raga, kuterima panggilan darinya.

Penelpon: "Assalamu'alaikum..."

Aku: "Wa'alaikum Salam"

Penelpon: "Ini benar dengan akhy Arief Siddiq Razaan saya bicara?"

Aku: "Benar, ini siapa ya?"

Terdengar suara terisak. Perasaanku tidak enak. Apa mungkin ada kabar buruk yang menyeruak.

Aku: "Maaf, antum siapa? Mengapa menangis?"

Penelpon: "Saya salah seorang member KBM, yang sering baca tulisan antum."

Aku: "Lha trus, kenapa telepon sambil nangis."

Penelpon: "Terharu, karena tulisan antum menyadarkan saya agar menjauhi pacaran."

Aku: "Terus maksudnya telepon ini untuk mengabarkan itu?"

Penelpon: "Bukan, cuma mohon restu Insya Allah hari Minggu nanti saya mau berkurban."

Aku: "Hubungannya Qurban dengan larangan pacaran di mana?"

Penelpon: "Saya mau mengurbankan pacar, semoga panitia Qurban berkenan menjadi saksi putusnya pacaran kami."

Gubrak! Dalam hati aku berdoa semoga ada lagi yang berkurban seperti penelpon ini.

03.10.2014

----


Powered by Telkomsel BlackBerry®