Sabtu, 30 Agustus 2014

Ice Cream (I Scream)

Oleh Alya Annisaa

-----
-POV 1-

"Dengarlah lagu kematianmu, Isla! Dengarkan kebodohan dan dosa yang telah kau perbuat! Hahaha...."

Kuayunkan katana yang sudah berlumuran darah ke arah perempuan muda itu.

Crasssh!

"Kyaaaa! Arghhh..."

Ia hanya bisa menangis, berharap aku mengampuninya. Brengsek! Makhluk menjijikkan itu semakin membuatku muak.

"Kemanapun kau pergi, kau tak akan pernah bisa menghapus darah pengkhianat yang mengalir di tubuhmu!"

"Maafkan aku... maaf...."

Aku melihat diriku yang sangat menyedihkan. Cermin itu menghancurkan hidupku. Cermin itu juga yang bercerita tentang kematian ibuku yang disamarkan oleh ibu dari perempuan bajingan yang masih tetap memeluk kakiku ini.

"Hahaha... dasar perempuan tolol! Kau pikir dengan menangis dan meminta maaf akan menyelesaikan semuanya, begitu? Kau memang bodoh, Isla!"

Crashhh! Crashhh!

"Arggghhh...!"

Katana ini sangat bagus! Barang antik bodoh yang cukup tajam untuk menembus kulit mahadewi yang cantik jelita ini.

"Ibuku... i--ibuku...."

"Pembelaan apa yang ingin kau ucapkan, Isla? Kenyataan yang begitu menyedihkan, bukan? Aku akan membunuh ibumu di depan matamu."

Aku rasa itu pantas didapatkannya setelah apa yang dilakukan ibunya pada hidupku, hidup orang tuaku! Tinta darah yang telah menghitam yang tak akan terhapus!

"Tidak! Tidakkk! Baiklah... kau menang! Kau menang!"

Dengan senyum kemenangan, kulemparkan pisau lipat kecil padanya. Ia memungutnya, lalu... ia mengiris pergelangan tangannya sendiri. Hahaha... matilah kau!

"Argh... dengar, Ryan! Aku tidak akan mati... arghhh... a--aku akan selalu membayangi tempat ini."

***

-POV 3-

"Ada apa dengannya?"

"Seharusnya aku yang berkata begitu padamu! Mengapa kau letakkan pisau itu di sini?!"

"Aku... aku..."

"Kau memang berniat membunuhnya, bukan?"

Senyum tipis terbit di bibir Ryan. "Hahaha... ya. Aku sengaja. Dia harus mengetahui lagu kematiannya!"

"Kau...!" Robert mencengkeram kerah baju Ryan dan mendorongnya hingga ke dinding.

"Hahaha..." Ryan tertawa seperti kesetanan. Tawanya bergema di ruangan sempit ini.

"Sekarang giliranmu, Kak!" Dengan cepat, Ryan mengeluarkan katana yang telah dipersiapkannya sebelumnya, dan...

Crasssh!

Kepala tanpa tubuh itu terpental ke arah mayat gadis muda yang meninggal tadi pagi.

"Kalau saja ibumu tak merusak pernikahan orang tuaku, kalian tak akan mati dengan mengenaskan. Hahaha...."

***

"Ada apa dengannya?"

"Entahlah. Sedari tadi ia tertawa. Mungkin aku harus segera menambahkan obat penenang untuknya."

"Penyakitnya tak akan hilang hanya dengan obat penenang, Dok!"

"Robert, tenanglah. Skizofrenia memang tak bisa disembuhkan, tapi rumah sakit jiwa ini akan selalu menjaga adik tirimu itu."

-----

SMAN 8 Pekanbaru, 28 Agustus 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 23 Agustus 2014

My Boyfriend

Parade Horor Komedi
My Boyfriend
Oleh Alya Annisaa
----
"Maaf, gue terlambat," ucapku sedikit terengah-engah.
"Lo jaga di UKS, ya!"
"Okay, Captain!"
Aku segera memasuki UKS. Lampu masih belum dihidupkan. Samar-samar kulihat seorang perempuan yang awalnya duduk di atas tempat tidur berjalan di belakangku.
"Nadhella, siapa yang keluar barusan?" tanyaku pada perempuan berjilbab panjang yang berdiri di pintu masuk.
"Siapa yang keluar? Enggak ada tuh. Lo salah liat kali."
"Lho? Tadi ada loh cewek pake seragam sekolah keluar. Dia enggak berjilbab."
"Lo lihat kakinya, gak?"
"Hmm... enggak."
Bukan rahasia lagi bahwa aku bisa menyaksikan makhluk dunia lain. Perempuan yang juga akan bersamaku berjaga di UKS itu mulai gugup.
"Jangan bercanda dong, Al. Gue takut, nih."
"Lupakan apa yang gue bilang ba—"
"Siapa nih? Alya, ya? Gue kira Princess Syahrini," potong Jessica yang baru saja masuk UKS. "Rambut lo ikal alami. Ditambah body yang seksi, bikin kakak kelas makin tergila-gila."
"Shut up! Lo pengen ya mulut lo gue sumpal pake sepatu?"
Aku paling muak mendengar ocehan teman-temanku mengenai tubuhku. Seolah-olah tubuhku sama 'hot' nya dengan pelajaran matematika yang memang 'hot' banget.

***

"Perkenalkan, Kakak adalah ketua PMR yang baru. Nama Kakak Alya Titania Annisaa' . Kelas XI IPA 8 aka. kelas bahasa Prancis."
"Statusnya apa nih, Kak?" celetuk salah satu adik kelasku yang duduk paling pojok.
"Status Kakak abu-abu, Dek. Hehehe...."
"Apaan tuh, Kak?"
"Maksudnya, Kak Alya ini lagi nunggu seseorang, Dek," ucap temanku yang paling jahil.
"Hei! Bukan gitu. Aku... aku cuma...."
"Cuma apa, ayo? Hahaha...."
Aku terdiam sesaat. Dengan menahan rasa gemas, aku kembali mengatur nafas dan mencairkan suasana.
"Sudahlah, itu tidak penting."
"Cantik sih, tapi kok galau mulu, ya?"
Suara berat dan cenderung menyeramkan itu bergema di ruangan kecil ini. Semuanya terdiam.
"Siapa sih yang ngomong kaya gitu? Tunjukkin diri lo dong! Jangan cuma omong yang gede!" kataku berapi-api.
Keheningan kembali merasuki. Wajahku yang merah padam menahan amarah membuat semua anggota tidak berani angkat bicara.
"Siapa yang ngomong tadi? Ayo jawab!" bentakku.
"Ooh... girlfriend
Lo cewek paling jutek
Muke lo lebih asem dari ketek
(ketek gue beib, ketek lo mah wangi)
Hobi lo bikin gue termehek-mehek…."
Lagu norak yang dinyanyikan oleh makhluk tanpa wujud itu sepertinya dikutip dari salah satu novel. Dengan muak kumenatap liar ke semua wajah yang hadir.
Cessy, adik kelasku yang duduk di sebelah pintu masuk, dengan wajah pucat dan gemetaran menunjuk ke seberang ruangan yang gelap.
Tanpa pikir panjang, aku pun melihat ke arah yang ditunjukkannya.
"Hallo, Beib." Sesosok makhluk tinggi besar menyeringai. Wajahnya yang dipenuhi belatung dan darah busuk, membuatku mematung. Dengan bangga ia memamerkan taringnya yang berlumuran darah segar.
"Kyaaa!" teriak suara di belakangku. Tanpa komando, semuanya pingsan. Kemudian hening sehening-heningnya. Tinggallah aku berdua dengan makhluk yang memang selalu mengikutiku.
***

Selasa, 19 Agustus 2014

Haruku

Oleh Bill Adithia Biru

-----

Namaku Haru, hanya Haru, tak ada tambahan Haru, dan tak ada Haru yang lain.

Aku bukan kebanggaan, bukan kesenangan, bukan kebahagiaan.

Hanya kesedihan, kegalauan, penderitaan saja.

Orang tuaku, Pak Senang, dan Bu Suka bahkan tak mau mengakui diriku.

"Apa yang bisa kami harapkan darimu? Bisanya hanya menangis saja!" bentak Pak Senang.

"Apa pula yang bisa kau berikan untuk kami? Air mata? Setetes? Sebotol? Segalon? Seberapa banyak pun tak berguna!" sentak Bu Suka.

Yah, seperti itulah kiranya jawaban yang selalu kudengar dari mereka saat aku bertanya tentang eksistensiku.

"Lihat kakakmu, Riang! Lihat adikmu, Gembira! Lihat dirimu, Haru! Cuih! Bahkan aku tak ingin melihatmu!" kompak mereka berdua mencercaku.

"Ini salah kalian memberiku nama Haru!" Tak terbendung air mataku mengalir.

"Berani kau membantah, Haru?! Pergi kau dari kami!" kakek Bahagia bahkan mengusirku.

Haruku semakin menjadi. Air mata yang semula rinai, berubah menganak sungai, tak berapa lama lagi mungkin menggeser posisi danau Toba.

Aku merana, melangkah menyusuri jalanan berpedang. Hitam dan biru tak berbeda. Hanya berjalan dan terus berjalan.

Mendekati persimpangan, aku menemukan sesuatu yang unik.

'Dia' bernama Aib. Aku katakan unik, karena bentuk tubuhnya yang fleksibel. Aib bisa sangat kecil lebih kecil dari butiran debu hingga tak terlihat. Atau sebaliknya, bisa membesar sangat besar melampau batas jarak pandang. Mungkin dia sejenis pahlawan super dalam dongeng Ramayana.

Hanya saja ada yang aneh darinya. Pakaiannya tidak pernah sesuai dengan keadaan. Terkadang dia mengenakan burdah dan gamis hingga menutupi seluruh tubuhnya; berjalan; bergaul dengan orang-orang yang telanjang; menebar pesona agar terlihat terpandang.

Terkadang dia bertelanjang dada; memamerkan bokongnya yang seksi; berkumpul diantara orang-orang berdasi tanpa rasa canggung sedikitpun.

Bahkan aku pernah melihatnya bugil tanpa busana; meliuk-liuk di atas panggung; diiringi riuh dua kubu besar dari Tawa dan Tangis; memadu padankan gaun Bibir antara senyuman dan cibiran.

Aib memang artis. Pasti dia bangga dengan dirinya yang fleksibel.

"Aku bukan kebanggaan atau sesuatu yang bisa dibanggakan. Seharusnya mereka menutupiku; mengunci mati aku dalam brankas besi berlapis tujuh, hingga tak ada seorang pun yang tau siapa aku," bantahnya saat aku menanyakan eksistensinya.

"Orang-orang disekitarku memang aneh. Mereka memandangku sebagai sesuatu yang wajib dilihat; memakaikan gaun-gaun yang indah lalu menelanjangiku. Hanya agar bibir mereka tidak datar saja. Lucu sekali bukan? Saat mereka begitu antusias padaku demi sekedar tertawa, mencibir, mencemooh, dan segala macam model fashion Bibir."

Haruku kembali menganak sungai, nyaris menggeser posisi Kapuas. Aku memeluknya erat merasakan hasrat merana penuh kerinduan. Rindu pada asal.

"Tapi aku bangga, karena berhasil mengalahkan saudaraku, Malu."

Cukup! Aku sangat mengerti tentang dirimu. Haruku kini bahkan melampaui Musi.

Sesaat kami melebur. Bersenggama layaknya Sahabat pada Ingkar; Suami pada Selingkuh; Remaja pada Perawan, dimana kamera lensa dunia siap merekam dan mengabarkan polah kami pada Angin.

Berkat Aib, aku sadar satu hal. Sekalipun aku bukan kebanggaan atau sesuatu yang bisa dibanggakan, aku bangga pada diriku sendiri.

Air mata, ya air matalah kebanggaanku.
Tiada sesiapapun di dunia ini yang tak merinai; meleleh; menganak; bahkan membanjir air matanya saat bertemu denganku.

Cukup Aib saja yang mampu meneguhkan langkahku untuk kembali pada keluargaku. Keluarga kakek Bahagia, yang meliputi Pak Senang, Bu Suka, kak Riang, adik Gembira, Paman Duka, Bibi Pilu, dan sepupu Tangis.

Aku bangga berdiri diantara mereka. Sekalipun eksistensiku diragukan, tapi aku ada.

NAD, 19 Agustus 2014

***


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 06 Agustus 2014

If You Love Me for Me (Cinta 6 Hari)

Parade Libur Lebaran (FF)

If You Love Me for Me (Cinta 6 Hari)
Oleh Alya Annisaa

Genre : Romance

Kisah nyata dengan sedikit pengubahan :v

-----

'Selama ada penggantinya, lo pasti bisa move on!'

Kalimat itu terus menghantui pikiranku. Bagaimana mungkin aku bisa menemukan penggantinya? Aku ... aku masih belum bisa melupakannya.

***

'Once a lass met a lad
You're a gentle one, said she
In my heart I'd be glad
If you loved me for me'

"Jangan sebut aku penggoda! Karena aku hanya merayu orang-orang hebat."
 
"Hei! Tak ada yang menyebutmu penggoda."

"Hahaha ... memang tidak ada. Itu hanyalah salah satu gombalanku untukmu," jawabku sambil tersenyum manis.

"Jadi, apakah aku sudah terjebak? Menyerahkan diri tanpa perlawanan? Berjalanan sendiri menuju jebakan?"

"Ya, ya, dan ya."

"Sekarang apa yang harus ku lakukan?" tanyanya dengan senyum jahil.

"Oh, duduklah dengan manis dan setialah padaku."

'You say your love is true
And I hope that it will be'

***

'I love you the way you are
And that will never change
That will never change'

Kau menyanyikan lagu itu untukku. Sungguh indah. Aku ingin selalu mendengar nyayian itu di semua suasana yang menyelimuti kita berdua.

***

'Could I be the one you're seeking?
Will I be the one you choose?
Can you tell my heart is speaking?
My eyes will give you clues'

Padahal baru saja kumeneguk manisnya cinta yang kauberi untukku. Namun kini ... aku harus kembali mengkaji hatiku dan terus bertanya-tanya, apakah kau masih pantas kucintai?

***

"Bullshit! Jangan pernah percaya sama mulut kelinci jantan! P-L-A-Y-E-R!"

"Lalu bagaimana? Mana yang lebih baik? Dilepasin atau kaga nih? Aku bingung, Kay."

"Terserah kamu aja. Kalau kamu masih sayang dia, kasih aja kesempatan dulu. Daripada nyesel padahal masih sayang."

"Tapi, Kay ..."

"I'm just like you . You're just like me. You'd never think that it was so. But now I've met you and I know. Yes I am a girl like you."

"Ha? Bagaimana bisa, Kay?"

"Dengar! Dulu aku juga pernah di dekatinya. Dia berjanji banyak hal padaku. Namun semua itu hanya omong kosong!"

"Kay ..."

"A heart that beats. A voice that speaks the truth. Yes I am a girl like you."

***

"Dont cheat. If you're unhappy, just leave," ucapku dengan linangan air mata.

Dia terdiam. Sesaat ia seperti ingin memelukku. Tapi tidak. Ia hanya mengusap lembut rambutku.

"Aku tak ingin memaksakanmu. Cinta bukan karena terpaksa. Aku tau aku tidak seperti yang kau inginkan." Aku masih terisak. Sulit sekali untuk berkata begitu.

"Maafkan aku ...," ucapnya lemah.

***

"Selama ada penggantinya, lo pasti bisa move on! Semangat, Al! Semangat! Ini bukan akhir dunia!"

-----

Sijunjung, 6 Agustus 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®