Sabtu, 02 Januari 2016

Midnight Meat Train

By Oetep Sutiana

Riyu mengerjap-ngerjap, pandangan matanya sedang menyesuaikan diri dengan kegelapan sekitar yang tiba-tiba muncul menggantikan benderang lampu halogen di langit-langit kabin kereta. Sama sekali ia tidak menyangka, keadaan cepat berubah tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Deru laju kereta terdengar riuh, sementara lampu-lampu di luar jendela kereta, berlarian-berlesakan dengan sangat cepat.
Riyu masih terduduk di dinding pintu bordes, rasa nyeri dan rembesan basah dari balik lengan baju yang membungkus tangannya mulai ia rasakan.
Ia tidak sedang tertidur ketika sosok itu--pria berjubah hitam dengan kepala bagian belakang tertutup hoodie back, sementara antara hidung dan dagunya tertutup masker--tiba-tiba muncul di hadapannya.
Riyu tersentak, deru angin hampir menampar wajahnya ketika tangan kirinya yang sedang memegang buku, refleks menangkis serangan benda ke arahnya. Riyu menjerit tatkala benda itu--sepintas mirip samurai--menggores tipis lengannya.
Dengan kekuatan yang ada di sela keterkejutannya, Riyu menyarangkan tendangan, setelahnya ia meloncat berlari dalam gerbong.
Riyu baru menyadari bahwa di dalam gerbong kereta itu tak ada siapa pun, kecuali pria itu dan dirinya.
Riyu kembali mengerjap. Dalam kegelapan, ia masih bisa merasakan bahwa sosok itu tengah mendekat. Dirinya tersudut, pintu bordes itu tidak bisa dibuka, terkunci sangat rapat.
"Siapa kamu?" Dalam ketakutan, Riyu berusaha bertanya. Napasnya memburu.
Tak ada jawaban kecuali geraman. Bunyi langkah itu terdengar kian mendekat. Riyu mencoba bangkit, tangannya--sekali lagi, mencoba menarik handle pintu bordes. Gagal. Hanya menghasilkan suara decitan logam.
"Apa yang kau inginkan dariku?" Riyu terus memberanikan diri bertanya. Degup jantungnya kian berpacu.
Masih tak ada jawaban selain geraman. Sosok itu diperkirakan Riyu kian mendekat. Tiba-tiba ia merasakan deru angin kencang melesat ke arahnya, lantas ia merasakan benda dingin merobek kulit lehernya. Riyu menjerit, serta-merta ia memegang logam lancip yang tertanam di lehernya. Otaknya bekerja dan menerka, benda itu: anak panah.
Riyu tidak bisa mempertahankan kesadarannya ketika darah di lehernya terus memancar, sebelum ia benar-benar hilang kesadaran, tubuhnya ditarik paksa oleh sosok tersebut. Ia menggelosor di atas lantai kabin kereta.
*****
"Terjadi lagi." Inspektur Yamada melempar koran di hadapan Inspektur Taka, tepat ketika lelaki itu selesai menandaskan kopinya.
"Nama korbannya, Riyu Mori," lanjut Inspektur Yamada.
"Kabar buruk bagi penduduk kota. Kita harus cepat bergerak. Apa rencana departemen kita selanjutnya?" Inspektur Taka menimpali. "Ini tidak bisa didiamkan, korban yang makin banyak seolah menampar ketidakbecusan kita."
"Kita harus menunggu perintah."
"Dan ... membiarkan korban berjatuhan lebih banyak lagi."
"Tapi...."
Inspektur Taka langsung memotong. "Tak ada kata menunggu."
Inspektur Taka tergesa keluar dari bilik kubikel ruang kerjanya, meninggalkan Inspektur Yamada yang masih geming pada posisinya.
*****
Angin dingin menderu, Ayumi membenarkan letak syal di lehernya. Ia merutuki keteledoran dirinya sendiri. Kalau saja ia tidak mabuk dalam pesta tadi, tak mungkin ia terlambat pulang.
Subway itu hanya dipenuhi beberapa orang, tiga atau empat. Hampir tengah malam dan hanya orang-orang sedang terdesak keperluan--seperti dirinya--yang terpaksa menikmati kelengangan malam di dalam gerbong Midnight Train.
Ayumi mendesah, seorang pria berjubah hitam dengan topi cowboy duduk di sebelahnya. Bayangan perihal berita di koran kota yang sedang gencar berlesakan ke permukaan pikirannya. Tentang pembunuhan perempuan-perempuan muda di dalam kereta, mendesirkan bulu kuduknya.
Ia mencelos, berusaha menenangkan diri. Kalau saja dirinya tidak terpaksa, mungkin ia tidak akan melakukan hal bodoh seperti saat ini.
Lima menit lagi kereta terakhir itu akan segera tiba. Pria di sampingnya semakin membuat jantung Ayumi berdegup kencang.
"Pulang kerja?" Pria itu bertanya. Ayumi hanya menggeleng.
"Habis pesta?" tanya pria itu sekali lagi. Ayumi tetap menggeleng. Ia tak berani beradu pandang dengan pria itu.
"Baiklah. Aku terlalu ingin tahu urusan orang lain. Maafkan aku," pungkasnya. Ayumi berusaha tersenyum.
Hening setelahnya. Beberapa saat kemudian, kereta yang ditunggu akhirnya tiba. Ayumi bergegas masuk diikuti pria tadi.
Gerbong itu hanya diisi oleh lima orang saja: Ayumi, pria tadi, dan tiga orang yang duduk satu bangku di ujung kabin. Pria itu sendiri, duduk terhalang lima kursi dari Ayumi.
Ia lega setelah mendapati bukan hanya dirinya dan pria tadi yang berada dalam gerbong. Ayumi memutar lagu di Ipod dan memasang earphone-nya kemudian.
Ayumi hampir tertidur ketika merasakan bahunya diraba oleh tangan seseorang. Ia menoleh, dan tak seorang pun di belakangnya. Ia tiba-tiba menyadari hal yang aneh mungkin sedang terjadi.
Ayumi kaget ketika mendapati, pria yang duduk di kursi depan telah hilang. Ia menyapu pandangannya, tiga orang di ujung kabin pun sudah tidak ada.
Ayumi berpikir cepat; apakah orang-orang tadi itu turun di stasion sebelumnya? Padahal, setahu dirinya, kereta itu dari semenjak ia naik, belum pernah berhenti. Stasion berikutnya pun masih 1 km lagi, ia hafal rute kereta tersebut.
Ayumi bangkit, pindah gerbong adalah tindakan paling masuk akal yang harus segera dilakukannya. Ia bergerak tepat ketika salah satu orang di ujung kabin muncul. Ayumi hampir bertanya, namun urung. Orang itu tiba-tiba terjerembab menghunjam lantai. Dan Ayumi baru sadar, wajah orang itu berdarah-darah. Sontak Ayumi mundur, orang itu tak lagi bergerak, darah tiba-tiba mengalir deras dari belakang kepalanya.
Belum habis keterkejutan Ayumi ketika sosok ber-hoodie back muncul di pintu bordes, suaranya menggeram. Ayumi sadar bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi padanya. Ia memutar tubuh, bergegas menuju gerbong belakang. Kepanikan segera menguasai dirinya. Ia berlari secepat yang ia bisa, sebelum semuanya terlambat.
Namun, langkahnya terhenti, lampu kabin tiba-tiba mati, suara laju kereta menderu.
Suara langkah kaki mendekat. Ayumi sama sekali tak tahu apa yang harus dilakukannya. Meloncat dari dalam kereta yang sedang melaju kencang, tentu saja bukan pilihan tepat. Itu sama saja melakukan bunuh diri.
Suara langkah kaki itu kian mendekat. Dalam rasa paniknya, Ayumi merasakan bahwa pintu bordes di belakangnya terbuka, sebuah tangan menariknya segera. "Ikuti aku," ucapnya dalam kegelapan. Seorang pria.
Seolah mendapatkan kesempatan emas, Ayumi mengikuti perintah itu. Ia segera bergerak.
Gerbong di depannya terang benderang. Ternyata, yang menarik tangan dirinya adalah pria yang hilang di hadapannya.
"Jangan takut, aku Inspektur Taka," ucapnya pelan. Ada rasa lega dalam diri Ayumi setelah mengetahui siapa pria itu. Namun, kelegaannya tak berlangsung lama. Sebuah anak panah melesat dan menancap tepat di belakang kepala pria di hadapannya.
Tubuh Sang Inspektur roboh berlinang darah segar. Ayumi menjerit. Sosok ber-hoodie back itu sudah berdiri tepat di pintu bordes. Ia menggeram. Ayumi terduduk, seluruh persendiannya seolah dilolosi.
Sosok itu merentangkan sebuah busur, anak panah siap meluncur ke arah sasaran. Ayumi tidak bisa bergerak. Kali ini ia pasrah. Dipejamkan kedua bola matanya lantas berdoa, berharap seseorang menolongnya.
Selain gemuruh laju kereta, tak ada tanda-tanda seseorang dalam kereta. Ayumi kian dibekap rasa takut, sekuat tenaga ia memejamkan mata. Kematian sedang berdiri angkuh di hadapannya. Sekali tarik, panah itu akan merobek batok kepalanya.
Sebelum itu terjadi ... dor!!! Sebuah letupan terdengar. Ayumi menyangka, bukan anak panah yang memecahkan batok kepalanya, tapi senapan. Namun, kenapa dirinya tak merasakan rasa sakit?
Ayumi mendengar bunyi gedebuk keras. Serta merta ia mebuka mata, sosok itu ternyata sudah ambruk dengan batok kepala pecah berhamburan. Pria lain berdiri dengan senapan masih terkokang.
Cibatu, 24 Desember 2015

0 komentar:

Posting Komentar