Sabtu, 02 Januari 2016

Dua Menit, Tiga Menit

By: Ihsan Fikrie

𝘉𝘪𝘭𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘦𝘮𝘢𝘺𝘢𝘮, 𝘵𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘴𝘪𝘳𝘯𝘺𝘢. 𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘬𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘶𝘯, 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘬𝘢𝘳𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘴𝘪𝘭 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘰𝘣𝘢𝘢𝘯. 𝘗𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘥𝘪𝘱𝘢𝘭𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘭𝘪-𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘤𝘢𝘱 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘶𝘢𝘵 𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘮𝘣𝘰𝘬, 𝘬𝘢𝘺𝘶, 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘳𝘪𝘱𝘭𝘦𝘬 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪𝘱𝘶𝘯. 𝘚𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘢𝘸𝘢𝘳. 𝘋𝘶𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘴𝘪𝘯. 𝘉𝘦𝘳𝘬𝘢𝘭𝘪-𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘢𝘯𝘪𝘴. 𝘚𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘪𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘨𝘶𝘳𝘳𝘳𝘪𝘪𝘩𝘩 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘪𝘯 (𝘭𝘩𝘰)! 𝘙𝘦𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵-𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵, 𝘵𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘬𝘶𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 …

***

Ini adalah hari terindah yang pernah ada. Langit begitu cerah, tapi suhu sama sekali tidak gerah. Bu Imas—guru Bahasa Indonesia—batal masuk kelas karena hidungnya berdarah. Aku berjalan setengah melompat-lompat seperti anak kecil, dengan senyumku yang merekah. Kalau sekarang aku bercermin, pastilah kedua pipiku semu merah.
Dua menit itu, dua menit yang paling menyenangkan! Betapa tidak, aku berhasil bicara dengannya. Kau percaya itu? Mulai sekarang, dia tahu namaku. Walau sekadar nama panggilan, bukan nama lengkap yang tertera di akta kelahiranku. Ah, benar-benar serasa mimpi aku sanggup mengatakan itu padanya. Percaya tidak percaya, dengan persentase ketidakpercayaan 99 persen.
Kau pasti ingin tahu bagaimana kejadiannya bukan? Oh, ya. Nama asliku Dewi Kirana, tetapi di akta tercetak Neng Dewi Kirana (entah dari mana asalnya tambahan itu). Sejak kecil, semuanya memanggilku Wiki dan aku juga terbiasa dipanggil begitu. Padahal, sebetulnya aku tidak suka. Membuatku terdengar lemah. Tahu kata ‘lemah’ dalam bahasa inggris kan? Ah, sudah cukup intermezonya. Akan aku ceritakan kejadian tadi saat lelaki itu belajar mengucap namaku.
“Hei, cowok! Traktir aku dong!” pintaku sok dekat saat bertemu dengannya di kantin.
“Hah?”
“Traktir. Tahu kan artinya?”
“Seenaknya! Memangnya kau siapa?”
“Aku Wiki dari 11 IPA 4.”
“Wiki?”
“Ingat baik-baik ya!”
Begitulah. Biasa saja bukan? Itu menurutmu. Lain dengan orang yang sedang kasmaran seperti aku. Setelah itu aku langsung berlari terbirit-birit ke kelas. Mungkin karena degup jantungku yang begitu cepat membuat adrenalinku terpacu.
Namanya Adrian. Orangnya putih, tinggi, badannya tegap berisi, dan suaranya serak-serak becek. Persis seperti Ariel Noah dengan wajah lebih tampan. Tujuh dari sepuluh banci pasti suka padanya. Apalagi aku sebagai wanita tulen. Aku jatuh padanya. Aku mati padanya. Kalau boleh, ingin sekali aku memotong kepalanya yang tampan itu untuk kupasang di dinding kamar, agar aku bisa memandanginya setiap bangun ataupun hendak terlelap.
Selama istirahat kedua berlangsung, aku hanya duduk manis di depan kelas. Kelasku dan kelasnya saling berhadapan. Aku bisa melihatnya sedang menulis dari balik jendela. Tiba-tiba kepalanya menoleh. Dia menoleh ke arahku. Aku langsung membuang muka. Berpura-pura tidak melihatnya. Bisa gawat kalau dia sampai curiga. Setelah beberapa saat, aku melirik lagi ke arahnya. Ya ampun, dia masih memandangiku sejak tadi. Ah, kepiting rebus! Pasti pipiku semerah makanan itu sekarang.

***

… 𝘒𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘭𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨, 𝘬𝘢𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘱𝘦𝘵𝘢𝘯𝘪𝘯𝘺𝘢. 𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘣𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬, 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘳𝘢𝘱, 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪 𝘱𝘶𝘱𝘶𝘬, 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘪𝘳𝘢𝘮𝘪, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘢𝘮 𝘣𝘦𝘯𝘪𝘩-𝘣𝘦𝘯𝘪𝘩 𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘯𝘢. 𝘋𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘶 𝘱𝘦𝘵𝘢𝘯𝘪, 𝘬𝘢𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘵𝘢𝘯𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘪𝘬. 𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘭𝘶𝘱𝘢 𝘫𝘢𝘥𝘸𝘢𝘭, 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘨𝘢 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘭𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘴𝘶𝘣𝘶𝘳 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘯𝘪𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘶𝘮𝘣𝘶𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘩𝘢𝘵. 𝘙𝘦𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵-𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵, 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘵𝘢𝘱𝘯𝘺𝘢 …

***

Pagi ini sungguh biasa. Normal. Tak seperti kemarin. Padahal matahari baru naik sepenggalan, tapi Adrian sudah dikerumuni oleh banyak perempuan-perempuan centil dan berisik. Aku memang berisik, tapi setidaknya aku tidak hiperbol seperti mereka. Huh, aku memang tidak suka pedas. Aku benci cabe. Apalagi cabe-cabean!
Kalau sedang kesal, aku ingin makan. Aku selalu membayangkan makanan yang masuk ke dalam mulutku adalah orang yang membuatku kesal itu. Kugigit, kukunyah, kukoyak dengan gigi taringku, lalu kutelan dengan lahap. Rasanya plong sekali.
“Bakso satu Mas!” pesanku pada Mas Guntur, penjual bakso di kantin sekolah.
“Campur?”
“Tidak pakai saus, tidak pakai sambel, juga tidak pakai kol.”
Aku mengisi satu-satunya meja yang kosong dengan dua kursi. Sekarang tinggal duduk menunggu dengan bosan. Di saat seperti inilah, pasti selalu terbayang momen-momen paling menyebalkan. Bagaimana mungkin Adrian bisa melihatku di antara puluhan wanita yang selalu mendekatinya? Aku terus mencari waktu yang tepat di saat ia sedang sendiri. Misalnya ketika ia sedang duduk menunggu di Tata Usaha untuk menyerahkan data diri pengajuan beasiswa. Belum sempat aku ngobrol, aku sudah dipanggil duluan ke dalam. Begitu aku keluar, giliran dia yang dipanggil masuk. Kalau aku Sponge Bob, pasti sudah kukatakan “Saus Tartar!”
Kletek! Semangkuk bakso mendarat di mejaku. Orang yang mengantarkannya lalu duduk di kursi di depanku, di meja yang sama.
“Punyamu,” ujarnya. Sebenarnya aku ingin mengucapkan terima kasih, tetapi suaraku menyangkut di tenggorokan saat mengetahui wajahnya. Aku hanya mengambil semangkuk bakso itu dan langsung menyantapnya.
Ya ampun, kenapa sekarang? Kenapa si Adrian ada di sini? Aku belum menyusun kata-kata yang pas untuk ngobrol. Aku masih terus melahap dan melahap lagi bakso itu. Rasanya makin asin. Pasti kuahnya sudah terkontaminasi oleh keringat dinginku yang bercucuran karena gugup. Aku tidak boleh terlihat bodoh. Aku harus menemukan topik pembicaraan.
“Emm .…”
“Ini baksonya, Dek Adrian!” Mas Guntur mengantarkan pesanan Adrian. Uh, mengganggu saja dia. Padahal baru satu emm yang aku katakan.
“Makasih, Mas!” jawab Adrian. “Oh, ya! Tadi kau mau bilang apa?”
“Bapakmu arsitek ya?” Alamak! Kenapa kata-kata itu yang keluar dari mulutku?
“Lebih tepatnya pemborong,” jawabnya tenang.
“Pemborong?”
“Kerjanya membangun bendungan, jembatan, dan jalan layang,” ujarnya sambil memasukkan bakso bulat ke mulutnya.
“Kau bisa?”
“Belum. Ilmuku baru sampai membangun rumah.”
“Kalau membangun rumah tangga bisa tidak?” Keceplosan! Mulutku lagi-lagi tidak terkontrol. Aku ini wanita, kenapa malah aku yang gombal? Aku sempat melihat Adrian tersedak dan pergi membeli air mineral. Langsung saja kujejalkan semua bakso di mangkuk sampai mulutku penuh, lalu berlari kembali ke kelas, setelah membayar tentunya.

***

… 𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘮𝘢𝘭𝘶. 𝘛𝘢𝘬 𝘦𝘯𝘢𝘬 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘳𝘢𝘩𝘢𝘴𝘪𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶. 𝘗𝘢𝘥𝘢𝘩𝘢𝘭 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘦𝘣𝘳𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯. 𝘚𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵𝘮𝘶 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪. 𝘔𝘦𝘯𝘪𝘬𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘸𝘢𝘫𝘢𝘩 𝘭𝘶𝘤𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘶 𝘱𝘢𝘮𝘦𝘳𝘬𝘢𝘯. 𝘔𝘦𝘮𝘣𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘦𝘬𝘢𝘵. 𝘚𝘦𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘥𝘦𝘬𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘫𝘢𝘳𝘢𝘬 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘥𝘶𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘢. 𝘗𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯. 𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘤𝘶𝘬𝘶𝘱. 𝘒𝘢𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘣𝘢𝘨𝘪𝘬𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘤𝘶𝘬𝘶𝘱. 𝘈𝘬𝘶 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘪𝘮𝘶. 𝘈𝘯𝘥𝘢𝘪 𝘢𝘺𝘢𝘩𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘳𝘶𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘨𝘦𝘯 𝘱𝘦𝘮𝘢𝘭𝘶-𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶, 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘫𝘢𝘥𝘪𝘯𝘺𝘢. 𝘙𝘦𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵-𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵, 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘵𝘢𝘱𝘯𝘺𝘢, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘵𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢. 𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘪𝘵𝘶, 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘧𝘰𝘬𝘶𝘴 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶 …

***

Keesokan harinya, entah kenapa suasana begitu berbeda dari sebelumnya. Langit mendung, padahal bukan di kota hujan. Hawa dingin membuat meriang seluruh badan. Angin pun berhembus dengan ragu-ragu, kadang kencang, kadang pelan. Yang terpenting dari semuanya, sejak pagi aku belum melihat dadanya yang bidang, Adrian.
Kuputuskan untuk ke kantin dan membeli bakso. Lagi.
“Mas, pesan baksonya setengah, mie-nya setengah, bihunnya setegah, kuahnya setengah!”
“Lho, kok pesennya setengah-setengah Neng?”
“Lagi diet.”
“Oh, pantesan. Ya sudah, nanti saya bikinin.”
“Oke. Pesennya porsi dobel ya Mas!”
Saat itu Mas Guntur menyadari kalau aku sedang bergurau. Tapi tidak ada tawa di mulutnya.
“Garing!” cuma itu tanggapannya. “Oh iya! Tadi ada yang nitip ini sama saya. Katanya buat Neng Wiki.”
Mas Guntur memberikan selembar amplop. Apa ini? Uangkah isinya? Aku membukanya dan melihat bahwa ternyata isinya selembar kertas berisi tulisan yang sangat banyak. Duh, aku sedang malas membaca. Mana baksoku sudah tiba. Tapi sepertinya pesan ini cukup penting. Yah, mau bagaimana lagi. Dengan terpaksa aku pun mulai membacanya:

“𝘉𝘪𝘭𝘢 𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘦𝘮𝘢𝘺𝘢𝘮, 𝘵𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘴𝘪𝘳𝘯𝘺𝘢 …”

***

… 𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘬𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘥𝘦𝘵𝘪𝘬-𝘥𝘦𝘵𝘪𝘬 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶. 𝘋𝘪 𝘳𝘶𝘢𝘯𝘨 𝘛𝘢𝘵𝘢 𝘜𝘴𝘢𝘩𝘢, 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘰𝘣𝘳𝘰𝘭. 𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘢𝘬𝘵𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘶 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘦𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘴-𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘴𝘮𝘶. 𝘕𝘦𝘯𝘨 𝘋𝘦𝘸𝘪 𝘒𝘪𝘳𝘢𝘯𝘢. 𝘕𝘢𝘮𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘶𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘯𝘢. 𝘔𝘢𝘬𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘬𝘦𝘫𝘶𝘵 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘵𝘪𝘣𝘢-𝘵𝘪𝘣𝘢 𝘬𝘢𝘶 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘵𝘳𝘢𝘬𝘵𝘪𝘳, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘶𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘯𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘞𝘪𝘬𝘪. 𝘓𝘢𝘭𝘶, 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘶 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘬𝘴𝘰. 𝘉𝘦𝘳𝘶𝘯𝘵𝘶𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘫𝘢𝘮𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘰𝘴𝘰𝘯𝘨, 𝘢𝘬𝘶 𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘥𝘶𝘥𝘶𝘬 𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘯𝘢. 𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘴𝘶𝘭𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘪𝘳𝘶𝘱 𝘯𝘢𝘱𝘢𝘴 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶. 𝘙𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘨𝘢? 𝘏𝘢𝘩𝘢… 𝘛𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘬𝘢𝘶 𝘱𝘪𝘯𝘵𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘰𝘮𝘣𝘢𝘭 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘺𝘢. 𝘈𝘴𝘢𝘭 𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘵𝘪𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘵 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘬𝘴𝘰 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢𝘮𝘶, 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘬𝘶𝘭𝘶𝘱𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢. 𝘏𝘦𝘮𝘮𝘩… 𝘚𝘶𝘳𝘢𝘵 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘮𝘱𝘢𝘶 𝘱𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨.

𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘢𝘬𝘶𝘵 𝘬𝘢𝘶 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘰𝘴𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢𝘯𝘺𝘢. 𝘔𝘢𝘢𝘧 𝘺𝘢, 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘦𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘨𝘦𝘯𝘵𝘭𝘦 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘶𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘦𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨. 𝘈𝘬𝘶 𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘱𝘪𝘴𝘢𝘩𝘢𝘯. 𝘠𝘢, 𝘢𝘺𝘢𝘩𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘰𝘳𝘰𝘯𝘨, 𝘬𝘦𝘳𝘫𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘵𝘢𝘱. 𝘈𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘳𝘰𝘺𝘦𝘬 𝘣𝘢𝘳𝘶. 𝘚𝘢𝘵𝘶 𝘩𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘱𝘦 𝘭𝘦𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘮𝘢𝘪𝘯-𝘮𝘢𝘪𝘯 𝘴𝘰𝘢𝘭 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯. 𝘜𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘪, 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘳𝘪𝘶𝘴. 𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘦𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢. 𝘗𝘦𝘳𝘭𝘶 𝘳𝘢𝘵𝘶𝘴𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘳𝘪𝘣𝘶𝘢𝘯 𝘢𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘸𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢. 𝘋𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘶 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘮𝘪𝘭𝘺𝘢𝘳 𝘢𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘶𝘣𝘶𝘵𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯.

𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪. 𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪. 𝘉𝘦𝘣𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘢𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘶𝘯𝘫𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘦 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩𝘮𝘶. 𝘉𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘮𝘶𝘪𝘮𝘶, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘮𝘶𝘪 𝘪𝘣𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘱𝘢𝘬𝘮𝘶. 𝘚𝘢𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘵𝘶, 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘶 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪 𝘺𝘢! 𝘏𝘦𝘩𝘦 …
𝘈𝘥𝘳𝘪𝘢𝘯

____
repost from PANCHAKE

0 komentar:

Posting Komentar