Belenggu Adat
Oleh Nia dan Alya Annisaa
"Lo yakin, May?" tanya Lugas sembari membolak-balik tumpukan kertas dihadapannya.
"Yakin, Gas! Ini berita menarik!" Maya tersenyum mantap.
"Ok. Kita berangkat besok." Maya mengangguk.
* * *
Perlahan matahari merangkak naik, pancaran cahayanya merebak kepenjuru dunia.
Dengan penuh semangat Maya beranjak, diraih handuk yang tersampir ditempat duduknya dan bergegas ia menuju kamar mandi. Setelah persiapannya dirasa cukup, ia buru-buru keluar dari apartemen, menghampiri Lugas yang sedari tadi menunggunya.
"Siap nona?" tanya Lugas seraya membukakan pintu mobil, mempersilahkan Maya untuk masuk.
Maya tersenyum simpul. "Gue udah dapet informasinya cuma belum jelas, nih!" ucap Maya menyerahkan lipatan kertas pada Lugas.
* * *
Desa Kajang, itulah tempat tujuan mereka. Sebagai seorang wartawan, Maya dan Lugas merinci pekerjaannya untuk bertugas mencari berita, serta karena ditugaskan sebagai pewarta foto, maka Maya dan Lugas mencari berita menggunakan kamera untuk menghasilkan foto berita. Karena profesinya Maya dan Lugas termasuk kedalam profesi yang menggeluti media rekam (foto,televisi, dsb) maka ketika meliput sebuah peristiwa dan membutuhkan foto dari kejadian tersebut, Maya dan Lugas harus mendatangi lokasi. Berbeda dengan wartawan tulis, mereka bisa mendapatkan informasi melalui wawancara jarak jauh, seperti telepon, memantau release, atau dewasa ini sering kali menggunakan jejaring sosial yang menjadi rujukan.
Perjalanan yang Maya dan Lugas lalui hampir tanpa halangan dan rintangan. Tapi ketika mulai memasuki hutan, mobil yang mereka kendarai mogok dan terpaksa harus mereka tinggalkan begitu saja. Perjalanan masih jauh. Masih 3 kilometer lagi untuk sampai ke tempat tujuan.
Di ufuk barat, terlihat matahari akan kembali ke paraduannya. Melihat hal itu Maya menjadi sedikit cemas.
"Gas, masih jauh?"
"Enggak tau, seharusnya kita udah sampe dari tadi. Apa jangan-jangan kita tersesat?"
"Ih, masa' baca peta aja gak bisa sih lo? Sini!" Maya mengamati peta dengan saksama. Betul kata Lugas, seharusnya mereka telah sampai di Desa Kajang.
"Sekarang kita dimana, Gas? Gue... Gue takut," ucap Maya perlahan.
"Ah udah diem. Mending kita lanjutin perjalanan daripada ntar keburu gelap," ajak Lugas.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dalam diam. Setelah hampir setengah jam, Lugas menyadari sesuatu yang ganjil. Tak ada ocehan dari si cerewet Maya. Maya menghilang!
Dengan panik Lugas mencoba menghidupkan senter yang dibawanya.
"Alah! Ini senter mana gak mau hidup lagi. Sial!" umpat Lugas.
"Maya! Lo dimana? Maya!!!"
Sekelebat bayangan bergerak dibalik rimbunnya semak belukar di belakang Lugas.
"May! Ini gak lucu! Kalo lo gak mau keluar, gue tinggalin!" ancam Lugas. Tapi tak ada sahutan. Hanya gemerisik dedaunan tertiup angin yang terdengar.
Udara malam berhembus kencang menerpa wajah Lugas. Ia merapatkan jaketnya kemudian bersandar pada pohon besar. Keadaan yang gelap gulita tidak memungkinkan untuk dirinya masuk lebih jauh lagi kedalam hutan.
"Moga aja dia balik ke mobil, nggak bener-bener ngilang. Stres gue May!" cerocos Lugas. Tanpa ia sadari, dibalik semak belukar ada berpuluh-puluh mata sedang mengawasinya.
Mata Lugas terpejam beberapa saat, hingga sebuah tepukan membuatnya terjaga.
"Gas," Maya tersenyum, sebelah tangannya menggenggam sebuah senter.
Mata Lugas berbinar. Langsung ia peluk tubuh Maya.
"Lo buat gue panik," bisik Lugas lirih.
"Sorry. Gue balik ke mobil ambil ini," ucap Maya seraya menunjukan kompas dan beberapa makanan ringan yang ditentengnya.
"Abisnya lo ngloyor aja ninggal gue. Gimana mau ngasih tau."
* * *
Cahaya matahari bersinar terik, menerobos rerimbunan daun yang membentuk kenopi-kenopi diujung batangnya.
Maya menarik tubuh Lugas yang tengah berbaring, "Come on. Gas! Udah siang."
Dengan malas Lugas beranjak, mengekor Maya yang sudah lima langkah didepannya.
Jalanan terjal berbatu, juga ranting-ranting tajam yang sesekali menggores lengan Maya, tidak menyurutkan langkahnya untuk sampai ke Desa Kajang. Pandangannya teralihkan pada sesuatu didepannya.
"Aha ... Lo liat deh, itu pasti desa mereka!" Maya menunjuk deretan rumah panggung yang berjejer rapi menyerupai rumah panggung suku Bugis-Makassar.
Maya mengajak Lugas masuk ke dalam rumah yang terlihat lebih sederhana dibandingkan lainnya.
"Tau beru, cera' assi'pa'," ucap Maya yang dijawab senyum dan anggukan laki-laki didepan mereka; Maya pamit.
"Lo ngomong apa sih tadi?" tanya Lugas.
"Itu tetua desa. Biasa dipanggil Ammatowa. Gue minta ijin meliput berita disini."
"Oo," jawab Lugas sambil memamerkan snack yang baru saja masuk ke mulutnya.
***
Kedatangan Maya dan Lugas disambut hangat oleh penduduk desa. Meskipun mereka lebih banyak diam dan hanya menyunggingkan seulas senyum ketika berpapasan.
Sudah tiga malam mereka menginap di Desa Kajang--perkampungan yang terkenal dengan hukum adatnya yang
sangat kental.
Malam ini merupakan malam purnama. Dari balik jendela, Maya tersenyum menatap bulan yang bersinar terang. Ia merasakan kesejukan menjalari seluruh tubuhnya.
"May, gue ke kamar duluan ya." Lugas mengucek matanya yang memerah karena kantuk yang menyerangnya. Perlahan matanya mulai terpejam, mengantarkannya pada alam mimpi.
* * *
Upacara akan segera di mulai, penduduk berkumpul membentuk lingkaran. Di bawah sinar purnama seorang gadis mulai menari. Seiring mantra yang dirapalkan penduduk, ia berputar mengitari pria yang terbujur lemah dengan tubuh terikat.
Tidak menunggu lama, Ammatowa menancapkan tombaknya tepat di dada pria itu.
"Akh ... " jeritan pilu melengking, membuat miris siapa saja yang mendengarnya.
"Tidakkk ..." gadis itu melangkah mendekati
tubuh yang telah bermandikan darah. Air mata mengucur deras dari pelupuk matanya.
Sekali lagi Ammatowa menancapkan tombaknya. Kali ini tepat di jantung pria tersebut, membuat pria tersebut merasakan tajamnya ujung tombak yang terbuat dari batu obsidian itu.
Mereka--penduduk desa mulai mendekat, berebut mendapatkan jatah masing-masing.
"Maafin gue, Gas! Gue harus ngelakuin ini demi keabadian, demi kampung gue." Maya tersungkur.
"Lo harus tau, bukan cuma lo aja yang pernah kesini lalu mati menjadi santapan kami. Banyak, Gas! Banyak! Selama berpuluh-puluh tahun kami tetap melaksanakan ritual ini. Ritual sadis dengan membunuh manusia yang bukan termasuk kelompok kami. Semua salah mereka!" Mata Maya menerawang jauh. Terbersit penyesalan pada dirinya. Namun belenggu adat memaksanya melakukan hal keji itu demi keabadian Desa Kajang, kampung halamannya.
"Mereka orang-orang bodoh berkulit putih yang singgah di desa kami. Awalnya kami menerima mereka dengan tangan terbuka. Namun ketika mereka mulai mencampuri adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur kami, kami tidak terima! Kami memberontak! Kami harus tetap mempertahankan apa yang telah diajarkan oleh nenek moyang kami!
"Tapi kami tak sadar salah satu dari mereka adalah seorang ahli ilmu hitam. Kami memburunya. Dan sebelum meninggal ia mengutuk kami! Mengutuk kami, Gas! Mengutuk kami menjadi makhluk menjijikkan yang tak bisa terkena sinar matahari. Tentu saja kami sadar kami tak akan bertahan lama jika keadaannya tetap begitu.
"Lalu Ammatowa memohon pada Sang Penguasa Kegelapan untuk membantu kami. Akhirnya kami dapat kembali keluar rumah pada siang hari. Tapi setiap Purnama Agung muncul, kami harus makan daging manusia! Harus! Agar kami tetap dapat hidup dan melanjutkan kehidupan kami," jelas Maya panjang lebar. Lugas yang sedang diambang maut masih sempat mendengarkannya, namun tak bisa berkata apa-apa.
Tiba-tiba lengkingan tawa yang ganjil dan pahit terdengar, membuat para binatang hutan terbangun dari tidurnya. Mereka sadar, suatu hal yang buruk telah terjadi di sudut malam yang lain.
Angin bertiup kencang, sesekali terdengar lolongan serigala di berbagai penjuru.
Dengan sigap mereka mulai mencabik-cabik
tubuh Lugas --menggigit dan mengunyah bagian yang mereka
dapatkan.
Maya menggenggam jantung yang sudah tak berdetak itu. Menjilat dan melahapnya dengan buas.
***
Seminggu kemudian berita tentang
hilangnya 2 orang wartawan muncul di surat kabar. Pria yang tengah membaca berita itu hanya bisa menggelengkan kepala--prihatin.
"Ada apa, Dim?"
"Dua orang wartawan hilang di pedalaman
Makassar," ucap Dimas masih fokus dengan koran yang digenggamannya.
"Nasib mereka buruk sekali. Kasihan."
"Sepertinya aku ingin memastikan apa mereka benar menghilang atau hanya tersesat," ucap detektif muda yang juga kekasih wanita yang duduk disebelahnya.
Wanita itu menyeringai licik.
***
Pekanbaru, 2 Juli 2014.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
0 komentar:
Posting Komentar