Pertalian Darah
Oleh Alya Annisaa dan Hikmawan Ali Nova
-----
Aku Tita. Umurku 10 tahun. Semenjak tinggal di desa ini, kehidupan keluargaku berangsur-angsur membaik. Ya benar! Kami selalu berpindah-pindah. Semacam nomaden begitulah.
Setiap tiga hari sekali aku berkeliling desa membagi-bagikan buah hasil kebun orang tuaku. Karena itulah aku cepat hapal nama-nama tetangga kami. Sangat menyenangkan sekali bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Aku harap selamanya bisa terus begini. Diselimuti kebahagiaan, maksudku.
Pagi ini truk pengangkut barang untuk pindahan melewati rumah kami. Sepertinya kami mendapatkan tetangga baru. Mungkin aku harus pergi menyapanya dan membantunya memindahkan barang-barang sore nanti.
***
"Selamat sore, Nek. Saya Tita, penduduk desa ini. Mungkin saya bisa membantu memindahkan barang-barang bawaan nenek."
"Selamat sore, Nak. Oh, kau sangat baik sekali. Apakah kau bisa membawakan barang-barang yang kecil dan ringan itu? Orang-orang pengangkut barang hanya menurunkannya tanpa membantuku membawanya masuk kedalam rumah."
"Tentu saja, Nek. Dengan senang hati," kata gadis muda itu sambil tersenyum simpul.
Tak banyak barang bawaan nenek tersebut. Hanya beberapa koper, pecah belah, kotak-kotak yang entah berisi apa, dan lemari kecil. 'Tak seperti orang pindahan biasanya,' pikir Tita. Tapi gadis muda itu tetap dengan semangatnya yang membuncah membantu nenek tua yang baru datang ke desa mereka.
Setelah selesai membantu membereskan barang, Tita berpamitan. Namun nenek tak mengizinkannya.
"Duduklah dan temani aku sebentar. Tak inginkah kau mencicipi beberapa potong kue lezat ini?"
Mata Tita membulat melihat brownies cokelat terpampang di depan hidungnya. Dengan tak sabar, kemudian ia mengambil potongan yang paling besar. Nenek hanya bisa tersenyum geli melihatnya.
"Datanglah kapanpun kau mau. Aku akan memanggang scone dan beberapa kue lainnya untukmu. Kau mungkin juga akan mencoba teh hijau -yang kubawa ini- yang sangat baik untuk tubuhmu."
Dengan mulut yang penuh, Tita mengangguk. Ia senang sekali. Tak perlu banyak pertimbangan, ia pasti akan datang lagi berkunjung ke rumah tua bercat kuning gading tersebut.
***
Setiap beberapa hari sekali Tita berkunjung ke rumah nenek itu. Rumah bergaya klasik tua itu seakan telah menjadi rumah ke 2 nya. Tapi ia tak sadar semakin ia merasa nyaman dengan hangatnya sambutan dari nenek itu, sesuatu yang buruk semakin dekat menyelimutinya.
***
Pada malam ini bulan baru akan muncul. Seperti yang kita ketahui, banyak sekali orang yang melakukan ritual penyembahan setan pada saat seperti ini. Sang Penguasa Kegelapan yang haus darah akan kembali menyergap siapapun yang datang kepadanya.
Seperti biasa Tita mengunjungi nenek itu. Namun sebelum pergi, Ibu Tita sempat tak mengizinkan Tita pulang terlalu malam. Tapi Tita bersikeras dan bergegas pergi ke rumah nenek.
Tak terasa mentari hampir tenggelam di ufuk barat, tapi nenek tetap tak membiarkan Tita pulang. Tita tak menaruh curiga pada nenek karena nenek sangat baik padanya.
"Tambahlah tehmu dan tinggallah untuk beberapa saat lagi," ucap nenek dengan lembut.
Dengan senang hati Tita menuangkan teh dari teko ke cangkirnya lalu meminumnya. Tak beberapa saat kemudian kepala Tita terasa pusing dan akhirnya ia pun pingsan.
***
Tak banyak yang Tita ingat sebelum ia pingsan. Terakhir yang ia lihat nenek tersenyum pahit sambil menatapnya. Kini yang ia tahu ia berada di dalam kegelapan. Ya, tangannya juga terikat pada sesuatu. Tita mencoba berteriak namun tak bisa. Mulutnya tersumpal.
Ditengah kegelisahannya itu, Tita melihat seseorang masuk ke ruangan tempat Tita berada. Seseorang itu menyalakan lilin yang sudah terpasang disekeliling Tita. Tita sangat terkejut ketika mengetahui bahwa seseorang itu adalah sang nenek yang biasa ia kunjungi. Ia sangat bingung dan tidak mengerti. Namun perasaan itu hanya datang sesaat karena Tita melihat nenek membakar ujung pisau dapur.
"Maafkan aku. Seharusnya kau tak perlu menjadi tumbal. Aku sangat menyayangimu. Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Aku terbelenggu janji pada Sang Penguasa Kegelapan. Janji yang harus kulaksanakan adalah membunuh seorang anak perempuan yang lahir di saat gerhana bulan terjadi. Sekali lagi, maafkan aku," ucap nenek lirih.
Tita sangat ketakutan. Nenek berjalan mengelilingi Tita dengan membawa pisau yang ujungnya memancarkan warna merah dan sambil membacakan matera. Pelan tapi pasti, akhirnya nenek mendekat ke arah Tita dengan tangan yang gemetar menggenggam pisau.
Tita bisa merasakan pisau itu telah berada dikulitnya, ia pasrah dgn apa yang akan terjadi selanjutnya. Tiba-tiba pintu terhempas. Seorang wanita telah menerjang pintu itu.
"Hentikan! Ini ritual bodoh yang tak seharusnya kau lakukan, apalagi dia cucumu! Aku tak menyangka kau akan menemukan kami dan tetap melakukan ritual ini, Ibu."
Tenggorokan Tita tercekat. Ia tak menyangka sosok renta yang ingin membunuhnya itu adalah neneknya sendiri.
"Kau tak perlu ikut campur, Nia! Pergilah dan relakan anakmu!"
"Aku tak pernah menyakiti Tita. Tapi kau ingin membunuhnya. Sebagai orang yang masih waras, aku takkan membiarkan itu terjadi, Ibu!"
Perkelahian terjadi. Hingga akhirnya ibu Tita menancapkan pisau yang telah dipanaskan tadi tepat ke jantung sang nenek.
"Arghhhhh..."
"Aku... Aku hanya ingin menyelamatkan puteriku , Ibu. Maafkan aku." Air mata dengan derasnya mengalir menuruni pipi wanita dewasa itu.
"Kau tau, Nia. Desa tempat kelahiranmu itu terkutuk! Aku... Uhuk uhuk... Bersumpah atas nama Penguasa Kege... la... pan." Nenek tak bergerak lagi.
Nia melepaskan ikatan tali yang melilit tubuh Tita kemudian memeluk erat puterinya itu.
"Tita, maafkanlah nenekmu. Ia hanya... Dengar, sepuluh tahun yang lalu desa tempat kelahiran ibu mengalami musim penceklik. Kemarau yang panjang membuat banyak warga desa yang meninggal. Pada saat itulah, nenekmu sebagai ketua suku mengucap sumpah akan membunuh seorang anak perempuan yang lahir pada saat gerhana bulan ketika waktu telah genap 10 tahun dan pada saat bulan baru muncul. Sang Penguasa Kegelapan menerima sumpah tersebut dan sebagai gantinya ia menurunkan hujan yang sangat lebat di desa itu,
"Namun sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Kau lahir pada saat gerhana bulan muncul. Karena ketakutan, ibu dan ayah membawamu kabur dari kampung dan hidup berpindah-pindah tempat dengan harapan nenekmu tak dapat menemukan kita. Tapi dengan bantuan Sang Penguasa Kegelapan, nenek berhasil melacak keberadaan kita dan hampir membunuhmu."
Tita tertegun mendengar perkataan ibunya.
"Bu, itu adalah cerita terburuk yang pernah kudengar," kata Tita sambil tersenyum sedih. Tapi ia tahu itu adalah cerita yang paling tragis yang pernah terjadi dalam hidupnya. Tita berjanji dalam hati ia takkan pernah akan dilupakannya.
***
Pekanbaru, 2 Juli 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
0 komentar:
Posting Komentar