Minggu, 25 Mei 2014

ADOLESCENTULA M.A.T.I (Part 2)

Genre : Fiksi Horor
Penulis : Momo Angelina

Bangsal itu sangat sepi, kuperkirakan adegan hitam putih ini terjadi di malam hari. Suasananya begitu hening. Namun tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara jeritan di dalam kamarku – yang kini sudah berwarna hitam putih juga.

Seorang gadis kecil berpiyama bergerak dengan gerakan aneh di tempat tidurnya, berkelojotan dengan mata membelalak lebar dan mulutnya mengeluarkan busa. Seorang suster berusaha mati-matian menahan tubuh gadis itu agar tidak terlempar dari tempat tidur.

Sebagian tubuh gadis itu kuperhatikan lebih hitam dari bagian tubuh lainnya. Dokter yang menanganinya tampak panik.
"Sepertinya *carbamazepine-nya. *SJS, bagaimana ini Dok?"tanya suster dengan nada yang tak kalah panik.

Gadis kecil itu tak berhenti kejang-kejang, dan walau mukanya membengkak dan menghitam, aku tahu persis bahwa itu gadis yang pernah melihatku dari bawah pohon. Bola kuning yang selalu ia mainkan pun ada di kamar itu.
"Ambilkan *hidrokortison!"seru dokter itu cepat.

Suster itu berlari keluar melewatiku. Aku meringis ngeri melihat keadaan gadis mungil itu. Kejangnya perlahan reda, hanya kepala-nya yang sesekali tersentak kuat. Tapi tak lama kemudian lengannya yang sedari tapi mengepal kuat, kini terkulai lemah di pinggir tempat tidur.

Suster itu kembali dengan cepat sambil membawa nampan, namun ia berhenti ketika ia melihat dokter menutup wajah gadis kecil itu dengan selimut.

Semacam sengatan listrik terjadi lagi, dan pemandangan yang kulihat kembali berubah. Kasur tempat gadis kecil tadi tertidur kini sudah kosong dan bersih. Namun aku melihat sosok si dokter bersama seorang pria (yang tidak nampak seperti orang medis) sedang mendorong sebuah *blangkar keluar rumah sakit.

Dengan kepala pening seperti dibelah dua, aku berusaha mengejar kedua orang itu. Aku berjalan sempoyongan, berusaha mengatur napasku sambil terus meremas kerah piyamaku. Aku akhirnya bersandar di dinding rumah sakit, kehabisan tenaga dan napas. Mimpi tidak seharusnya senyata dan sesakit ini kan?

Lalu kurasakan sentuhan lembut di telapak tanganku. Gadis kecil pemilik bola kuning itu menempelkan pipinya ke punggung tanganku. Ia kemudian menengadah, melihatku dengan pandangan memelas.

Aku tahu. Aku tahu.

Kupaksakan dan kuseret kedua kakiku ke halaman rumah sakit. Pandanganku mulai mengabur, namun aku masih bisa melihat kedua orang itu menggali sesuatu di bawah pohon. Kuangkat tanganku seolah ingin meraih mereka, dan...

DEG!

Sebuah sentakan keras bertalu di dadaku. Aku hanya sempat mengambil sehela napas dan aku pun ambruk ke tanah.
***

Tetes-tetes dingin embun membasahi pipiku.

Kubuka mataku perlahan, dan segera kututup kembali karena mataku kelilipan ujung rumput yang basah.

Bau embun dan rumput segera memenuhi rongga hidungku. Sinar matahari memang belum sepenuhnya muncul, tapi suara burung yang berkicau sudah mulai terdengar. Hari sudah pagi, aku tersadar.

Dengan tenaga sepenuhnya pulih (yang aku juga bingung kok bisa. Aku begitu habis-habisan tadi malam dan seharusnya aku bahkan tak punya tenaga untuk mengunyah sekarang) dan bertopang dengan kedua tangan, aku berusaha untuk bangkit.

Lalu kurasakan kakiku tersangkut sesuatu, dan aku berbalik untuk melepaskan apapun yang tersangkut di kakiku.

Dan aku melihat jemari putih kurus yang sudah menjadi tulang belulang keluar dari dalam tanah, menggengam pergelangan kakiku dengan erat.

Tanpa sadar aku tersenyum dan mengelusnya.
"Ternyata kau di situ ya. Jangan khawatir, aku sudah menemukanmu. Istirahatlah dengan tenang."
***

Polisi segera mengamankan mayat Emi – nama gadis itu – dan memasang garis pengaman di sekitar pohon taman belakang. Aku lega bahwa dokter yang menangani Emi dulu sudah ditangkap dan kini sedang diperiksa. Ia mungkin akan dijadikan terdakwa dengan tuduhan malpraktek. Entahlah, aku tidak begitu mengerti hukum. Pokoknya selama dokter itu harus membayar apa yang ia lakukan, aku cukup puas.

Kini aku kembali berbaring dengan nyaman di tempat tidurku dengan perasaan lebih enak. Kejadian beberapa hari yang lalu serasa berlangsung berminggu-minggu dan menguras habis tenaga dan pikiranku.

Kabar bagusnya, dokter menyatakan bahwa kondisiku sudah lebih baik dan bisa meninggalkan rumah sakit dalam beberapa hari lagi. Ibu juga sudah mengambil cuti dan akan menghabiskan liburan denganku. Keadaan tak bisa lebih bagus lagi.

Aku mendengar suara pintu diketuk dan seorang suster bertumbuh agak gempal masuk ke dalam.
"Siang Yuki. Saya Suster Ana, yang dulu pernah menangani Emi."

Ah, aku akhirnya mengingatnya sebagai suster yang kulihat di memori hitam putih Emi. Tapi aku tidak akan menceritakannya pada suster ini bahwa aku pernah melihatnya, bisa-bisa aku ditahan lagi di rumah sakit untuk kasus yang berbeda.
"Siang. Ada apa ya?"tanyaku tanpa basa basi.

Suster Ana tersenyum dan menyeret kursi untuk duduk di sampingku.
"Saya cuma mau mengucapkan terima kasih karena sudah menemukan Emi. Anak itu baik sekali. Waktu dia meninggal saya sedih. Dokter Henry bilang kalau mayatnya sudah dikembalikan dan dimakamkan oleh panti asuhannya, dan saya disuruh tutup mulut tentang kesalahan pengobatan yang dia perbuat. Kalau saya berani macam-macam, saya diancam akan diberhentikan dari sini, padahal saya sedang butuh uang waktu itu. Tapi saya mengaku salah juga. Saya terima kalau harus dihukum"

Aku mulai tertarik pada cerita Suster Ana. "Suster, Emi dari panti asuhan?"

Suster Ana mengangguk antusias. "Emi itu anak yatim piatu yang dirawat di sini karena epilepsinya sudah parah. Anaknya baik sekali, dia suka bermain dengan pasien sini."

Aku mengangguk.
"Syukurlah" lanjut Suster Ana "kalau sudah ketemu begini, Ema juga mungkin akan tenang ya."

Dahiku mengernyit. "Ema, Sus?"
"Ema itu kakak kembar Emi. Dia meninggal duluan karena penyakit yang sama namun terlambat ditangani. Dia juga anak baik, dia suka menyanyi Twinkle Twinkle Little Star, membuat kami tertawa karena dia begitu manis. Rasanya aku punya foto mereka berdua. Mana ya?"

Aku tak mendengar perkataan Suster Ana. Ataupun tertarik untuk melihat foto si kembar.

Yang kurasakan hanya punggungku mendingin. Dan kurasakan rambutku ditarik lagi dari belakang.

Samar, kudengar suara berbisik yang sudah kukenal di telingaku, menyanyikan lagu yang kini sudah bisa kutebak judulnya.
Twinkle twinkle little star...
How I wonder what you are...

Aku tak berani menengok ke belakang.
***
__________________________________________________________________________
Keterangan:

*Carbamazepine: Salah satu jenis obat untuk menangani epilepsi
*SJS (Sindrom Stevens-Johnson): Kelainan serius pada kulit dan selaput lendir akibat reaksi dari obat atau adanya infeksi. Tanda dan gejala dari SJS biasanya meliputi pembengkakan di muka, lidah membengkak, sakit pada kulit, ruam kulit berwarna merah atau ungu yang menyebar dalam hitungan jam atau hari, melepuh pada kulit dan selaput lendir terutama di mulut, hidung dan mata serta kulit yang mengelupas. Bisa menyebabkan kematian jika terlambat ditangani
*Hidrokortison: Salah satu jenis obat untuk anti alergi. Digunakan untuk kasus alergi akut.
*Blangkar: Tempat tidur dorong di rumah sakit (biasa kan momo suka bgt baca ilmu kedokteran :D)

The End


***
Powered by Telkomsel BlackBerry®

0 komentar:

Posting Komentar