Minggu, 08 Desember 2013

Friends (My Feeling)

Friends (My Feeling)
Oleh Zahra Aulia

 
Marisa
 
Aku menganggap apa yang terjadi hari ini adalah sesuatu yang konyol. Berawal dari rasa segan menolak permintaan Mita untuk melakukan sebuah ritual persahabatan. Ia mendapatkan ide aneh itu dari sebuah 'anime' yang ia tonton, yang bahkan aku susah untuk menghafalkan judulnya. Ia memang maniak 'anime'. Tak ada yang salah dengan hobinya, tapi gara-gara kesukaannya itu, aku harus terjebak di sebuah gedung tua yang cukup menyeramkan ini. Bukan hanya aku, Ridwan, Dani, Nila, Boni, dan tentunya Mita ikut terjebak dalam tempat yang tak layak dikunjungi ini.
 
Kepalaku masih merasa pening. Yah, entah mengapa ... sesaat setelah kami melakukan ritual itu, aku tak sadarkan diri. Anehnya, ketika kusiuman, aku berada di tempat yang berbeda dan terpisah dari teman-temanku. Sebelumnya kami melakukan ritual persahabatan itu di aula sekolah.
 
"Hihihihi ...," samar-samar terdengar suara cekikikan wanita di depan pintu ruangan ini.
 
Ah, ini pasti kerjaan salah satu temanku. Walaupun aku bukan seorang penakut, berada sendiri di ruangan yang di langit-langitnya dipenuhi sarang laba-laba; suara degup jantung terdengar begitu keras, membuat keberanianku mulai luntur.
 
"Nggak lucu deh La, Ta ..., " ucapku setengah ragu, "Ta, La ... please, jangan bercanda." Tak ada jawaban juga, hening. 
 
Aku bangkit, mulai melangkah menuju pintu tersebut. Bulu kudukku mulai meremang. Semoga suara tadi benar suara salah satu temanku.
 
Aku mendekati pintu yang tertutup itu, meraih handle dan mencoba membukanya. Ah, tidak ... pintu ini terkunci. Panik langsung menderaku, kumencoba mendobrak tapi pintu itu tak mau terbuka juga. Aku terduduk lemas di depan pintu. Kubenamkan wajah di kedua lututku.
 
"Kakak cantik tak sendiri, aku akan menemanimu, Kak."
 
Aku mengangkat kepalaku, mencari di mana suara—seperti anak kecil—yang barusan terdengar. Nampak di pojokkan ruangan ini tengah duduk seorang gadis kecil yang sedang bermain dengan bonekanya. Tubuhku langsung gemetar, suhu ruangan pun mendadak turun. 
 
"Tidak mungkin ... aku jelas sendiri saat tersadar tadi. Dari mana gadis kecil itu muncul?" gumamku lirih, kulayangkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, tak ada jendela. Lalu, gadis kecil ini dari mana?
 
"Kak, bermainlah denganku! Aku sudah lama tak punya teman bermain. Hanya Bety-lah temanku. Kita bisa main petak umpet, aku merindukan itu," ajaknya langsung menatapku, memperlihatkan wajahnya yang sedari tak menunduk.
 
Aku terkejut, wajah itu ... wajah itu penuh dengan hewan-hewan kecil yang menggeliat. Bola matanya pun sudah hampir terlepas, "Tuhan ... apa yang kulihat ini?" ucapku dalam hati, sambil menutup mulutku dengan tangan, agar tak menjerit.
 
"Kak, aku yang ke situ ya? Kita bermain bersama Bety," tanyanya langsung bangkit dan menghampiriku.
 
Bau anyir dan busuk langsung tercium begitu gadis kecil itu berdiri di depanku. Aku hanya terdiam, tak mampu aku bergerak. Aku menatap gadis itu dengan rasa takut, bukan hanya wajah, hampir seluruh tubuhnya penuh dengan hewan kecil itu. "Tempat apa ini? Tuhan, bangunkan aku jika aku bermimpi ..." jeritku dalam hati.
Aku mulai merasa mual. Aku bergeming saat tangan dingin gadis kecil itu memegang tanganku.
 
"Ayo Kak main petak umpet! Jika Kakak menang, akan kubantu membuka pintu itu. Biar aku yang jaga duluan." 
 
Gadis kecil itu mulai menutup matanya. Aku mendadak bingung. Kupandangi seluruh ruangan, mulai mencari tempat sembunyi. Belum sempat kumelangkah, gadis kecil itu kembali membuka matanya.
 
"Jika kalah, Kakak akan di sini selamanya, menemaniku bermain, hihihi ...," ucapnya dengan tawa yang membuat aku ketakutan.
 
Boni
 
Entah apa yang tengah menimpaku kini, aku terbaring sendiri—tanpa kelima temanku—begitu kusadar. Kupandangi seluruh ruangan ini. Banyak bangku dan meja yang tersusun rapi. Tempat apa ini? Sepertinya, sudah lama tak berpenghuni. Semuanya sudah tampak kusam, banyak sarang lebah di mana-mana. Mataku menangkap sesosok bayangan di ujung ruangan ini. Mungkinkah salah satu temanku? Sosok itu berjalan mendekat, sepertinya ia tahu dirinya sedang diperhatikan. Samar terlihat rambutnya panjang sepinggang.
 
Sosok itu berjalan gontai, sungguh aku mulai merasa gemetar. Aku tak berniat bangkit, kepalaku masih merasa berputar-putar. Kupejamkan mata, pasrah menunggu sosok itu mendekatiku.
 
Tap ... tap ... tap ...!
 
Sosok itu semakin mendekat, keringat dingin mulai keluar dari pori kulitku. Oh, Tuhan ... aku tak berani membuka mataku. Tak lama, kurasakan tangan dingin menyentuh lembut lengan tanganku. Oh, tidak ... ini pasti tangan sosok berambut panjang itu.
 
"Bon ... Bon, lu kenapa? Lu nggak apa-apa, kan?" teriak sosok itu sembari menggoyangkan tubuhku dengan lembut.
 
Suara ini aku kenal, suara sahabatku. Kuberanikan diri membuka mata. Ah, benar ternyata ... sosok itu adalah Mita. Ia jongkok disampingku, menatap cemas.
 
"Mita, gue pikir tadi elo itu ...," aku tak meneruskan ucapanku, melihat Mita menertawakanku.
 
"Nggak nyangka, ketua osis beken ini penakut. Ayo, bangun! kita cari yang lainnya," ucapnya sembari menarik tanganku.
 
Aku tersenyum malu mendengar ucapan Mita. Tak kusambut ajakannya beranjak dari tempat ini. Ia menatap heran padaku yang masih berbaring.
 
"Kenapa? lu nggak mau mencari temen-temen?" tanyanya heran.
 
"Gue masih pusing. Migran gue kumat lagi, lu nggak lihat keringat dingin yang membanjiri tubuh gue."
 
Mita menyentuh dahiku, wajahnya tampak cemas.
 
"Lu lagi sakit, Bon? Kepala lu panas banget."Ucapnya cemas.
 
"Gue nggak apa-apa, cuma kemarin sempat demam. Di sini dingin banget, kayanya itu yang bikin gue demam lagi."
 
Wajah Mita tertunduk, nampak air mata mulai mengalir dari pelupuk matanya. Aku terkejut dan mencoba bangkit.
 
"Maafkan aku, Bon. Ini semua gara-gara permintaan konyolku, kita sekarang terjebak di gedung yang bahkan tak tahu di mana."
 
"Sudahlah,Mit. Ini udah terlanjur terjadi, tak perlu kau menyalahkan dirimu. Kita semua juga setuju kan tadi. Nggak sepenuhnya salah lu, Mit." Ucapku menghiburnya.
 
Gadis itu menyeka airmatanya, tersenyum kembali.
 
"Terima kasih atas pengertian lu, Bon. Lu bisa jalan kan? Kita cari mereka. Gue yakin sekarang lu sangat khawatir dengan Marisa."
 
Aku mengangguk, menyanggupi permintaan Mita mencari Marisa, Ridwan, Dani dan Nila. Kupaksaan tubuh ini berdiri, berpegang pada tembok yang berada di sisi kananku. Oh ... kepalaku masih begitu sakit. Kumeringis menahan sakit yang menyerang kepalaku. Kusandarkan tubuh ke tembok. Mita memegang tanganku, nampak ia begitu khawatir dengan keadaanku.
 
"Bon, lu pucet banget. Lu istirahat di sini aja, ya? Biar gue yang nyari! Gue takut kondisi lu makin memburuk."
 
"Nggak, Mit. Gue juga pengen ikut. Gue akan tahan, bentar lagi juga baikan. Gue biasa begini kok," ucapku meyakinkannya.
 
"Oke! tapi jika lu ngerasa nggak kuat berjalan lagi, lu langsung ngomong ya?"
 
"Iya, Bos."
 
Aku tahan rasa sakit yang menyerang kepalaku. Mulai berjalan meninggalkan ruangan ini. Mita memegang erat tanganku. Memandangnya mengingatkanku akan Marisa. Semoga ia baik-baik saja. Tak lama, kami telah berpindah ke ruangan lain. Nampaknya ini bekas sebuah asrama dan jelas telah lama ditinggalkan. Saat melewati sebuah ruangan, tiba-tiba Mita berhenti. Wajahnya menunduk, terlihat ketakutan.
 
"Kenapa Mit? kok berhenti? Ruangan apa itu?" berentet pertanyaan meluncur begitu saja.
 
"Itu kamar mandi, Bon. Di sana ada ... ada ...," ia mengangkat wajahnya, raut cemasnya terlihat sangat jelas.
 
Ah, jangan-jangan ... Mita melihat makhluk astral lagi. Ia memang sering melihat hat-hal seperti itu. Bulu kudukku mulai meremang.
 
"Jangan nakutin gue, Mit! Cukup saat di sekolah saja!"
 
"Beneran Bon, di sana ada ... ah, sudahlah! Kita tinggalkan saja ruangan ini. Kumohon, kali ini kau juga bisa melihat sosok itu." Ucapnya menyeretku.
 
"Ah, aku tak terlalu peka untuk hal-hal seperti itu. Jadi ...," belum sempat kuselesaikan ucapanku, terdengar suara cekikikan di belakang kami.
 
"Hihihihi ...."
 
"Bon ... sosok itu ... sosok itu ada di belakang kita. Jangan menengok! kita lari sekarang!" ucap Mita ketakutan.
 
Mita langsung berlari sembari menarik tanganku. Jantungku berdetak semakin kencang, sosok itu seolah mengikuti kami. Aku tak sempat menengok, aku terlalu takut. Hampir lima belas menit kami berlari. Kami berhenti di salah satu ruangan. Aku langsung jatuh terduduk, nafasku tak beraturan. Aku mulai batuk-batuk dan dadaku terasa sesak. Oh, Tuhan ... Jangan sekarang ... Aku tak membawa inhaler-ku. Nafasku semakin sesak. Samar-samar kudengar teriakan Mita sebelum semuanya gelap.
 
Mita
 
Aku sangat senang hari ini. Aku akan bersama Boni sepanjang waktu, tanpa ada gangguan siapapun. Yah, bahkan tanpa Marisa, kekasihnya. Hahaha ... aku senang sekali menyadari hal itu. Kau tahu? Apa yang terjadi hari ini adalah rencanaku. Menggunakan alasan ritual di film anime untuk membuat semua ini. Ritual Sachiko tak benar-benar ada. Semua instruksi dalam ritual itu adalah akal-akalanku saja--untuk membuka mata batin mereka. Ehm, aku ingin mereka merasakan apa yang aku alami selama ini, untuk bisa melihat makhluk halus. Hmm, aku bayangkan mereka akan ketakutan setengah mati. Membayangkan hal itu ingin rasanya aku merekamnya, tetapi ... aku tak punya cukup waktu. Jadi, aku akan mendengarkan curhatan mereka saja dan berpura-pura tak tahu tentang hal itu. Selama ini tak ada yang sepenuhnya percaya akan kemampuanku itu. Hanya Boni dan Marisa, juga Ridwan—yang mencintaiku. Ridwan-lah yang membantuku memuluskan rencana ini. 
 
Aku sangat menyukai Boni, sahabatku sedari SMP. Namun, ia hanya menganggapku sebagai sahabatnya. Tak lebih dari itu. Apalagi di SMA ini, dia bertemu dengan Marisa—gadis tercantik dan terpandang di SMA-ku. Ia jatuh cinta dan menjadikan gadis itu menjadi kekasihnya. Aku jadi membenci Marisa, walaupun ia sangat baik kepadaku, tetapi aku tak pernah menyukainya. Aku hanya berpura-pura menjadi sahabatnya, tentunya untuk memonitor kegiatannya bersama Boni. Ah, mengingat hal itu aku jadi sedih, tetepi yang penting sekarang Boni akan bersamaku. Aku tinggal menghampirinya di ruangan di mana Ridwan membawa cowok ganteng itu.
 
Kesenangan yang kuharapkan ternyata tak sepenuhnya kudapat. Boni tergolek lemah di ruang TV bekas asrama ini. Aku begitu cemas menyadari tubuhnya sangat panas—demam. Aku merasa bersalah. Terlebih tak lama setelah kami berlari untuk menghindari salah satu makhluk halus di toilet, sepertinya ia merasakan nafasnya sesak. Aku begitu ceroboh melupakan penyakit yang diderita Boni—penyakit asma. Tubuhnya mendadak lemas dan kini dia pingsan. Aku panik, kucoba mencari inhaler atau obat yang mungkin dia bawa di saku atau ... Oh, Tuhan ... semuanya ada di dalam tasnya dan tas Boni tak terbawa. Bodoh ... bodoh ... bodoh!! Aku memang bodoh. Aku membahayakan nyawa orang yang kucintai karena keegoisanku. Tuhan ... tolonglah aku sekali ini saja. Selamatkan Boni-ku.
 
"Boni ... kau harus bertahan ya? Aku akan melakukan yang terbaik untukmu," gumamku lirih, terisak.
 
Aku bangkit dan berbalik, sosok yang kami temui di toilet telah berdiri di depanku.
 
Dani 
 
Aku semakin tak suka dengan Mita. Gara-gara ide konyolnya itu, aku tak bisa menikmati akhir pekanku bersama Nila. Ah, andai saja aku tetap teguh pada pendirianku, tentu saja aku tak berada di tempat jelek ini. Marisa, Boni dan Nila terlalu baik kepada gadis aneh itu. Yah, dia gadis aneh bagiku. Selalu berbicara tentang makhluk halus yang ia lihat. Mengaku dirinya memiliki kelebihan, indera keenam. Sekarang apa yang harus aku lakukan di sini. Aku benar-benar sendiri. Mungkin, aku harus mencari teman-temanku. Aku sangat khawatir dengan Nila dan Marisa. Aku tahu ada yang salah dengan gadis yang bernama Mita itu. Aku yakin itu. 
 
Aku memulai pencarianku. Tempat ini sangat luas. Entah butuh berapa lama untuk menemukan mereka semua. Kumelihat sebuah tangga tak jauh dariku. Sepertinya aku akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Tapi, aku tetap akan mencari mereka semua. Entah mengapa perasaanku tak menentu. Tiba-tiba aku kepikiran Boni, sang ketua osis yang menjadi sahabat terbaikku. Ah, dia punya asma. Dan, tas-nya ada padaku. Oh, Tuhan ... semoga firasatku salah. Aku harus cepat-cepat menemukan mereka semua. Samar kudengar suara tangisan di ruangan yang terkunci di depanku. Langkahku terhenti. Sepertinya suara ini tak asing.
 
"Halo ... siapa di dalam?" teriakku memastikan.
 
"Tolong aku! Pintu ini tak bisa terbuka. Siapa pun yang ada diluar, tolong bantu membuka pintu ini. Aku takut ...," teriak suara dari dalam ruangan.
 
Aku tahu, ini suara Marisa. "Marisa ... ini kamu kan? Kamu mundur dulu, ya? Aku akan mendobrak pintu ini."
 
"Iya, ini aku. Kamu, Doni?"
 
"Iya, Sa. Sekarang, kamu jauhi pintu!"
 
"Baik."
 
Aku mencoba sekuat tenaga membuka pintu ruangan. Mendorong tubuhku ke pintu. Dua kali mencoba, aku gagal. Aku tak menyerah, tak mau kehilangan kesempatan untuk membantu kekasih sahabatku. Kudobrak pintu ini lagi. Dan ....
 
Sosok Marisa tampak begitu kacau. Matanya sangat merah. Ia langsung memelukku.
 
"Makasih, Don. Aku takut. Gadis kecil itu sedang sembunyi sekarangi. Kita pergi dari sini! Sebelum gadis kecil itu kembali," ucapnya setengah terisak.
 
Aku mengangkat kedua alisku. Gadis kecil? Aku sama sekali tak tahu maksud Marisa.
 
"Gadis kecil siapa?"
 
"Akan kujelaskan nanti. Please, kita menjauh dari tempat ini," Marisa menarik tanganku, mengajakku berlari. Tangannya dingin. Sepertinya, ia sangat ketakutan.
 
Kami terus berlari. Marisa terus saja mengajakku berlari, tak kenal lelah. Padahal, ruangan itu sudah jauh.
 
"Sa ... berhenti dulu! Aku capek," pintaku, aku menghentikan langkahku. Mengatur pernafasanku.
 
"Maaf, Don. Sepertinya kita bisa istirahat di sini. Kita sudah jauh dari ruangan itu."
 
Aku mengangguk. Kuhempaskan tubuhku dilantai, duduk.
 
"Sekarang, kamu jelaskan kejadian di ruangan tadi," tuntutku menagih janji.
 
Marisa ikut duduk bersisihan denganku. Nampak ia menghela nafas.
 
"Saat kutersadar di ruangan itu, tak lama ada seorang gadis kecil dengan wajah penuh belatung mengajakku bermain petak umpet. Aku nggak tahu, kenapa aku bisa melihat makhluk seperti itu. Sebelumnya aku tak pernah. Aku yakin, gadis itu bukan manusia. Gadis kecil itu ... dia ...," Marisa menatapku, "dia hantu, Don."
 
Aku terkejut. Hantu? Marisa bisa melihat sosok hantu? Pasti ini ada hubungannya dengan permainan yang dibuat Mita. Yah, gadis itu membuat kami terjebak di sini dan menyuruh kami menjalankan sebuah ritual. Ada sesuatu yang direncanakan gadis itu. Dan, ini ada hubungannya dengan Boni. Benar, ini semua berhubungan dengan sahabatku Boni. Tapi, apa ya?
 
"Don ... Don, kamu nggak apa-apa?" suara Mita menyadarkan lamunanku.
 
"Iya, Sa. Aku baik-baik aja. Aku curiga dengan Mita. Pasti ini semua sudah direncanakan. Kita cari yang lain, sekarang! Aku takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Aku kepikiran Boni dari tadi. Inhaler-nya ada bersamaku. Kamu tahu kan, kalo Boni panik, ia bisa ...," Marisa menutup mulutku. Di sudut matanya nampak airmata.
 
"Jangan berpikiran buruk, Don! Terlebih tentang Boni. Lebih baik kita cari mereka sekarang! Aku ragu dengan semua dugaan kamu. Mita teman yang baik."
 
Aku mengangguk. Percuma aku menentang ucapan Marisa. Dia terlalu baik. Aku salah mengungkapkan pemikiranku tentang Mita padanya. Hal seperti ini memang akan terjadi. Kami bangkit dan meneruskan perjalanan kami, menuruni tangga. Tampak sesosok gadis dengan seragam seperti kami ada di salah satu anak tangga. Gadis dengan rambut berkuncir kuda. Nila. Kami menemukan Nila.
 
"Nila!" teriakku senang sembari mempercepat langkahku. Kuberlari menyusulnya. Nila mendongakkan wajahnya. Senyum merekah dibibir mungilnya. Ia bangkit dan menghampiriku.
 
"Doni," Nila memelukku. "Aku sudah mencarimu dari tadi. Aku senang bis bertemu dengan pangeran tampanku," ucapnya genit, tak menyadari kehadiran Marisa.
 
"Nila, kamu membuatku iri saja," goda Marisa.
 
Nila tersentak kaget. Ia melepaskan pelukannya. Wajahnya bersemu merah, malu.
 
"Marisa ... kamu barengan sama Doni?" Nila menjauhiku, mendekati Marisa dan memeluk tubuh gadis itu.
 
"Iya, Nila. Sekarang kita lanjutkan mencari yang lain. Perasaanku nggak enak dari tadi," pinta Marisa.

****

Lanjut ke part 2 yaa ;)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

0 komentar:

Posting Komentar