Minggu, 08 Desember 2013

Friends (My Feeling) Part 2

Nila mengangguk. Kami akan mencari yang lain di lantai ini. Di lantai atas sudah tak ada yang lainnya. Sebelum bertemu dengan Marisa, aku sudah menjelajahi lantai atas. Tak lama, kami bertemu dengan Ridwan. Wajahnya begitu sedih. Kami mendekatinya. Anehnya, wajah Ridwan nampak semakin sedih. Ia menunduk, tak mau menatap kami.
 
"Ada Ridwan? Kamu sakit?" tanya Marisa cemas.
 
Riwan menggeleng. Ia menggangkat kepalanya. Wajahnya jelas sangat muram.
 
"Maafkan aku ...," ucapnya lirih.
 
Kami saling berpandangan. Bingung. Tak mengerti mengapa ia meminta maaf. Kami baru saja bertemu dengannya. Tapi, mengapa ia meminta maaf?
 
"Aku dan Mita yang membuat kalian berada di sini. Mita memintaku melakukan hal ini. Tak lama, setelah kalian memejamkan mata. Aku membuang gas yang membuat kalian tak sadar. Lalu, aku membawa kalian ke sini. Memisahkan satu sama lain. Aku sangat menyesal melakukan semua itu. Maafkan aku, Don, Sa, La ...," lanjutnya membuat kami kaget.
 
Emosiku langsung naik. Ini keterlaluan. Kami adalah teman. Tapi, ia dan Mita mempermainkan kami. Ini tak bisa dimaafkan. 
 
"Kamu keterlaluan!" aku memukul wajahnya. Nila dan Marisa menjerit. Nila mendekat dan menghalangiku memukul Ridwan lagi. 
 
"Dia keterlaluan, Nila. Satu pukulan belum cukup untuknya," ucapku dengan suara tinggi.
 
"Doni! Kita tanya di mana Boni dulu. Aku mencemaskannya," teriak Marisa membentakku. Aku terdiam. Ia benar.
 
"Sekarang, Boni di mana, Wan?" tanya Marisa setengah menangis.
 
"Dia ada di ruang makan asrama ini. Aku akan mengantar kalian. Maafkan aku ... aku hanya membantu Mita yang sangat aku cintai. Membuktikan rasa cintaku padanya," ucap Ridwan sembari menunduk.
 
"Kamu bodoh! Mita tak pernah mencintaimu. Ia mencintai Boni," ucapku tak sadar, mengikuti emosiku. Marisa, Nila dan Ridwan menatapku. Jelas mereka terkejut mendengar perkataanku. Terlebih, Marisa dan Ridwan.
 
"Kamu tahu itu?" tanyanya menatapku tajam.
 
"Ini nampak jelas, Sa. Kamu nggak melihat bagaimana tingkahnya saat bersama Boni. Ia tak sekedar menganggap Boni sebagai sahabatnya. Ia mencintainya."
 
Marisa terdiam.
 
"Kita ke ruang makan, sekarang! Aku antar kalian," ucap Ridwan memecah kebisuan kami dan mulai berjalan di depan kami.
 
Kami diam sepanjang perjalanan. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya suara tangis lirih Marisa yang samar terdengar di telinga kami. Ia jelas sangat terpukul dengan kejadian ini. Sahabatnya, teman yang selalu dibelanya selama ini menyimpan perasaan terpendam pada kekasihnya.
 
Akhirnya, kami sampai di ruang makan. Tak tampak sosok Boni yang kami cari. Kami memandang Ridwan, menuntut penjelasan darinya. Ia menggeleng.
 
"Pasti Boni tak jauh dari sini. Sungguh, aku membawanya kemari," ucap Ridwan meyakinkan.
 
Kami kembali menyusuri ruang lain. Mencari dari satu ruang ke ruang yang lain. Terdengar jeritan di sebuah ruangan.
 
"Pergi! Tolong tinggalkan kami," teriak suara itu lagi.
 
Kami mendekati ruang itu. Tampak Mita menutup matanya. Dan, Boni ... Oh, Tuhan! Dia terbaring lemas di sisi Mita. Ia tak sadarkan diri. Marisa langsung berlari mendekati Boni.
 
"Mita! Apa yang kau lakukan pada Boni?" teriak Marisa histeris.
 
Mita membuka matanya. Ia menatap kami satu-persatu. Ia menangis.
 
"Obat Boni mana, Don? Cepat bawa ke sini!" perintah Marisa menyadarkan kebodohanku, yang memaku tak berbuat apa-apa.
 
"Boni ... Boni sadar," Mita menepuk-nepuk pipi Boni. Tak ada respon. Aku langsung memeriksa denyut nadi Boni. Ada, tapi sangat lemah.
 
"Sa, kita bawa Boni ke rumah sakit. Ia butuh pertolongan sekarang!" ucapku panik.
 
****
Boni
 
Aku bangun di ruangan yang begitu putih dan bersih. Apakah aku sudah mati? Ah, aku memang tak merasakan sakit sekarang. Tapi, apa benar aku telah meninggalkan dunia ini? Marisa ... aku ingin melihatnya. Kekasihku yang begitu baik.
 
Aku baru menyadari jemari tanganku bertautan. Ah, ada yang mengenggam tanganku. Kumenoleh. Marisa. Dia di sampingku. Aku bodoh, ternyata aku di rumah sakit. Jadi, aku berhasil dari asrama menyeramkan itu. Aku selamat.
 
Marisa terbangun menyadari gerak tanganku. Sepertinya, ia sangat lelah. Senyum merekah dibibir cantiknya.
 
"Kau sadar, Bon. Syukurlah ...," ucapnya nampak lega.
 
"Kok gue ada di sini, Sa?"
 
"Kami semua yang membawa kamu ke sini. Untung kami tak terlambat," ucapnya sedih, bening air mata nampak keluar di sudut matanya.
 
"Sudah, Sa. Sekarang, gue nggak apa-apa kan?" hiburku padanya. "Yang lain mana, Sa? Gue pengen ketemu sama mereka."
 
"Aku panggilkan mereka. Tapi, Mita nggak di sini. Hanya ada Doni, Ridwan, dan Nila di luar."
 
Aku mengangguk. Pasti ada sesuatu yang membuat Mita tak ada di sini. Ini berhubungan dengan kejadian di asrama itu. Aku yakin. Apa mereka menyalahkan Mita atas semua yang menimpaku? Oh, jangan ... dia tak sepenuhnya salah. Akan kutanyakan saat mereka ada di sini.
 
Semuanya sudah ada di ruangan bersamaku. Nampak wajah mereka begitu lega. 
 
"Kenapa Mita tak ada di sini? Dia sakit?" tanyaku pada semuanya.
 
Semua membisu. Wajah mereka berubah menjadi sedih. Doni duduk dan menyuruh semuanya keluar ruangan. Doni menceritakan kejadian di asrama. Aku terkejut mendengar penuturannya. Secara detail ia menceritakan peristiwa yang menimpaku di sana. Ternyata, Mita merencanakannya. Ia melakukannya karena mencintaiku. Oh, tenyata sikapku membuatnya salah paham. Aku hanya menyayanginya sebagai sahabat. Tak lebih dari itu. Doni menyerahkan surat padaku.
 
"Ini dari Mita. Ia telah menyusul kedua orangtuanya ke Washington. Ia memintaku memberikan ini padamu."
 
Oh, Mita pasti sangat terpukul atas kejadian yang menimpaku. Ia tentu menyalahkan dirinya. Aku membuka surat itu dan memulai membacanya.
 
Dear Boni, sahabat yang selalu kucinta...
 
Kau pasti terkejut dengan tulisan di atas. Tapi, kurasa kau sudah mendengar ini dari teman yang lain. Yah, teman. Entah, mengapa aku begitu bodoh melakukan hal yang mengerikan di asrama pada kalian. Terlebih pada kamu, Bon. Padahal, kalian benar-benar menganggapku sebagai teman. Aku sedih baru menyadari bahwa kalian semua tulus menyayangiku. Sebelumnya, aku merasa tersisih. Yah, kemampuanku melihat sesuatu itu membuatku berpikiran buruk pada semuanya. Terlebih, sikap Doni yang sepertinya meragukan apa yang kuucapkan tentang makhluk-makhluk yang selalu kulihat itu.
 
Aku mendapat ide setelah menonton anime 'Corpse Party: Tortured Souls'. Aku ingin membuktikan pada kalian bahwa aku tak bohong. Semua langkah yang ada dalam ritual kemarin, adalah pintu membuka mata batin yang kupelajari dari kakek. Yah, dan itu menjadi bomerang untukku sendiri. Aku bahkan membuatmu sakit. Hampir membuat nyawamu melayang, Bon. Sungguh, aku tak ada niatan sedikit pun untuk membuatmu terluka. 
 
Ah, aku bingung harus menulis apa lagi di sini. Aku juga harus berkemas untuk kepindahanku. Maafkan aku Boni... aku mencintaimu. Aku tak mengharap balasan darimu untuk ini. Sampaikan maafku untuk yang lain. Hanya Doni yang baru memaafkanku. Aku tahu teman yang lain masih terluka akan perbuatanku ini. Sampaikan maafku pada Marisa, Nila dan Ridwan ya ketua osisku sayang. Katakan aku akan menjadi sosok yang lebih baik. Akan selalu menghargai persahabatan.
 
Aku tak sanggup menulis apapun lagi. Airmataku tak berhenti mengalir. Terima kasih, Boni atas semuanya. Aku selalu menyayangimu...
 
Dari sahabatmu yang bodoh. 
 
Kulipat surat Mita. Semoga kau mendapat seseorang yang baik di sana, Mita. Aku yakin, Marisa, Nila, dan Ridwan akan memaafkanmu. Kurasakan airmata mengalir. Mita, sahabatku ....
 
"Panggilkan yang lain, Don. Aku ingin bicara dengan mereka!"
 
SELESAI

***
Powered by Telkomsel BlackBerry®

0 komentar:

Posting Komentar