Kubuka mata perlahan, masih terasa pening kepala ini. Entah apa yang terjadi sebelumnya. Bukankah harusnya aku berada di rumah Cavia, anak didikku? Tetapi, mengapa kini aku terikat dikursi? Ruangan apa ini? Begitu pengap dan sempit. Bau anyir dan zat kimia yang tidak enak terendus hidungku. Perutku terasa diaduk-aduk, mual tak tertahan kurasa. Inginku berlari keluar untuk menghirup udara segar.
Mataku memandang ke sekeliling ruangan ini, sambil berusaha melepaskan ikatanku. Cahaya yang kurang, menyebabkan pupil mataku terbuka lebar-lebar. Pandanganku kini tertuju pada benda yang seperti akuarium besar, tak jauh dari tempatku terikat. Didalamnya seperti berisi beberapa benda yang menyerupai kepala.
"Ah, tidak mungkin," desahku pelan.Aku mencoba fokus melihat benda tersebut. Berharap dugaanku salah, bahwa benda itu bukanlah potongan kepala manusia. Tetapi, sepertinya aku benar. Terlihat dari bentuk dan aku tak mampu berpikiran apa-apa lagi. Pikiranku kalut. Ketakutkan kini mulai merasukiku, apa yang akan terjadi padaku?
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka, terlihak sesosok tubuh tinggi ramping mulai berjalan menghampiriku. Aku terkejut mengenali sosok itu.
"Ibu Oriza sayang, jangan takut. Aku tak akan membuatmu kesakitan,"ucapnya sambil menunjukkan jarum suntik padaku.
"Cavia, mengapa kau lakukan ini? apa salahku?" tanyaku terisak, tak terasa air mataku mengalir.
"Kau tak bersalah Bu, hanya saja aku terlampau menyayangimu. Untuk itulah aku berbuat seperti ini," ucap Cavia dengan tersenyum.
"Kau gila ...!!!" jeritku.
"Terima kasih Bu, itu pujian yang biasa kuterima. Ibu sudah lihat akuarium ini kan? Ibu tau, ini adalah potongan kepala orang-orang yang kusayangi, berada dalam kubangan formalin."
Aku tercengang mendengar pernyataan gadis 16 tahun itu. Tak pernah terbayangkan bahwa gadis cantik ini mampu berbuat keji, bahkan tak ada sesal dari setiap pernyataannya. Benar-benar berjiwa psikopat.
"Ini adalah kepala Bu Zea, Bu Rosa, Bu Jasmin dan sebentar lagi Bu Oriza akan ikut bergabung dengan mereka," lanjut Cavia lagi.
Ketakutan kembali menyergapku, ia mulai mendekati dan membelai rambutku.
"Bu, ini adalah bentuk kasih sayangku. Aku bisa selalu memandangmu tanpa takut kehilangan sosokmu," desah Cavia ditelingaku.
Aku mulai meronta, namun ia telah berhasil menyuntikan sesuatu dilengan tanganku. Pandanganku mulai mengabur dan kesadaranku mulai menghilang.
****
Cavia mulai membekap tubuh Oriza dengan bantal selama sekian menit, lalu memeriksa denyut nadinya. Setelah yakin tubuh itu tak bernyawa, ia memenggal kepalanya. Ia membersihkan potongan kepala itu dan menyemprotkan alkohol keseluruh bagian. Kemudian ia meletakkan kepala itu di akuarium yang berisi formalin.
"Bu Oriza, kau akan selamanya bersamaku, tidak seperti Mamaku" ucapnya puas.
Cavia menggotong bagian tubuh Oriza yang lain dan menguburkannya disamping ruangan tersebut. Nampak beberapa gundukan lain yang telah tersusun rapi.
"Ma, kubawakan teman baru untukmu. Semoga kau senang, Ma." Ucap Cavia dengan senyum terindahnya.
Ia berjalan riang meninggalkan tempat tersebut, mencari teman baru lagi. Teman buatnya dan sang Mama.
** TAMAT **
0 komentar:
Posting Komentar