Jumat, 14 Maret 2014

- Forgotten -

Written By Dark Venus

Entah sudah berapa lama aku berada di rumah yang kutempati. Mungkin sebulan, dua bulan, atau lebih?

Aku kurang nyaman, sebelumnya suasana rumahku terasa begitu tenang dan juga menyenangkan. Namun akhir-akhir ini, aku mulai merasa tidak kerasan lagi menempati rumah ini.

Kalian tahu?

Hahaha! Tentu saja tidak! Aku belum menceritakan kengerian-kengerian yang kurasakan selama beberapa waktu ini. Aku tak suka cahaya yang terlalu terang, sedikit remang lebih baik. Tapi ... lagi-lagi aku harus merasa jengkel, karena kini keadaan rumahku baik malam maupun siang selalu penuh dengan pencahayaan.

Aku hanya tinggal berdua dengan adikku, semenjak kedua orangtua kami meninggal beberapa tahun yang lalu. Aku yang merawat adikku, ia juga tak terlalu rewel atau menuntut banyak.

Ia tak lagi memiliki siapapun kecuali aku. Adikku sedikit idiot. Awalnya aku mengira karena ke-idiotan-nya maka ia sering berhalusinasi jika di dalam rumah kami ada seseorang--suara-suara bising--pun bebunyian lainnya, yang membuatnya setengah mati ketakutan. Ia akan berlari memelukku dengan erat dan terbata-bata ia berusaha melukiskan rasa takutnya.

Klontang!

Lagi-lagi bunyi berisik yang mengganggu! Apakah itu tikus atau makhluk lainnya?

"Hey, Steve. Hari sudah larut, kenapa kau belum juga tidur?" kataku pada adikku. Matanya begitu kuat untuk tetap terjaga. Jujur saja, aku hampir tak pernah melihatnya tertidur!

"A-aku ta-takut! Me-mereka a-ada di-di dalam ru-rumah."

"Ya. Tapi ada baiknya kita masuk ke dalam. Sampai kapan kau bermain di ayunan? Kau perlu beristirahat. Masuklah."

Steve menggeleng. Adikku benar-benar ketakutan. Ia sering mengatakan jika ia melihat seseorang terkadang melintas di depan pintu kamarnya. Bagaimana ia bisa melihat orang yang melintas? Yeah ... ia jarang menutup pintu seluruhnya. Itu sudah menjadi kebiasaan.

"Ha-hantu! A-ada ha-hantu!"

"Bulshit! Nggak ada hantu, iblis, ataupun makhluk halus lainnya di dalam rumah! Cepat masuk!" bentakku pada Steve. "Jika kau masih terus seperti ini, aku tak segan menguncimu di basement!" ancamku.

Steve menatapku sendu, ia akan sangat takut jika diharuskan terkunci semalaman di ruang gelap--pengap--kotor tersebut. Aku pernah menguncinya di sana selama berhari-hari. Ia tak kuberi makan ataupun minum. Ia kuperlakukan seperti itu karena aku kesal, tak ada alasan lain.

Akhirnya Steve mengalah dan beranjak masuk ke dalam kamar. Ia segera menaiki tempat tidurnya, menarik selimut, serta menutupi seluruh tubuhnya. Dasar pengecut!

***

"Aaaakkkhh!"

Astaga! Ada apa lagi ia berteriak bak kesetanan di tengah pagi buta?!

Tergopoh-gopoh aku lari menuju kamarnya. Aku tak menyalakan lampu kamar, aku langsung mendekati dan mendekapnya.

"Ada apa?"

"Di-di se-sebe-lah-ku, a-ada se-setan!"

"What the hell you said! Mimpi kau, Steve! Sudah kukatakan tak ada setan dan makhluk lainnya!"

Steve menunjuk sisi kanan tempat tidurnya. Kuperhatikan dengan seksama, memang terlihat seperti ada seseorang yang tertidur di sebelahnya. Selimut Steve bergerak naik dan turun, seolah sesuatu berada di dalam selimut dan bernafas dengan teratur.

Aku mencoba mengulurkan tanganku, berusaha membuka selimut, dan--

"Ka-kau li-lihat?!"

"Hah?!"

Seorang atau entah apa sebutan yang pas, mungkin sesosok gadis kecil berbaring memunggungi di samping Steve! Steve benar, memang ada setan rupanya! Aku harus membawa Steve keluar dari rumah sebelum membahayakan keadaan kami berdua.

"Se-setan!" kata Steve lagi.

"Cepat turun dari tempat tidurmu, kita harus pergi dari rumah ini. Kita akan meminta pertolongan dari tetangga. Aku tak percaya jika rumah ini kini menyeramkan!"

Aku menarik tangan Steve dengan kasar, kemudian mengajaknya berlari keluar meninggalkan kamar.

"Dengar! Rumah ini berhantu, Mark! Setiap malam aku melihat ayunan di teras belakang berderit dan berayun, padahal tak ada siapapun di sana!"

Astaga, suara teriakan itu kembali terdengar! Kali ini aku dan Steve melihat lagi 2 sosok setan lainnya. Dua setan dewasa, pria dan wanita. Kenapa mereka kini muncul? Sebelumnya rumah ini begitu tentram.

"Maggie, kita akan meminta Pendeta untuk melakukan pengusiran arwah yang masih tertinggal di dalam rumah ini,"

"Mark, Linda terkadang menjerit di tengah malam, kadang ia berkata jika ia melihat bayangan berkelebat di dalam kamarnya. Kau juga bodoh membeli rumah tanpa mengetahui riwayatnya!"

"Maggie, jangan menyalahkanku! Besok aku akan memanggil Pendeta. Jadi bersabarlah. Rumah ini dulunya ditempati sebuah keluarga dengan dua orang anak laki-lakinya. Kedua orangtua mereka tewas dalam kecelakaan. Dan salah satu anak laki-laki yang terbesar berusia 18 tahun, menderita penyakit kejiwaan akut. Ia membunuh adiknya yang berusia 10 tahun, sedikit idiot, di ruang basement. Setelahnya anak tertua itu mengakhiri hidupnya dengan menggantung dirinya sendiri. Mungkin mereka-lah yang masih berkeliaran tanpa menyadari jika mereka telah berbeda!"

"Tahu darimana kau?"

"Tetangga sebelah yang menceritakannya. Aku sengaja membeli rumah ini, selain besar, harganya juga murah,"

"Aku tak peduli dengan semua cerita itu. Aku mau rumah ini tenang!"

"Bersabarlah. Besok siang, aku akan menelpon Pendeta."

Percakapan yang kudengar, membuatku sedikit shock. Steve menatapku dengan tatapan tak paham. Aku hanya bisa diam dan menyadari segalanya. Pantas saja Steve ketakutan setengah mati pada ruang basement itu. Dan ... aku? Mungkin sudah seharusnya aku juga takut pada sesuatu yang akan menunggu kami siang hari nanti. Lalu, setelah itu kami akan tinggal di mana?

_End_
Powered by Telkomsel BlackBerry®

0 komentar:

Posting Komentar